Pages

Showing posts with label Semacam Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Semacam Cerpen. Show all posts

Monday, August 19, 2013

Setangkup Rindu dari Mesir --1

Hujan belum reda. 
Seorang gadis muda menatap rinai hujan yang mengalir turun seperti butiran salju. Ia menempelkan jari-jarinya ke kaca jendela di depannya, merasakan permukaannya dengan rintik-rintik kecil yang mulai mengaburkannya. Tetesannya terasa jatuh  satu-satu di jendela kantor. Dingin. Sudah beberapa hari ini kota diguyur hujan, makin lama makin menderas.

“Naya! Kamu ngapain di sana?”

Gadis yang bernama Naya itu menoleh kaget, sejurus kemudian ia tersenyum pada temannya dari balik tempat kerjanya. “Kerjaanmu sudah selesai, Kay? Kenapa belum pulang?”

“Kau nggak lihat kalau aku sedang membereskan barang-barangku untuk pulang?” Temannya tadi tertawa bingung. “Kamu juga segera bersiap lah, Nay. Cepat selesaikan kerjaanmu, sebelum hujannya semakin deras.”

Naya mengangguk dan berjalan menuju meja kerjanya. “Kenapa nggak berhenti juga ya?” tanyanya sambil lalu.

“Apanya?” temannya tadi menoleh ke arahnya. “Hujannya? Atau kerjaanmu?”

Naya terkekeh ringan. “Hujannya.”

“Hmm, nggak tahu juga, sedang musimnya mungkin, Nay.” Ia melanjutkan lagi kegiatan beberesnya. “Lagipula kenapa mendadak kamu jadi tertarik dengan urusan hujan ini sih, Nay? Bukannya biasanya kamu nggak suka hujan?”

“Nggak ada apa-apa,” ia mengedikkan bahu. “Cuma heran, kok dari kemarin hujannya nggak berhenti-berhenti. Justru tambah deras saja.” Seperti dalam mimpiku semalam.

“Sedang ada wanita suci menangis mungkin.”

Gadis itu melanjutkan kalimatnya ketika mendapati Naya menatapnya bingung. “Kata ibuku, hujan bisa saja menjadi penanda bahwa ada wanita berhati suci yang sedang menangis. Ketika dia menangis, maka langit juga akan menurunkan airnya. Entahlah, mungkin itu dongeng lama. Jadi ketika hujannya nggak berhenti seperti ini, anggap saja seperti tumpahan tangis perempuan. Entah perempuan mana dan siapa.”

Naya tercekat. Wanita berhati suci yang menangis. Apakah ada hubungannya dengan mimpinya semalam?

“Sudahlah Nay, segeralah bergegas. Jangan sampai pulang terlalu malam.”

Naya mengangguk dan melambaikan tangan pada temannya. Disusul dengan bunyi pintu tertutup di seberangnya.

Naya menatap pintu itu lamat-lamat, merenungkan banyak sekali hal.

***

“APA YANG KAMU LAKUKAN?” seorang perempuan berteriak kencang. Lengannya dicengkeram kuat lelaki berpakaian militer yang memaksanya harus ikut ke suatu tempat. “Lepaskan tanganku, Fathih! Kubilang lepaskan!” Perempuan tadi berteriak lagi, berusaha melepaskan diri. Tapi percuma, cengkeraman itu terlalu kuat untuk perempuan sepertinya.

“Sudah, kau ikut saja! Jangan banyak berkomentar!” Lelaki lain di belakangnya balas berteriak, mendorong punggung perempuan tadi dengan badan senjatanya. “Menurut saja, atau kau kutembak!”

Perempuan tadi mengerang keras. “Apa bedanya? Bukannya nanti aku tetap kau bunuh??” Ia meludah ke tanah. “Dasar laki-laki biadab! Pengkhianat! Kalian tidak tahu balasan seperti apa yang akan Allah berikan pada kalian?! Neraka Jahannam! Kau dengar tidak?? NERAKA—“

BUK!!

Sebuah bogem mentah melayang di kepalanya sebelum perempuan itu sempat meneruskan kalimatnya. Ia oleng dan terjatuh. Bersungut-sungut membersihkan luka yang mengucur di pelipisnya, bersiap melancarkan kalimat laknat lagi.

BUK!! Sebuah bogem melayang lagi. “Kamu yang biadab, dasar wanita jalang!”

“JOHN! HENTIKAN!” Fathih mendorong badan laki-laki yang sudah bersiap melayangkan sebuah pukulan lagi itu. “Hentikan, JOHN! Jangan di sini, terlalu banyak orang!” Fathih mendesis.

Laki-laki bernama John itu sedikit melangkah mundur. Menatap tajam Fathih. “Kenapa?? Bukannya kita juga biasanya begitu? Memberi pembalasan pada mereka di tengah taman lapang?? Kenapa tidak kita lakukan ini seperti biasanya saja?!”

“Kau tahu persis alasanku.” Fathih menatap sinis John sebelum mencengkeram lagi lengan perempuan tadi. “Dia punya massa yang banyak, John. Kita harus mencari tempat lain!”

John mendengus. “Dia tidak ada apa-apanya! Kau ingat, saat ini kita yang berkuasa! Bunuh saja dia di lapangan Rabiah Adawiya! Tembak saja di sana! Buat apa repot-repot?? Biar dia bergabung bersama bangkai teman-temannya itu! Biar kebusukan mereka semua terpampang nyata di taman lapang!”

“Cepat jalan!” Fathih berseru pada perempuan itu. Mengacuhkan celotehan kasar laki-laki tadi.

Perempuan itu berjalan terseok-seok, berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Kepalanya pening sekali karena bogem tadi. Sekujur tubuhnya serasa remuk rendam.

“Dasar pengkhianat.” Ia mendesis lirih.

“Apa?” Fathih menoleh, berusaha mendengar suara perempuan itu lebih jelas.

“Kamu,” perempuan itu mendongakkan kepalanya, menatap tajam Fathih dengan pandangan nanar, “pengkhianat. Kamu pengkhianat, Fathih. Hati-hati dengan tindakanmu ini. Kamu p-e-n-g-k-h-i-a-n-a-t!”

“Diamlah. Ini demi kebaikanmu.” Laki-laki itu kembali berbalik, semakin kencang menarik lengannya.

“Kebaikan??” Perempuan tadi memberontak lagi, berusaha melepaskan cengkeraman di lengannya. “Di mana rasa cinta pada Tuhanmu, Fathih? Kau berubah, Fathih! Sungguh berubah! Apa yang sudah mereka lakukan padamu??  Kemana rasa cinta itu, Fathih?? Kemana??”

“Dan kamu,” perempuan tadi menoleh ke laki-laki di belakangnya, menunjuk-nunjuk dengan tangannya yang bebas, “Kamu tunggu saja balasannya! Setelah ini kami tak akan tinggal diam! Ini bukan perang antara kamu dan aku, ini perang antara kamu dan Tuhanmu! Dasar pengkhianat biadab! Neraka balasannya! Kau dengar itu??! Neraka!! ALLAHU AKBAR!”

BUK!!

DOR! DOR! DOR!




Naya terbangun dengan terengah-engah. Napasnya naik turun. Keringatnya bercucuran. Lagi-lagi mimpi itu.

Ia memegang kepalanya yang sedikit berdenyut. Melirik jam di ruang tengah. 22:00. Sepertinya ia tidak sengaja ketiduran lagi, kecapaian setelah tadi siang seharian meliput berita di Jogjakarta.

Ia bangkit dari sofa, menuju kulkas, meraih sebotol air mineral dingin. Masih memegangi kepalanya. Ini mimpi kedua tentang wanita itu. Siapa dia? Kenapa dia muncul terus di mimpinya?


====penasaran? nantikan lanjutannya ya! ;)
untuk yang ingin memberi saran, atau tambahan, atau kisah/berita tambahan mengenai ini, silahkan posting di kolom komen :) arigatou




Monday, March 18, 2013

CERPEN : Dialog Alam Barzah



Ketenangan alam barzah terusik. Ada penghuni baru yang datang hari ini. Seorang kakek dengan rambutnya yang telah memutih, penuh uban. Ia datang dengan senyum. Bersama iringan orang-orang yang mengantarkannya ke liang lahat, tempat terakhir ia akan membaringkan jasadnya.

Sungguh aku menaruh iri kepadanya, pada senyum yang membawanya datang kemari. Pada cahaya wajahnya yang bersinar menyilaukan mata dari gurat-gurat wajahnya yang berlipat-lipat. Dan pada banyaknya orang-orang yang mengantarnya dengan tangis tertahan. Aku tidak begitu dulu, tidak demikian. Aku teramat ingat ketika pertama kali aku datang ke tempat ini, hanya ada Ayah, Ibu, kakak, adik, dan segelintir orang saja yang mengantarku. Tak banyak, tak ada yang lain. Dan tak sebanyak iringan orang-orang ini yang bertahlil dengan penuh kekhusyukan hingga menerangi setiap ruang barzah yang amat gelap, dan meniupkan kesejukan bagi setiap penghuni barzah. Dan aku juga merasakan kesejukan itu, sekalipun dalam keadaan menyedihkan macam begini.

Kemudian Barzakh pun tertutup oleh timbunan tanah yang menimbun jasadnya. Namun lantunan tahlil itu masih kudengar dengungnya lewat celah-celah tanah yang berlubang, menebar seakan memberi cahaya lewat lubang-lubang itu. Dan lalu kamipun menunggu. Menunggu dua malaikat kubur yang akan datang menyambutnya. Juga menunggu bagaimana ia akan menghadapi dua makhluk ghaib yang menyeramkan itu.

Sunyi.

Tahlil terhenti.

Bau tanah tercium semerbak, berbaur dengan wangi malaikat yang membawa cempaka dalam jubahnya. Senyap kami menunggu.

“Man Rabbuka?!”  Suara malaikat terdengar menggelegar, mengentak tanah-tanah di sekililingnya.

“Allaahu robbul ‘aalamiin...” Lelaki tua itu menjawab dengan tenang dan pasrah.

Aku menangis kini, menaruh iri lagi kepadanya. Aku tidak begitu dulu, tidak demikian. Dulu, mulutku seperti terkunci untuk menjawab pertanyaan itu, sulit sekali.

Dan kemudian Barzakh sunyi lagi. Hanya jeritan-jeritan tertahan yang terdengar dari mereka yang disiksa tanpa henti. Dua malaikat itu telah pergi, setelah bertanya ini-itu pada lelaki tua itu. Mereka telah pergi, dan itu sedikit membuatku lega.

“Assalaamu’alaykum, ya ahla haadzihid-diyaar!” lelaki tua itu menebar salam kepada kami dengan senyumnya yang semakin merekah.

Semua penghuni Barzakh menjawabnya, termasuk juga aku, walau dengan suara terbata. Ia menyalami dan menebar senyum pada setiap ahlul-Barzakh yang senasib baik dengan dirinya. Namun tiada henti ia menangis tergugu  kepada ahlul Barzakh yang terpuruk dalam siksa pedih.

“Wahai Ahlul Jadiid, siapakah namamu?” aku menyapanya ketika ia melewatiku dengan tangis menyayat.

“Raihan, lalu siapa namamu?” Ia balik bertanya.

“Amran. Amran Hidayat.”

Ia terkejut. “Amran? Amran Hidayat? Bukankah engkau orang yang dermawan itu? Pemilik panti asuhan yang selalu membantu orang-orang lemah? Dan pendiri Masjid An-Nuur yang megah itu?” ia menanyaiku tanpa henti dan aku hanya bisa mengangguk pedih.

“Apa yang terjadi denganmu, wahai saudaraku? Bagaimana mungkin engkau berada di tempat ini dalam kondisi yang menyedihkan seperti ini?”

Aku menarik nafas berat, meringis menahan sakit bekas siksaan yang teramat pedih.
“Akupun tak tahu,” jawabku sekenanya.

“Ah sudahlah, jangan kau bahas lagi tentang diriku. Lebih baik kau ceritakanlah kepadaku tentang amalan istimewa apa yang kau lakukan semasa hidupmu, hingga kau datang ke tempat ini dengan terhormat dan dengan wajah yang bersinar pula?” kataku lagi.

Lelaki tua itu tersenyum, lalu menggeleng cepat-cepat, “tidak ada, saudaraku.”

“Jangan terlalu merendah, katakanlah kepadaku, apakah kau seorang ahli ibadah yang tak pernah melewatkan satu haripun tanpa amalan fardhu dan sunnah?”

“Tidak, aku bukanlah orang yang selalu disibukkan oleh perkara ibadah. Waktuku nyaris habis oleh kerja untuk menghidupi anak istriku.”

“Jadi kau hanya memikirkan menguras keringat untuk mendapatkan uang tanpa mau berpikir menemui Allah untuk mendapatkan ganjaran dariNya, begitu?”

“Bukan, bukan begitu maksudnya. Aku mengerjakan shalat lima waktu tanpa meninggalkan satu waktu pun. Tapi sungguh tak ada yang istimewa. Aku bukanlah ahli tahajjud apalagi ahli dhuha. Seperti yang kukatakan, waktuku nyaris habis karena mencari maisyah untuk keluargaku.”

Aku mengangguk-angguk mengerti. Berarti ia tak lebih baik dariku yang siang malam tak pernah lalai menghadapNya.
“Atau apakah kau ahli shiam yang di akhirat kelak akan memasuki surga dari pintu Ar-Royyan?”

Ia menggeleng lagi, “tidak juga.”

“Atau mungkin kau selalu memberi sedekah kepada orang-orang yang tak mampu?” aku masih diburu penasaran. Sampai-sampai pertanyaanku kali ini sedikit tak masuk akal. Bagaimana mungkin orang miskin macam dia masih sempat-sempatnya memikirkan sedekah kepada oranglain.

Dan benar saja, lelaki beruban itu tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“Bagaimana mungkin aku menjadi ahli sedekah, sementara untuk bisa tetap hidup, aku harus memeras keringat dan tenagaku? Rasanya tak ada waktu untuk memikirkan kesusahan orang lain jika keluarga sendiri susah.”

Yap, sudah kuduga ia akan berkata demikian. Benar-benar pertanyaan bodoh. Tapi sekali lagi, ia tak lebih baik dariku. Kalau dirinci, seingatku sebagian besar hartaku kusedekahkan kepada orang-orang tak mampu. Rasanya aku adalah orang terdermawan waktu itu.
Jadi apa istimewanya orang ini? Hmmm,, aku berpikir lagi, “Apakah kau mempunyai wiridan khusus?”

“Wiridan khusus?” ia menautkan kedua alisnya, “tidak ada. Aku rasa tidak ada, saudaraku.”

Oh, jawabannya masih sama. Itu artinya ia tak lebih baik dariku. Telah lebih dari seratus macam wiridan yang kuhafal dan tak pernah kutinggalkan dalam sehari. Huff,, rasanya sekarang aku kehabisan kata-kata. Tak ada lagi yang bisa kutanyakan kepadanya.
Aku meringis lagi. Bekas pukulan malaikat di wajahku belum juga kering. Darah segar masih merembes di antara kulit-kulit wajahku yang melepuh, diikuti nanah yang menjijikkan.

Lelaki tua itu menatapku iba. Mungkin pikirnya, sesadis inikah siksaan para malaikat kubur itu pada orang sebaik aku?

“Kalau begitu, lalu apa yang membuatmu menjadi orang seberuntung ini?” akhirnya pertanyaan ini yang kupilihkan untuknya.

Lelaki itu tersenyum arif. Ia tak segera menjawab pertanyaanku. Dipandanginya wajahku lagi, dan ia meringis iba ketika pandangannya tertuju pada bibirku yang robek dan melepuh tiada bentuk.

“Aku selalu menjauhi ghibah,” lelaki itu akhirnya menjawab.

“Ghibah?” kali ini giliran aku yang menautkan kedua alisku. Sesederhana itukah?
“Mengapa? Mengapa harus ghibah?” Lagi-lagi aku diburu oleh rasa penasaranku.

“Karena ghibah mempunya sepuluh kerugian.”
“Pertama, orang yang berghibah akan dijauhkan dari rahmat Allah. Kedua, malaikat akan memutuskan persahabatan dengannya. Ketiga, pada waktu matinya, ia mengalami pencabutan roh yang sukar dan payah. Keempat, ia menjadi dekat pada neraka, dan kelima, ia akan menjadi jauh dari surga.” Lelaki itu berhenti sejenak.
“Lalu?” aku memburu.

“Keenam, ia mengalami azab kubur yang berat. Ketujuh, amalnya akan sia-sia. Kedelapan, perbuatannya mengganggu ruh Nabi Muhammad. Kesembilan, ia mendapat murka dari Allah, dan yang terakhir, ia mengalami rugi sewaktu hisab di hari kiamat.”

Rabbana... Aku menangis sesenggukan walau kutahu ini terlambat. Aku memang seorang ahli ibadah, ahli sedekah, juga ahli shaum, dan ahli dzikir. Tapi bukanlah berarti aku bukan seorang ahli ghibah. Dosa kecil itu. Tak pernah sedikitpun kupikirkan kerugiannya, perbuatan itu bahkan telah mendarah-daging dalam jasadku. Dosa kecil yang mungkin tak pernah kutinggalkan dalam sehari, dua hari, bahkan berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Hingga dosa kecil itu menjadi lebih besar dari dosa besar sekalipun, dengan kadar kerugian yang bukan cuma sepuluh kali, tapi berpuluh-puluh kali lipat.

Ugh, sungguh, aku tak lebih baik dari lelaki tua ini!


Persembahan spesial untuk @Risma Dini dan @Rofiqoh Qoshirotul... <3 p="">
Terinspirasi dari obrolan kita senja kemarin tentang "kematian dan hari kiamat" setelah kelas Tasqif yang membahas Q.S An-Nazi'at :")

Wednesday, October 17, 2012

Sepotong Dongeng Cinta (1)


Sepotong Dongeng Cinta
Aqeela Khoirunnisa

“Kakek, aku mau dongeng cintamu...”

Embun menetes setelah hujan turun dari tempat peraduan. Seharusnya mentari muncul di balik awan, nyatanya justru senja lah yang datang melukis langit menjadi kemerahan. Aku masuk kamar, gelap, lalu kutengok sejenak jendela, berharap mendapatkan sebersit cahaya dari lampu luar. Ternyata yang kudapat justru sosok kakek yang tengah berdiri memandang keluar jendela. Ah, mungkin kakek sengaja mematikan lampu, aku merasa ia sedang tak ingin diganggu. Pelan pintu ku tutup kembali.
“Masuklah...tiba-tiba suara lemah kakek menahanku. Kulihat ke arah sumber suara, kakek sedang tergolek, dengan berbagai selang oksigen dan infus yang menjeratnya di ranjang. Tak ayal mataku membelalak kaget. Demi Allah, aku tadi melihat kakek berdiri di dekat jendela itu. Benarkah kakek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan kakek mengedipkan mata, “kemarilah, tak usah heran begitu..” Padahal kulihat ia sedang terbaring memejamkan mata dengan begitu tenang.
Seminggu setelah kepulanganku dari Yogyakarta, ibu mendadak meneleponku, “kakek harus operasi, sakit jantungnya mulai parah.
Aku memandang suamiku dengan helaan nafas berat, ia rupanya tahu jika telepon ibu itu mengenai kakek. “Pergilah,” ia memegang tanganku lembut, “biar aku yang mengurus Aqeela. Pulanglah ke tempat kakek, sebelum terlambat...
Huff... Enggan sekali rasanya meninggalkan sulung kecilku yang sedang lucu-lucunya itu. Terlebih permintaan ibu untuk pulang lagi ke Padang hanya demi operasi kakek.
Aku memang tak terlalu dekat dengan kakek. Bahkan tak menyukainya. Aku ingat sekali, semasa kecil dulu, adik-adik dan sepupuku sangat suka mendengarkan cerita kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa batu-batu kebaikan, serigala hutan yang bertaring, ikan paus yang menjadi perantara jalan taubat Nabi Yunus, ataupun tentang Nabi Sulaiman yang bisa mendengarkan percakapan semut dan buaya.
Semua cerita itu bohong, kataku, setiap kakek bertanya kenapa aku tak menyukai ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika, atau biologi, atau apapun yang penting selain cerita dari kakek. Bagiku kakek tak lebih dari tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata nenek. Aku memang tak suka setiap melihat kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para adik dan sepupuku—seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda—sementara nenek di dapur sibuk membuat roti bolu atau kering tempe kesukaanku. Aku lebih suka menemani nenek di dapur, mencicipi remah kue yang ia buat, dan selalu merasa begitu bangga ketika nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.
Tapi adik-adik dan sepupuku bilang, kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular, dan kupikir pasti mereka sudah tertular khayalan kakek.
Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue secara perlahan.
“Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat..
***
Kakek ingin ketemu kamu, kata ibu di telepon. Huh, pasti dek Ifah yang menyuruh. Kakek memang tinggal bersama adik pertamaku itu, dan ia tahu kalau aku pasti mau mendengarkan jika yang menelepon ibu.
“Kenapa kamu tak suka kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku kemudian mengambil acak sebuah buku untuk kubaca, berpura-pura sibuk dan mencoba menghiraukan pertanyaan itu.
Suaranya lembut, membuatmu merasa tenteram setiap mendengarkannya bercerita. Ibu ternyata tak menganggap serius kesibukanku membolak-balik buku, ia terus saja menyudutkanku dengan pertanyaannya. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan—ini yang menurut adik-adik dan sepupumu paling disukai dari kakek—tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya. Lalu kenapa kamu tak menyukai kakek?
“Entahlah,” itu jawabanku, dulu. Sebuah jawaban yang baru kurenungkan sekarang. Mungkin karena iri? Atau tak mau berbagi? Yang jelas aku membenci kakek yang membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian dimana suatu kali kakek pulang membawa martabak telur. Kakek membagi rata martabak itu untuk semua cucunya. Ya, sama rata. Dan semua gembira.
Tapi aku segera pergi. Aku ingin kakek seperti nenek! Bila punya kue, aku yang selalu dapat bagian lebih banyak. Dan aku harus mendapatkan itu. Bukankah aku cucu yang tertua? Jadi aku lah yang paling berhak atas semua kasih sayang kakek maupun nenek. Aku senang bila adik dan sepupuku menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku, itulah saat-saat paling membahagiakan buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak.
Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.
Tapi kakek ingin sekali ketemu kamu, kata ibu saat menelepon. “Tiga hari di rumah sakit, kakek bersikeras ingin pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh kakekmu kemarin. Para suster mengatakan kalau kakek adalah pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek memanggil suster jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya.
“Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jemari saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat kan tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar bersayap…,” kata Ibu, mereka-ulang ucapan kakek kepada suster. “Waktu itu suster hanya diam. Karena suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kata kakek.”
***
Ah, kakek, selalu saja punya kisah yang unik, yang bagiku tetap saja menyebalkan.
Waktu itu Dek Lia mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Dek Lia yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar.
Pernah pula Tante Ita, yang tinggal di Prambanan, menelepon malam-malam, “kakek barusan datang menjenguk anakku yang sedang demam. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Hamam berangsur lenyap. Sampaikan terimakasih tante untuk kakek ya.” Padahal sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk sambil tiduran di kursi goyangnya, beranjak sedikitpun tidak.
Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Nisa. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kosnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar!
Bahkan ketika aku sudah mulai beranjak remaja pun, adik-adikku masih sering bercerita kalau kakek kerap muncul malam-malam di kamar, memberi mereka eskrim atau cokelat. Eskrim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek.
“Sulap! Itu sulap,” kataku.
“Itu mukjizat,” kata mereka, “kakek berbakat jadi nabi.”
Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karna belum tentu bisa mempunyai cucu-cucu senakal kalian ini.”

****bersambungg****

Wednesday, September 12, 2012

CERPEN-- Secangkir Kopi Terakhir (2)

Secangkir Kopi Terakhir
Annisa Fitriani

“Kenapa kau sangat suka kopi?”

“Aku menyukai kopi, seperti aku menyukai kupu-kupu,” aku berkata, setelah mengawang panjang. “Warna kopi selalu mengingatkanku pada warna kupu-kupu, bahkan warna langit malam. Dan warna itu pula yang selalu mengingatkanku kepadamu.”

“Kenapa?”

“Karena di dalam matamu seperti hidup ribuan bintang malam. Aku selalu membayangkan ribuan bintang itu berhamburan keluar dari matamu setiap kau merindukanku.”

“Tapi aku tak pernah merindukanmu,” katamu sambil tersenyum.

“Bohong..”

“Aku tak pernah membohongimu. Kamu yang selalu membohongiku.”

Aku memandang nanar. Seolah tak yakin apa yang ku dengar salah atau benar. Bohong bagiku adalah dusta yang direncanakan. Sementara apa yang ku lakukan dulu adalah pilihan. Dan pilihan hanyalah satu logika yang terpaksa harus diseragamkan. Oleh banyak orang. Olehku..

“Tidak. Aku tidak bohong.”

“Semakin kau bilang kalau kau tidak bohong, semakin aku tahu kalau kamu berbohong.”

Aku tak menjawab, bergegas menghabiskan french fries ku. Rakus dan gugup. Begitulah selalu, bila aku merasa bersalah karena telah membohonginya. Seolah mengalihkan topik bicara dapat menyembunyikan kebohonganku. Tapi aku tak bohong kalau aku bilang mencintainya. Aku hanya selalu merasa gugup setiap kali nada suaranya terdengar mulai mendesakku. Karena aku tahu, pada akhirnya, setelah percakapan dan kebersamaan, dia pasti akan bertanya:
“Apakah kau akan menikahiku?”

Aku menyukai Raisa. Tapi, sungguh, aku tak pernah yakin apakah aku menyukai pernikahan. Kemudian aku akan berteka-teki, ”Apa persamaan kopi dengan kupu-kupu?”

Dia menggeleng.

“Keduanya akan selalu mengingatkanku padamu. Bila kau mati dan menjelma jadi kupu-kupu, aku akan menyimpanmu dalam toples kecil. Kau akan terlihat anggun dan menawan. Tapi kita tak akan pernah tahu bukan, siapa di antara kita yang akan menjadi kunang-kunang lebih dulu? Kita tak akan pernah bisa menduga takdir. Kita bisa meminta secangkir kopi, tetapi kita tak pernah bisa meminta takdir.”

Seperti aku tak pernah meminta perpisahan yang getir..

Hening lama.

“Aku mencintaimu,” ia memecah sunyi, “tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu..”

***

Hidup pada akhirnya memang pilihan masing-masing. Kesunyian masing-masing. Sama seperti kematian. Semua akan mati karena itulah hukuman yang sejak lahir sudah manusia emban. Tapi manusia tetap bisa memilih cara untuk mati. Dengan cara wajar ataupun bunuh diri. Dengan usia atau cinta. Dengan kalah atau menang?

Pada saat aku tau, bahwa pada akhirnya perempuan yang paling ku cintai itu benar-benar menikah—bukan dengan diriku—pada saat itulah aku menyadari aku tak menang, dan perlahan-lahan berubah menjadi kupu-kupu. Kupu-kupu yang mengembara dari kesepian yang satu ke kesepian yang lain. Kupu-kupu yang setiap malam berkitaran di kaca jendela kamar tidurnya. Pada saat itulah aku berharap, dia tergeragap bangun, memandang ke arah jendela, dan mendapati seekor kupu-kupu yang bersikeras menerobos kaca jendela. Dia pasti tahu, betapa kupu-kupu itu slalu-dan-masih ingin hinggap di pundaknya. Sementara suaminya tertidur pulas di sampingnya.

***

“Aku mencintaimu,” ia memecah sunyi, “tapi rasanya aku tak mungkin bahagia bila menikah denganmu..”

“Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan baik daripada aku menikah denganmu.”

Aku melengos ke arah lain, mulai membenci pembicaraan ini.

“Dia laki-laki yang baik, dari keluarga baik-baik. Dia melamar dengan cara baik-baik pula. Bahkan –kau tau?— dari dia juga, aku menyadari bahwa cara yang kita jalani selama ini salah. Kita merasa benar dengan semua pertemuan ini, dengan semua khayal dan candaan selama ini. Tanpa kita sadar bahwa Yang Menciptakan tak pernah merestui cara ini.”

Aku semakin jengah, masih tak mau menolehkan kepala untuk memandangnya.

“Kau juga, menikahlah.. Temukanlah seorang wanita baik-baik, dan menikahlah dengannya. Lamar dia dengan cara baik-baik, jaga kesucian dan kehormatannya baik-baik, aku yakin pasti kau tak akan lagi memandang pernikahan sebagai sesuatu yang buruk. Ingatlah usiamu yang semakin bertambah.. Jika sampai tahun depan kau belum juga menikah, aku yang akan mencarikan calonnya untukmu.

Itulah yang diucapkannya dulu, di kafe ini, saat kami terakhir bertemu.

“Jangan hubungi aku lagi, Raisa. Pergilah.”

***

Dan kini, seperti malam-malam kemarin, aku ada di kafe kenangan ini. Kafe yang berharum khas. Kafe yang mengantarkanku pada sebuah percakapan ringan yang menyenangkan. Kafe yang selalu membuatku meneguk kenangan dan kupu-kupu dalam kopi.

Ini cangkir kopi ketiga, desahku, seakan itu kenangan terakhir yang bakal kureguk. Hidup, barangkali, memang seperti secangkir kopi dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir. Tapi benarkah ini memang gelas terakhir, jika aku sebenarnya tau masih bisa ada cangkir keempat dan kelima?

Ini cangkir kopi keenam!
Dan aku masih menunggu.

====to be continue====
Baca selengkapnya di Buku Kumcer "Pintu Hati dan Pintu Langit" (dalam proses editing)
:)

Monday, September 3, 2012

CERPEN-- Secangkir Kopi Terakhir (1)


Secangkir Kopi Terakhir
Annisa Fitriani

Di kafe itu, aku meneguk kenangan. Ini cangkir kopi ketiga, desahku, seakan itu kenangan terakhir yang bakal kureguk.

Hidup, barangkali, memang seperti secangkir kopi dan kenangan. Sebelum sesap buih terakhir, dan segalanya menjadi getir.

Tapi, benarkah ini memang cangkir terakhir, jika aku sebenarnya tau masih bisa ada cangkir keempat dan kelima? Itulah yang menggelisahkanku, karena aku tau segalanya tak lagi sama. Tak akan pernah lagi sama, seperti ketika aku mengenalnya pertama kali dulu.

Ya, dulu, ketika kami masih mengenakan seragam putih abu-abu. Saat senyumnya masih seranum mangga muda. Saat itu aku yakin, aku tak mungkin bisa bahagia tanpa dia..

“Aku akan selalu mencintaimu, kekasihku….” kata-kata itu kini terasa lebih sendu dari lagu yang dilantunkan penyanyi. I just called to say I love you..

Haha.. Aku tertawa dalam pilu. Mengapa bukan sendu lagu itu yang ku katakan dulu? Ketika segala kemungkinan masih berpintu?
  
Seharusnya saat itu aku tak membiarkan Raisa pergi. Seharusnya aku tak membiarkannya bergegas meninggalkan kafe ini dengan kejengkelan, yang akhirnya tak pernah membuatnya kembali..

Waktu memang bisa mengubah dunia, tetapi waktu tak bisa mengubah perasaanku. Itulah yang membuatku selalu kembali ke kafe ini. Kafe yang sesungguhnya telah banyak berubah. Meja dan kursinya tak lagi sama. Tetapi, segalanya masih terasa sama dalam kenanganku.

Ya, selalu ke kafe ini aku kembali. Untuk cangkir kopi ketiga yang bisa menjadi keempat dan kelima. Seperti malam-malam kemarin, barangkali cangkir kopi ini pun hanya akan menjadi cangkir kopi yang sia-sia..

***

“Besok kita ketemu ya, di kafe kita dulu...” Suara yang selalu memenuhi mimpiku mendadak terdengar lagi sore itu.

Aku tak percaya bahwa dia akhirnya meneleponku.

“Kok diam?” suara merdu itu menyapa lagi.

Aku termangu, “bagaimana dengan suamimu?”

“Bisa kita bertemu?” suara itu menanya lagi, tak menggubris pertanyaanku.

Aku berpikir sejenak sebelum menyanggupi, “Ya, bisa..”

“Tunggu aku,” ia terdengar berharap, beberapa detik sebelum pembicaraan telepon terputus. “Meski aku tak yakin kau masih mau menemuiku..”

Cklek. Tut.. Tut..

Sambungan terputus, meninggalkan aku yang kini tergugu menatap cermin.

Menemui? Apakah arti kata ini baginya? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa?  Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari potongan-potongan masa lalu itu? Masa yang harusnya mereka jangkau dulu. Dulu, ketika mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu. 

***

"Aku selalu membayangkan, bila nanti kita mati, kita akan menjelma menjadi sepasang kupu-kupu.”

Kau tersenyum, kemudian menyandarkan badan ke bangku, “Tapi aku tak mau mati dulu..”

“Kalau begitu, biar aku yang mati lebih dulu. Dan aku akan menjadi kupu-kupu, yang setiap malam mendatangi rumahmu….”

“Hahaha,” kau tertawa renyah. “Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi kupu-kupu?”

“Aku akan menghampirimu di halaman depan rumahmu, kemudian hinggap di pundakmu. Bukankah kau paling suka dengan langit malam?” Aku meneguk kopiku. “Kalau begitu aku yang akan menemanimu menghabiskan langit itu. Kurasa halamanmu merupakan tempat yang paling tepat, kita bisa melihat langit tanpa terhalang bangunan-bangunan tinggi. Dan berani bertaruh, tetanggamu pun pasti tak akan ada yang protes dengan kelakuan kita. Yah, selama kita tak menyalakan mercon di lengangnya malam, apalagi di depan rumah mereka.”

Kau tertawa lagi, barangkali menertawakan khayalan konyolku yang kesekian tentang menjadi kupu-kupu. Tapi aku tak pernah keberatan, kau tau itu, aku yakin kau tak pernah menganggapku konyol dengan semua ide itu.

***

Andai saja kau tau, Raisa,, aku selalu membayangkan itu.. Sampai detik ini pun aku masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatku masih betah menunggumu kini meski cangkir ketiga telah tandas. Selalu terasa menyenangkan membayangkan kau tiba-tiba muncul di pintu kafe, membuatku selalu betah menunggu meski penyanyi itu telah terdengar membosankan menyanyikan lagu-lagu yang ku pesan.

Aku hendak melambai pada pelayan kafe, ingin kembali memesan secangkir kopi, ketika kulihat seekor kupu-kupu terbang melayang memasuki kafe. Kemudian kupu-kupu itu beterbangan di sekitar panggung. Di sekitar kafe yang hingar bingar namun terasa murung. Murung menapak geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya. Lagi. Di sini. Menjadi nanti.

Adakah kupu-kupu itu pertanda? Adakah kupu-kupu itu hanya belaka imajinasiku? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang hingar ini makin terasa murung.

Cangkir kopiku sudah tak berbuih. Hanya hitam yang diam. Tak seperti kupu-kupu yang kini sedang beterbangan itu, yang meski hitam namun tak usah dipertanyakan tentang anggunnya. Hitam di cangkir ini mati. Sementara hitam di luar kopiku gemerlapan. Hidup. Aku jadi teringat pada percakapan kita dulu, dua hari sebelum kau memilih hidupmu sendiri, percakapan tentang kopi dan kupu-kupu.

====to be continue====
Buku Kumcer "Pintu Hati dan Pintu Langit" (dalam proses editing)


Tuesday, January 18, 2011

no title PART2

rencana sinopsis yang lain -bingung milih ^_^
baca sinopsis yang lain di post sebelumnya
------------------

Cos

Aku menyayangi Tania. Sangat menyayanginya. Cinta? Kurasa tidak. Aku tengah menjalin cinta dengan gadis lain saat itu. Dan Tania – dia terlalu mencintai Sinichi, begitupun sebaliknya. Kupikir persahabatan kami akan terus seperti ini, kami bertiga tak akan terpisahkan.

Sin

Tak ada yang dapat menggantikan posisi Tania di hatiku, kurasa begitupun dengannya. Cinta tak pernah bisa memilih, dan ia memilih tumbuh di dalam persahabatan kami. Aku mencintainya, dan akan melakukan apapun demi kebahagiaannya.

Tan

Aku bersahabat dengan Sinichi sejak kecil. Aku selalu satu kelas dengannya semenjak bangku sekolah dasar. Entahlah – mungkin ini yang namanya takdir? Sampai suatu saat ia mengajakku terikat tali pertunangan dan akupun mengiyakannya. Inikah namanya cinta? Aku juga tak tahu. Yang aku tidak sadar, bahwa aku juga mencintai Cosqar, bahkan melebihi perasaan cintaku pada Sinichi.

 

Tahukah kau kenapa ini disebut cinta segitiga?

Karena ia memiliki tiga sudut yang saling menyakiti ..

--------kalo ini prolognya gimana?-------

Awal perjumpaan Sin, Cos, dan Tan

 

“Hei, namamu siapa?” seorang gadis menegur Cosqar tiba-tiba.

Cosqar kaget. Gadis itu adalah orang pertama yang mengajaknya berbicara sejak ia pindah rumah kemarin.

"Namaku Tania, kamu siapa?"

Cosqar masih menatapnya bingung. Gadis bernama Tania itu memiliki potongan rambut pendek sebahu dengan poni yang sungguh manis. Dan kini gadis itu menatapnya dengan penuh minat, menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat poninya terlihat semakin menggemaskan.

Gadis itu tersenyum kecil. “Aku nggak akan menggigitmu kok,” mengulurkan tangan, “jadi, apakah kau punya nama?”

Dengan sedikit senyum Cosqar menerima uluran tangannya, “namaku Cosqar, panggil aja Cos.”

Gadis itu membulatkan matanya, kemudian menguatkan genggaman tangannya, dan mengajak Cosqar berlari ke arah bak pasir.

“Sin, Sin, lihat deh,” Tania berteriak kepada kawannya yang sedang sibuk membenahi benteng pasir, masih dengan menyeret Cosqar agar mempercepat larinya. Cosqar heran dengan tingkah gadis ini. Ia melihat dari kejauhan kalau orang yang dipanggil Sin itu hanya acuh terhadap panggilannya dan terus saja mengisi ember kecil dengan pasir, memadatkannnya, untuk kemudian membalikkan ember ke lahan datar. Voila, istana tadi bertambah lagi satu tingkat.

“Sin, SINICHI, lihat ke arah sini dong, ada yang bagus nih,” Tania nampaknya tak mau kalah saing dengan benteng pasir, berusaha menarik perhatian Sinichi lebih keras.

Sinichi akhirnya menoleh ke sumber suara, pasti si cempreng, menyipitkan mata saat tatapannya menantang matahari. “Mana?”

Tania melompat-lompat kegirangan. "Coba dong kamu cari."

Sinichi mengedarkan pandang ke penjuru taman bermain itu, mencari sesuatu yang kiranya dianggap bagus oleh kawannya tadi. Tapi taman bermain itu sepi, hanya ada permainan-permainan usang yang tak pernah dipakai bermain lagi. “Tania, serius dong, mana sih?”

“Mana? Mana?? Ini lhoo Sin! Ini nih,” Tania mendorong Cosqar maju ke arah Sin.

“Hah? Maksudmu dia?” Ia melotot. “Tapi Tan, dia cuma anak kecil seperti kita, dia kan anak –” Sin memperhatikan Cos dengan lebih teliti, “ – kamu anak baru kan? Kemarin ibuku cerita kalau ada pindahan di perumahan ini. Dari Bandung ya katanya?”

“Iiih, Sin, itu nggak penting. Bukan itu yang ingin aku tunjukin ke kamu. Tapi namanya dia, Sin, namanya dia yang ingin aku pamerin ke kamu,” Tania memotong alur perkenalan yang wajar itu.

“Emangnya ada apa sama namanya?”

“Nama dia Cosqar, Sin, Cosqar! Panggilannya Cos!” mata Tania berbinar bahagia.

“Lalu kenapa, Tania? Kamu bukannya mau ngganti nama dia kan?” Sin mendelik curiga ke kawannya. Kemarin Tania baru saja mengganti nama kucing peliharaan Ami hanya karena kawannya itu nggak suka. Kucing kesayangan Ami yang semula bernama Pinky menjadi Kucing, dan Tania berdaulat nama itu nggak boleh diganti lagi. Tentu saja sang empunya kucing ngambek dan menangis sejadinya.

“Kamu nggak mau ngganti nama Cos menjadi Bandung kan?” tatapan Sin semakin tajam.

Tania termangu. Sementara Cosqar terdiam, ia curiga dengan kebenaran perkataan orang bernama Sinichi tadi, jangan-jangan gadis ini memang berniat memberinya nama baru.

“Eh, emm – lupakan aja deh, aku lupa nih tadi mau bilang apa,” ia  nyengir, memperlihatkan barisan giginya yang putih kecil-kecil. 

Sin menatap Tania dengan bingung, lalu melempar pandang ke Cos. Cos hanya mengangkat bahu.

“Oh, ya, gitu ya, oke deh,” Sin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Cos, bantuin aku mendirikan benteng pasir aja sini, pertahananku di sebelah sana belum kuat tuh,” Sin menunjuk bagian benteng yang lebih rendah dari benteng yang lain.

Cosqar menerima tawaran Sinichi setelah lama berdiam diri, ia tak berhasil mencerna kejadian ganjil tadi. “Oke, Sin, sepertinya bagian itu memang masih perlu banyak pasir.”

Sedangkan Tania kecil masih berdiri dalam bingung. Buku yang kubaca kemarin tentang apa sih? Aku yakin kok kalau ada nama Tan, Sin, dan Cos di buku itu. Tapi itu buku apa ya?

“Sin, sepertinya bagian sana harus dibenerin deh, nanti bentengnya jadi miring,” ucapan Cosqar membuyarkan lamunan Tania.

“Oke, aku urus bagian ini, kamu urus bagian kanannya ya, kalau udah jadi jangan lupa kasih bendera diatasnya,” Sinichi melemparkan segenggam bendera kecil ke arah Cosqar.

Tania tersenyum. Ah, tak penting itu buku apa. Setidaknya aku berhasil menemukan teman baru lagi hari ini. "Eh, tunggu dong, aku mau ikutan main, aku kan bosnya."

---------------------------------------------------

aku bingung, banyak scene yang urutannya belum bisa kuurutkan. dan bingung mau makai sinopsis dan prolog yang mana -_-

tolong kasih kritik dan saran yang membangun ya :)