Pages

Monday, September 3, 2012

CERPEN-- Secangkir Kopi Terakhir (1)


Secangkir Kopi Terakhir
Annisa Fitriani

Di kafe itu, aku meneguk kenangan. Ini cangkir kopi ketiga, desahku, seakan itu kenangan terakhir yang bakal kureguk.

Hidup, barangkali, memang seperti secangkir kopi dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir.

Tapi, benarkah ini memang cangkir terakhir, jika aku sebenarnya tau masih bisa ada cangkir keempat dan kelima? Itulah yang menggelisahkanku, karena aku tau segalanya tak lagi sama. Tak akan pernah lagi sama, seperti ketika aku mengenalnya pertama kali dulu.

Ya, dulu, ketika kami masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Saat itu aku yakin, aku tak mungkin bisa bahagia tanpa dia..

“Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi. I just called to say I love you..

Haha.. Aku tertawa dalam pilu. Mengapa bukan sendu lagu itu yang ku katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu?
  
Seharusnya saat itu aku tak membiarkan Raisa pergi. Seharusnya aku tak membiarkannya bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan, yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali..

Waktu memang bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaanku. Itulah yang membuatku selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang sesungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenanganku.

Ya, selalu ke kafe ini aku kembali. Untuk cangkir kopi ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali cangkir kopi ini pun hanya akan menjadi cangkir kopi yang sia-sia..

***

“Besok kita ketemu ya, di kafe kita dulu...” Suara yang selalu memenuhi mimpiku mendadak terdengar lagi sore itu.

Aku tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponku.

“Kok diam?” suara merdu itu menyapa lagi.

Aku termangu, “bagaimana dengan suamimu?”

“Bisa kita bertemu?” suara itu menanya lagi, tak menggubris pertanyaanku.

Aku berpikir sejenak sebelum menyanggupi, “Ya, bisa..”

“Tunggu aku,” ia terdengar berharap, beberapa detik sebelum pembicaraan telepon terputus. “Meski aku tak yakin kau masih mau menemuiku..”

Cklek. Tut.. Tut..

Sambungan terputus, meninggalkan aku yang kini tergugu menatap cermin.

Menemui? Apakah arti kata ini baginya? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa?  Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari potongan-potongan masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu. 

***

"Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma menjadi sepasang kupu-kupu.”

Kau tersenyum, kemudian menyandarkan badan ke bangku, “Tapi aku tak mau mati dulu..”

“Kalau begitu, biar aku yang mati lebih dulu. Dan aku akan menjadi kupu-kupu, yang setiap malam mendatangi rumahmu….”

“Hahaha,” kau tertawa renyah. “Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kupu-kupu?”

“Aku akan menghampirimu di halaman depan rumahmu, kemudian hinggap di pundakmu. Bukankah kau paling suka dengan langit malam?” Aku meneguk kopiku. “Kalau begitu aku yang akan menemanimu menghabiskan langit itu. Kurasa halamanmu merupakan tempat yang paling tepat, kita bisa melihat langit tanpa terhalang bangunan-bangunan tinggi. Dan berani bertaruh, tetanggamu pun pasti tak akan ada yang protes dengan kelakuan kita. Yah, selama kita tak menyalakan mercon di lengangnya malam, apalagi di depan rumah mereka.”

Kau tertawa lagi, barangkali menertawakan khayalan konyolku yang kesekian tentang menjadi kupu-kupu. Tapi aku tak pernah keberatan, kau tau itu, aku yakin kau tak pernah menganggapku konyol dengan semua ide itu.

***

Andai saja kau tau, Raisa,, aku selalu membayangkan itu.. Sampai detik ini pun aku masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatku masih betah menunggumu kini meski cangkir ketiga telah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan kau tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuatku selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ku pesan.

Aku hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan secangkir kopi, ketika kulihat seekor kupu-kupu terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kupu-kupu itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang hingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.

Adakah kupu-kupu itu pertanda? Adakah kupu-kupu itu hanya belaka imajinasiku? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang hingar ini makin terasa murung.

Cangkir kopiku sudah tak berbuih. Hanya hitam yang diam. Tak seperti kupu-kupu yang kini sedang beterbangan itu, yang meski hitam namun tak usah dipertanyakan tentang anggunnya. Hitam di cangkir ini mati. Sementara hitam di luar kopiku gemerlapan. Hidup. Aku jadi teringat pada percakapan kita dulu, dua hari sebelum kau memilih hidupmu sendiri, percakapan tentang kopi dan kupu-kupu.

====to be continue====
Buku Kumcer "Pintu Hati dan Pintu Langit" (dalam proses editing)


2 comments:

  1. bismillah.
    assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh

    penasaran ukh ... ayo dilanjutkan.. :)

    ReplyDelete
  2. cantik cerpennya..:)

    mengingatkan pada sebuah cerpen, latar ceritanya mirip http://percikangerimis.wordpress.com/2011/01/15/kamu/

    ReplyDelete

Punya pendapat lain? Ada tanggapan? Atau kritikan?
Yuk, budayakan komen! ;) Mari berbagi pendapat.. :)

Tinggal ketik, post comment! Nggak perlu verifikasi ;D