Pages

Friday, December 31, 2010

Pie apel

Berhubung kemarin ada temenku yang request resep pie apel, dan karena aku baik hati :p, jadi dalam kesempatan kali ini aku mau ngasih resep pie apel lengkap dengan tips dan trik versiku :)

- kamu perlu:

4 buah apel, dikupas dan dipotong dadu (jangan besar-besar ya, yah dikira-kira aja panjenengan mau makan apel seberapa ^_^ kalau aku sih motongnya kecil-kecil)

1 butir telur, dikocok

200 gr tepung terigu

75 gr butter dingin, dipotong dadu

75 gr gula halus

½ sendok teh ekstrak vanilla

Bubuk kayu manis secukupnya

Brown sugar, kismis, prunes, ceri, kacang sesuai selera

*daripada repot kalau membeli bahannya satu-satu di Pamela, mendingan kalian pergi ke toko Intisari -bagi orang jogja- yang letaknya di Jalan Kusumanegara. Pengalamanku ke Intisari cuma tinggal mbawa resep, ngasihin resep ke mbak-mbaknya trus nanti pasti mbaknya bakalan nyariin semua bahan kita. Try it ;)

**jangan lupa lapisi timbangan tepung dengan plastik kecil dan lebihkan hitungan beberapa miligram. Pengalamanku, tepung sama gula halus tu mudah banget nempel di timbangan, daripada nyuci berkali-kali mendingan kalian alasi timbangan pakai plastik kecil jadi nanti cuma perlu ngganti plastiknya setiap kali ganti bahan. Dan berhubung aku nggak pernah sempurna dalam proses pemindahan bahan ke dalam mangkok (ada yang ketinggalan atau bahkan tumpah) aku selalu melebihkan bahan dalam penimbangan buat jaga-jaga. Santai aja, rasa kue nggak akan berubah cuma gara-gara bahannya kelebihan sedikit ;)

- bikinnya:

1. Cara bikin pastry (kulit pie): Ayak tepung dalam mangkok, masukkan butter, lalu remas-remas dengan kedua tangan sampe adonan menjadi kasar.

2. Tambahkan gula halus dan aduk. Buat lubang di tengahnya, campur dengan telur, dan aduk sampai adonan menggumpal.

3. Panaskan sedikit butter, masukkan potongan apel, prunes, brown sugar, bubuk kayu manis satu per satu, aduk rata. Dinginkan sebentar.

4. Ratakan pastry dengan rolling pin dan lapiskan pada loyang apple pie. Masukkan isi apple pie, terus tutup dengan pastry, hias permukaannya sesukamu, lalu oles dengan telur. (Kalau mau membuat pie apel yang seperti di film-film, kamu nutup adonannya dengan memotong pastry berbentuk persegi panjang dan mengaturnya saling silang. Kalau aku, cukup pastry kulapiskan ke loyang pie apel, trus permukaannya ku iris kecil-kecil supaya uap panasnya bisa keluar sewaktu pemanggangan -nggak mau repot. haha)

5. Masukkan dalam oven yang sudah dipanaskan dengan suhu 180 C selama 35 menit.

ini versi film-film *ada di internet


kalo yang ini versiku. hahaha


Well done…let’s eat ;p

Thursday, December 30, 2010

Kue Cinta

Bahan Utama:
1 pria sehat,
1 wanita sehat,
100% Komitmen,
2 pasang restu orang tua,
1 botol kasih sayang murni.

Bumbu:
1 balok besar humor,
25 gr rekreasi,
1 bungkus doa,
2 sendok teh telpon-telponan,
(Semuanya diaduk hingga merata dan
mengembang)

Tips:
- Pilih pria dan wanita yang benar-benar matang dan seimbang. Jangan yang satu terlalu tua dan yang lainnya terlalu muda karena dapat mempengaruhi
kelezatan.
- Sebaiknya dibeli di toserba bernama TEMPAT IBADAH, walaupun agak jual mahal tapi mutunya terjamin.
- Jangan beli di pasar yang bernama DISKOTIK atau PARTY karena walaupun modelnya bagus dan harum baunya tapi kadang menipu konsumen atau kadang menggunakan zat pewarna yang bisa merusak kesehatan.
- Gunakan Kasih sayang cap “IMAN, HARAP & KASIH” yang telah memiliki sertifikat ISO dari Departemen Kesehatan dan Kerohanian.

Cara Memasak:
- Pria dan Wanita dicuci bersih, buang semua masa lalunya sehingga tersisa niat tulus ikhlas.
- Siapkan loyang yang telah diolesi dengan komitmen dan restu orang tua secara merata.
- Masukkan niat yang murni ke dalam loyang dan panggang dengan api cinta merata sekitar 30 menit di depan penghulu atau orang tua.
- Biarkan di dalam loyang tadi, sirami dengan semua bumbu di atas.
- Kue siap dinikmati.

Catatan:
Kue ini dapat dinikmati oleh pembuatnya seumur hidup dan paling enak dinikmati dalam keadaan kasih yang hangat.

Tapi kalau sudah agak dingin, tambahkan lagi humor segar secukupnya, rekreasi sesuai selera, serta beberapa potong doa kemudian dihangatkan lagi di oven bermerek “Tempat Ibadah” diatas api cinta. Setelah mulai hangat, jangan lupa telepon-teleponan bila berjauhan.


Selamat mencoba, dijamin halal…! Selamat menikmati… 

Monday, December 20, 2010

Cinta Laki-Laki Biasa

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -

Sunday, December 19, 2010

racetho

Ada beberapa hal di dunia ini
yang tak bisa dijelaskan ataupun ditemui
dalam teori-teori yang setiap hari kita pelajari..

Terkadang alam berbahasa lain,
meminta sesuatu di luar teori yang selama ini dibahas

Permintaannya yang hanya pada orang-orang tertentu
membuat tak semua orang dapat memahami ini dengan mudah..

Terkadang benar bagi satu orang
belum tentu benar bagi yang lain;
begitupun dengan salah..

Suatu kesalahan tak selamanya menjadi salah ketika alam yang memintanya..

Salah bagi satu orang
bisa saja benar bagi yang lain..

Terkadang ada hal-hal yang tak sanggup dijelaskan..
tak sanggup..
bahkan sekalipun otak memaksa nalar untuk berkerja..

Friday, December 10, 2010

Hujan, ijinkan aku bercerita..

-hanya mencoba membuat cerpen :)

Entah mengapa aku kadang menunggu sesuatu ketika langit mulai terlihat muram. Bukan cerahnya yang aku nanti, ataupun kembalinya langit membiru ceria. Tapi aku sedang menunggu datangnya hujan.

Ya, hujan.

Aku rindu dengan bulir-bulir kecilnya yang perlahan jatuh melukis lingkaran-lingkaran basah di atas tanah. Atau kadang membentuk kristal yang menggantung di ujung dedaunan. Aku rindu ketika hujan mulai menari meliuk-meliuk beraturan -walau tak jarang iramanya terdengar lebih gemuruh di ujung genteng.

Tapi bagiku itulah keindahan.

Gemuruhnya adalah ketenangan bagiku dan aku selalu rindu akan hujan.

Semenjak aku kanak-kanak, hujan adalah saat yang paling dinanti. Menatap angkasa yang kelabu, berarti siap untuk berlari menjemput hujan. Berkejaran dibawah siramannya yang kadang menggelitik permukaan tubuh. Lalu menyusuri alirannya hingga ke sungai-sungai yang nampak tak jernih, tapi alirannya begitu berirama walau kadang tertelan gemuruh.

Aku selalu merindukan hujan. Bukan hanya karena dia mampu menghadiahkan keindahan pelangi kala berpadu dengan mentari. Tapi hujan juga mampu memberikan ketenangan dan kedamaian. Hujan adalah teman yang setia untuk merangkai kisah dan cerita. Hujan menganugerahkan begitu banyak inspirasi.

Dan bagiku, hujan bahkan lebih dari sekedar teman untuk merangkai sebuah kisah. Ia adalah saksi bisu semua kisah ini, yang entah bagaimana, juga menjadi alasan kisah ini harus bermula..

Teringat olehku setahun silam, saat hujan mempertemukan kita yang tak mengenal, menjadikan awal sebuah kisah menyedihkan ini..

Teringat pula olehku, saat kau berdiri dengannya di pelaminan, serasi mengenakan pakaianan serba hijau pupus, tergamit dengan mesra oleh lelaki yang selama ini menghiasi bunga tidurku..

Ah, aku tak yakin kau mengingatnya sedetail otakku merekam kisah ini, kisah yang bahkan harus kurutuk karna terus terkenang.

Adakah hati yang lebih lara,

ketika mendapati raganya

mulai tersudut oleh keriuhan malam?


Adakah jiwa yang lebih kesepian,

ketika bisiknya mulai tersesat

di sekat-sekat keheningan waktu..?

-to be continue

Thursday, December 9, 2010

dunia ketigaku .. -PART2

ehm ehm, berhubung banyak pembaca setia yang menyuruh saya melanjutkan kisah di post sebelumnya, jadi, silahkan disimak kelanjutannya.. :D *kayak apa aja*
-----------------------------------------------------------------------------------------------

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

"Lho, kan seperti yang mbak bilang tadi adek,, siapa tau jodoh.. Lagipula, masnya itu sudah siap secara finansial juga, jadi mbak pikir, apa salahnya kalo dek sasa berkenan.."

Mendung. Gludak gluduk.
"Wew wew. Duh. Tapi aku yang nggak siap mbak.. Diriku kan masih SMA, masih terlalu muda, polos, dan imut-imut.." (haha, bagian polos dan imut-imut cuma tambahan ^_^v)

"Lho, kan menikahnya nggak pas kamu SMA dek sasa.. Makanya itu, kalian kenalan dulu, nanti kalau misalkan adek belum siap, ya masnya bisa mbak minta buat njagain adek dulu beberapa taun.."

"Tapi tapi, aku -dan orangtua- pingin aku menikahnya kalau udah lulus S1 mbak, yah, minimal udah jadi koas lah mbak.."

"Iya,, mbak ngerti,, mungkin orangtua dek sasa bilang kayak gitu karena takut kalau-kalau pernikahannya nanti ngganggu studi adek.. Makanya, kebetulan, kan masnya juga kedokteran.. Jadi nanti insyaAllah bisa membantu adek dalam studi selama kedokteran.."

Mentari sembunyi -takut dengan cemberutku sepertinya.
"Tapi tapi tapii, kalau misalkan ya mbak, ternyata aku udah ada rasa sama seorang ikhwan, trus gimana? Sedangkan sama masnya ini kan aku belum tau apa-apa, nggak kenal sama sekali.."

Mbak A senyum. "Sekarang tinggal bagaimana niat adek semula dalam pernikahan.. Menikah itu sebenarnya untuk apa? Apa cuma buat membangun sebuah keluarga? Enggak dek, lebih dari itu,, menikah itu untuk ibadah, untuk membangun peradaban masyarakat yang lebih baik, untuk bersama-sama melanjutkan dakwah kepada masyarakat..

Adek jangan sampai terkecoh sama 'rasa' ke ikhwan lain yang mungkin adek anggap sebagai perasaan hati yang paling murni, bisa jadi 'rasa' itu justru muncul akibat dari setan yang sedang bermain-main dengan hati dek sasa..

Dek,, seharusnya, kita bukanlah menikahi orang yang kita sukai, tetapi kita menyukai orang yang kita nikahi.. Itulah maksud pacaran sesudah pernikahan.."

Menunduk dalam.
Mbak B nimbrung, "Tapi A, memangnya nggak terlalu muda ya buat dek sasa? Dek sasa kan masih kecil.."

Mbak A senyum lagi, "Lho, dek sasa itu udah dewasa lho.. Lebih dewasa dari aku sama kamu malah. Dia termasuk dewasa banget kalau di usianya dia.."

Menunduk lebih dalam.
"Tapi mbak,, kita kan juga nggak tau kan siapa jodoh kita.."

"Dek sasa,, kita tau jodoh-atau-nggak jodoh itu bukan sewaktu khitbah dan proses lamaran, tetapi sewaktu akad nikah.. Kalau misalkan dek sasa udah nerima lamaran masnya, lalu 5 menit sebelum pernikahan tiba-tiba masnya meninggal atau gimana, itu tandanya dek sasa memang bukan jodohnya mas itu.."

"Trus kalo ternyata pas akad nikah masnya nggak kenapa-kenapa gimana mbak??" (berdoaku kok jelek banget ya -__-)

"Ya berarti adek jodoh dong sama masnya.."

"Wee. Tapi kalo sebenernya nggak jodoh gimana jal mbaak?" (mulai berubah jadi anak kecil)

"Adek,, semua itu tinggal bagaimana ikhtiar adek dalam menjaga rumah tangga adek, menjaga suami, dan menjaga diri adek sendiri.. Lagipula, jodoh kita sebenarnya itu kan di akhirat.. Kalo masnya memang bukan jodoh adek, insyaAllah nanti di surga dek sasa ditemuin sama jodohnya adek kok.. :) "

"Tapi mbak.." menghela nafas beraaat banget.

"Gini aja.. Sekarang dek sasa fokus ujian dulu,, dek sasa lulus dulu.. Nah, setelah adek lulus dan tau keterima di universitas mana, kita bicarakan lagi obrolan kita ini.. Nanti biar mbak yang ngomong ke masnya itu.. Gimana dek?"

"Hmm.. Terserah mbak aja deh.." udah lemes banget aku.

Conversation closed. -_-

Monday, December 6, 2010

dunia ketigaku ..

Pagi nan indah..
demi matahari dan cahayanya di pagi hari
dan langit serta pembinaannya
dan bumi serta penghamparannya
dan jiwa serta penyempurnaannya ..

Pagi yang istimewa,
dengan kebersamaan bersama teman-teman FLP berbagai angkatan sedari kemarin, pagi ini sungguh terasa luar biasa..
Pagi itu (061210) bagiku memang terasa istimewa,
dan juga terasa damai,
tak menyadari bahwa akan ada kejadian yang ternyata terus mengusik fikir dan hatiku hingga sekarang.

Pagi itu, selesai mendaki perbukitan bersama teman-teman, kami kembali ke wisma, bersiap untuk rangkaian acara selanjutnya..

Mentari mulai merangkak naik, semua sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, saat tiba-tiba salah seorang mbak mendekatiku, mengajakku berbicara..
Dan berhubung aku berada di posisi panitia -sie acara- jadi aku merasa tak perlu buru-buru mandi, kupersilahkan peserta untuk menggunakan kamar mandi terlebih dahulu, dan aku memilih untuk menemani mbak A berbincang..

Awalnya kami mengobrol ringan, bercanda ngalor ngidul tak karuan, sampai membicarakan acara FLP yang alhamdulillah berjalan tanpa halangan. Hingga akhirnya mbak A melontarkan sebuah pertanyaan padaku -atau pernyataan?-

"Dek sasa,, mau nggak mbak kenalkan dengan seorang teman?"

..Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain..
"Eh? Ya nggak apa-apa mbak.. Memangnya siapa teman mbak itu?"

"Hanya seorang sahabat.. Dia sekarang di kedokteran UGM, sudah koas, setahun lagi lulus.. Nah, dek sasa juga mau ke kedokteran UGM kan? Siapa tau nanti dia bisa menjaga.."

"Menjaga? Pergaulan kah? InsyaAllah mbak.. Akhwat ya?"

"Bukan dek, ikhwan"

"Lha?"

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

..to be continue. belum sempet nulis. dan bingung gimana mau mengungkapkannya dengan kata -,-a

Friday, December 3, 2010

pelajaran mahal dari Ayah yang berharga.. :)

Senin, 29 November 2010
08.30
SMS dari Bunda masuk "Mbak Anis siap2 ya, Ayah jadinya dioprasi besok pagi, nanti sore kita berangkat ke Jakarta. Mbak Anis nanti jam 12 ke Purworejo dulu ya"

Kaget. Ayah memang udah sampai di RS Harapan Kita sejak minggu lalu, untuk cek kondisi tubuh danlainlain, tapi kemarin malam aku dapat berita dari Bunda kalau operasinya dimundurin harinya. Dan SMS ini termasuk mendadak, karena aku bahkan belum packing dan segala macam.

Tidak mau terlambat, aku segera ke loby, meminta surat izin, dan langsung pulang begitu bel istirahat pertama berbunyi. Beruntung teman-teman sekelasku udah tau tentang kondisi Ayahku, jadi begitu kubilang "aku izin mau ke Jakarta" mereka langsung mengerti dan turut mendoakan kesembuhan Ayah (cozy).

09.30
Sampai di rumah aku bergegas packing, membawa 4 pasang baju dan tak lupa buku-buku pelajaran (supaya keliatan rajin ^_^). Saat sedang packing itulah handphone-ku menderingkan nada SMS berkali-kali. Begitu kubuka, subhanallah, ada berpuluh pesan masuk dari teman-teman FLP. Pesan itu memang singkat, tapi sungguh penuh makna dan cinta kasih. Pesan-pesan itu berisi beragam doa, dirangkai dengan kata-kata buatan mereka sendiri, tak lupa disertai doa-doa yang diambil dari Al-Qur'an.. benar-benar indah.. membuatku semakin sayang terhadap keluargaku ini.. :')

Singkat cerita, aku, bunda, dan om Yudi akhirnya sampai juga di Jakarta.
Selasa, 30 November 2010
02.45
Kami langsung menuju RS Harapan Kita, sekedar say Assalamualaykum kepada Ayah, dan sedikit cerita ngalor-ngidul tentang persiapan operasi.
Dan kulihat mata itu. Mata berair Ayah, yang sebenarnya tidak menginginkan operasi ini dilakukan.

Aku sangat mengerti bahwa operasi itu berat Yah,, apalagi dengan kasus penyakit seperti Ayah ini,, ini bahkan pertaruhan hidup dan mati.. Tapi bukankah tugas manusia adalah untuk berusaha semaksimal mungkin? Aku yakin Ayah kuat, aku yakin Allah bersama kita.. kuucapkan itu lembut sembari memegang tangan Ayah. :')

07.00
Aku dan Bunda datang lagi ke RS Harapan Kita, ke kamar Ayah, berusaha menyemangati Ayah di detik-detik menuju operasinya ini. Rencana operasi akan berlangsung dari jam 08.00, dan kata dokter, jika tidak terjadi masalah, maka operasi akan selesai dalam waktu 5-6 jam.
Kulihat Ayah melakukan shalat dhuha bahkan lebih dari 4 rakaat pada saat diminta dokter untuk bersiap-siap.
Lindungilah kami Ya Rabb.. Jagalah Ayah..

13.00
Ayah belum keluar dari ruang operasi. Aku dan bunda masih mencoba khusnudzon,
mungkin satu jam lagi..

14.00
Bapak-bapak yang masuk ruang operasi setelah Ayah bahkan telah keluar dari ruang operasi dan keluarganya diminta ke ruang ICU, sementara Ayah sama sekali belum ada kabarnya..

17.00
Aku dan bunda mulai deg-degan. Banyak SMS dari kerabat yang menanyakan kondisi Ayah pasca operasi, yang bahkan kamipun belum mengetahui kabar Ayah yang sebenarnya. Bunda memaksa masuk ke ruang ICU, mengecek semua kamar untuk mencari Ayah, tapi percuma, Ayah belum masuk ruang ICU.. Bukankah Ayah belum selesai operasi? pikirku khusnudzon.

Aku menemani Bunda menunggu di depan ruang ICU karna Bunda nggak mau diajak duduk kembali di ruang tunggu. Penjaga ruang ICU saat itu mendatangi kami dan berkata "Manusia itu tugasnya berusaha,, tapi apapun hasilnya kita serahkan padaNya, karna Dialah yang memiliki takdir.."

Aku stres mendengarnya.
Kalaupun ada yang harus-dan-pantas disalahkan jika terjadi apa-apa pada operasi Ayah, aku lah orangnya. Aku lah yang telah memaksa Ayah untuk melakukan operasi. Ya Rabb..

17.30 -menjelang maghrib
Berita bahagia itu akhirnya datang. Setelah lebih dari 9 jam Ayah berada di ruang operasi, akhirnya operasinya selesai :D

Bunda langsung mencari dokter bedahnya demi meminta penjelasan tentang waktu operasi yang begitu lama.

Ternyata, kata dokter, jantung Ayah bukan hanya tersumbat, tetapi ada bagian jantung yang telah mati. Sehingga apabila pasien lain biasanya hanya butuh penyambungan 1-2 pembuluh darah, jantung Ayah ternyata harus disambung dengan 5 pembuluh darah yang baru. Beruntung kondisi tak terduga itu dapat diatasi dengan baik oleh dokternya. *dokter emang kereeen :DD
Dokter juga berkata, insyaAllah Ayah akan sadar dalam waktu 6-8jam,
dan selama pendarahan di jantung tidak berlebihan, insyaAllah tidak perlu dilakukan operasi ulang..
Aku dan Bunda akhirnya bisa bernafas lega.
Setelah shalat magrib, makan, shalat isya', danlainlain, kami kembali ke ruang tunggu, siapa tau Ayah membutuhkan obat tambahan atau apa.

21.00
4 jam setelah operasi, kami dipanggil ke ruang ICU, ke tempat Ayah,
aku sudah takut akan terjadi apa, jangan-jangan terjadi pendarahan atau apa seperti kata dokter tadi :((

dan disanalah aku melihat sesuatu yang menyentuh hati.

Saat itu adalah untuk pertama kalinya Ayah membuka mata sejak keluar dari operasi,
dan di tempat tidur itu, dengan dibalut banyak sekali selang dan alat kedokteran,
Ayah melakukan shalat magrib dan isya', begitu khusyu dan khidmat,
seakan tak ada masalah yang sedang dihadapinya saat itu.. :')

Kami melihat kejadian itu dengan hati terenyuh,
betapa besarnya cintamu padaNya Yah.. kejadian itu benar-benar membuatku cemburu..

Selesai shalat, Ayah memanggil suster, seakan tak menyadari kehadiranku dan Bunda,
dengan lirih Ayah berkata "Suster, besok tolong bangunkan saya jam 3, saya ingin shalat tahajud.."

Ah,, begitu mulianya engkau Yah.. Aku menangis, Bunda tersenyum pelan dan mengajakku keluar dari ruang ICU, takut akan mengganggu waktu istirahat Ayah yang saat itu mulai memejamkan matanya.. Aku menurut, melihat Ayah sudah sadar saja bahagianya bukan main :)

Rabu, 1 Desember 2010
08.00
Kami datang kembali ke ruang ICU, berniat untuk menemani Ayah sarapan,
tapi lagi-lagi kami dikejutkan oleh sesuatu.
Di saat pasien-pasca-operasi yang lain sedang disuapkan makanan oleh para perawat atau keluarga mereka, Ayah justru sedang sarapan sendirian, menggunakan tangannya sendiri, padahal selang yang terpasang di tubuh Ayah bahkan lebih banyak daripada pasien yang lain.


Antara senang (Ayah sudah sadar sepenuhnya) dan bingung (kenapa kok Ayah udah bisa makan sendiri? -___-a)

Aku bergegas mendekati Ayah (sementara Bunda pergi berkonsultasi dengan dokter) dan menawarkan diri untuk membantu dengan cara mengambilalih sendok yang sedang dipegang Ayah, tapi Ayah menukas "Allah menyukai seseorang yang melakukan sesuatu yang meskipun sedikit, tapi dilakukan secara terus menerus. Jangan dipikir Ayah dioperasi terus mbuat Ayah jadi nggak bisa apa-apa. Itu salah besar. Bahkan cara seperti inilah yang bisa membuat Ayah cepat sembuh, semua dilakukan sendiri, sekecil apapun itu."

Aku cuma bisa diam. Bahkan disaat-saat seperti inipun Ayah masih saja mengingat hafalan Qur'an dan hadistnya untuk mengajariku, dan saat ini aku nggak tau harus menanggapi perkataan Ayah dengan hadist yang mana -__-

Akhirnya aku meletakkan kembali sendoknya -yang langsung diambil oleh Ayah- dan menawarkan bantuan dalam bentuk lain, yaitu mengambilkan minuman dan menyeka ceceran makanan Ayah dengan tisu. Beruntung kali ini Ayah tidak menolak :D

Di tengah sarapannya, saat aku sedang membersihkan sisa makanan yang berceceran, Ayah memintaku untuk mendekat. Ingin membisikiku sesuatu nampaknya.

"Mbak Anis jadi seperti Mas Lutfhan ya.. Mas Lutfhan itu pekerja keras, nggak pernah mengeluh, bahkan di saat-saati terburuknya pun dia nggak pernah menunjukkannya didepan adik-adiknya.. Jadilah seperti Mas Lutfhan.. demi dek Lia dan dek Arif.."

Tak kuasa kucium juga dahi Ayahku penuh kasih. Sungguh, aku cinta padamu Yah..
Ayah benar-benar tidak pernah memikirkan dirinya sendiri, sedikitpun tidak pernah, bahkan disaat seperti inipun yang diingatnya tetaplah anak-anaknya. Ana uhibuka fillah, Ayah.. :')

Meskipun tak mungkin bagiku untuk menjadi sesempurna Mas Lutfhan -kakak sepupuku, lulusan terbaik Tehnik Elektro ITB dengan segudang prestasi- tapi aku akan mencoba Yah, demi Ayah, demi Bunda, dan demi adik-adikku.
Terimakasih Yah telah mengingatkanku ke tujuan semula hidupku.. :)