Pages

Showing posts with label akhwat dan ikhwan. Show all posts
Showing posts with label akhwat dan ikhwan. Show all posts

Sunday, May 26, 2013

kalimat cinta dari murobbi


Aku mungkin terlalu terbiasa dengan cintamu yang cahaya, hingga harus kututup mata untuk meyakini semua benar..

Sore itu hujan ketika kami melingkar hangat di rumah murobbi tercinta..
“Apakah sasa sudah siap? Perasaan anti bagaimana?”
Diam, hanya bisa diam.
“Sa? Apa anti siap dengan seseorang yang berbeda manhaj dengan anti?”
“Aku nggak tau mbak..” akhirnya kubuka suara. “Aku nggak tau, benar-benar nggak tau. Yang jelas aku tau, aku masih ingin di sini..”
Si mbak terdiam, memandangku penuh makna. “Sa,, anti masih mampu di da’wah sa.. tenaga anti masih dibutuhkan di sini.. sepertinya permasalahan ini sebaiknya dipending dulu..”

Waktu itu tahun 2011, ketika tawaran datang dari seseorang bermanhaj salaf. Seseorang yang bahkan sudah berbicara pada orangtua saya. Sayangnya saya memang belum terpikir ke arah sana, sama sekali, dan akhirnya saya pun mengambil keputusan untuk mengikuti saran murobbi saya. Ya, saya masih ingin di sini, saya belum ingin menerima siapapun.. dan alhamdulillah, keputusan itu merupakan keputusan terbaik pada saat itu..

======

Waktu-waktu selanjutnya kemudian saya habiskan untuk fokus di da’wah,, bersama lingkaran hangat saya tersebut.. Sampai suatu ketika, tawaran itu datang kembali, dari seseorang yang berbeda, namun kali ini dari manhaj yang sama..

“Sa.. bagaimana pendapat anti?”
Lagi-lagi saya hanya bisa menjawab lirih, “Aku nggak tau mbak..”
“Orangnya memang insya Allah baik, Sa.. Dan alhamdulillah satu manhaj.. Tapi,, apa sasa sudah siap mengambil keputusan?”
Saya menggeleng waktu itu, “enggak mba,, belum... aku belum bisa,, aku belum mampu..”
Terdiam lama hingga akhirnya si mbak merengkuh kepala saya dengan penuh kasih, “ya sudah,, jangan dulu.. memang sepertinya beliau baik, tapi ada pendapat orang yang berkata lain.. Sasa di sini dulu aja ya..”
Masih di penghujung tahun yang sama, saya kembali mengambil keputusan itu.. keputusan untuk belum menerima siapapun.. dan saya bersyukur sekali, dalam masa-masa itu saya selalu dalam pengawasan murobbi tercinta saya,, karna ternyata keputusan itu tak pernah salah...

=====

Sampai pada akhirnya,, ternyata saya dipertemukan oleh seseorang yang diam-diam mencuri perhatian saya.. ya, seseorang yang belum lama saya kenal, tapi sudah berani menunjukkan kesungguhannya dengan mendatangi langsung orangtua saya..
Kembali, saya berbicara dua hati dengan murobbi tersayang..
“Sasa... bagaimana? Mbak kemarin udah baca proposal beliau...”
Bagaimana? Yang saya tau, sore itu terasa syahdu sekali, kami duduk bersampingan di lantai bawah kantor DP*.. kesyahduan itu ditambah keheningan dari saya, karna saya benar-benar tidak tau harus merespon apa.
“Mbak udah nyari info tentang beliau ke murobbi di atas mbak,, dan insya Allah beliau juga kader, Sa... Orangtua beliau juga da’i,, bahkan ibu beliau merupakan kader inti.. Insya Allah tujuan pernikahan ini merupakan salah satu kemaslahatan umat, Sa..”
Saya masih diam,, memandang bendera yang berkibar-kibar di seberang mata saya.. Apa saya benar-benar harus menyiapkan diri untuk menerima? Atau saya bisa mengambil keputusan seperti waktu-waktu terdahulu? Yaa muqollibal quluub...
“Sasa... udah istikharoh..?”
Saya menggeleng pelan, masih menatap hening pemandangan di kejauhan.
“Sasa istikharoh dulu ya,, insya Allah semoga diberi Allah jawaban yang terbaik..”

Ya,, dan kemudian butuh beberapa waktu bagi saya untuk memikirkan hal ini masak-masak.. menimbang segalanya.. menyusun pondasi-pondasi jawaban...
Dan di dalam proses itu,, entah sudah berapa kali kami (saya dan murobbi) berbicara dua hati.. yang tetap saja masih belum bisa membuat saya yakin jalan mana yang harus dipilih.. Persoalan ini benar-benar rumit menurut saya.. jika orang lain yang sudah saling cinta dan ingin menikah biasanya mendapat berbagai halangan entah dari pihak apapun, tapi cerita saya lain. Di cerita ini justru pihak lain lah yang telah bersikukuh meneguhkan, entah murobbi atau bahkan orangtua, tapi saya sendiri malah cenderung belum bisa memutuskan..

“Apa yang mengganjal di Sasa? Kenapa sepertinya justru nggak senang?” tanya beliau di sore yang kesekian.
“Aku... nggak tau mbak... Aku kayaknya belum bisa meninggalkan semua yang ada di sini.. aku masih ingin di sini mbak,, di da’wah ini... Aku kemarin juga udah bilang ke beliau,, kalau aku lebih ingin berada di sini,, dibanding apapun...”
“Sasa... menikah itu bukan berarti kemudian hilang dari amanah..
Justru dengan menikah seharusnya lebih banyak lagi amanah yang bisa diemban.. Dengan menikah, justru Sasa mendapat tambahan amanah baru.. entah itu sebagai istri, ataupun sebagai menantu, dan bahkan sasa mendapat amanah sebagai anggota masyarakat dengan status menikah itu... amanah ada dimana-mana Sa,, da’wah ada di mana-mana... kalau sasa mau, Sasa juga masih boleh ada di sini.. kami sangat menerima Sasa kok... walaupun kemudian, memang tanggung jawab Sasa kemudian pindah ke suami,, bagaimanapun juga da’wah ini tidak boleh mengalahkan bakti Sasa ke suami..”
“Hhh... nggak tau mbak...”
Si mbak memegang tangan saya pelan, “apa yang sebenarnya mengganggu Sasa? Apa yang mengganjal?”
Saya waktu itu cuma bisa tertunduk, berusaha mengumpulkan segala keberanian untuk mengatakan ganjalan terbesar selama ini. “Aku... nggak mau ngelangkahin Mbak... Mbak kan belum menikah.. harusnya mbak dulu, baru aku...”
“Ya Allah, Sasa.... nggak boleh bilang seperti itu, Sa..” si mbak menepuk punggung tangan saya berkali-kali. “Sasa percaya kan kalau jodoh itu sudah ada yang mengatur? Sasa percaya kan kalau jodoh masing-masing orang itu tidak pernah terlambat? Nggak ada kata ngelangkahin Sa,,, nggak boleh bicara seperti itu.. Mbak nggak apa-apa kok kalau Sasa yang menikah duluan,, nggak jadi masalah Sa.. Yang jadi masalah justru kalau amanah Sasa tidak terkondisikan setelah Sasa menikah..
Bismillah,, sasa dimantepin aja ya Sa.. insya Allah ini yang terbaik bagi Sasa maupun bagi umat... Barokallah...”

=====

Dan akhirnya,, saya benar-benar memilih jalan itu... ya, saya memilih jalan menerima seseorang itu... seseorang yang kemudian kini menjadi suami saya, dan saya sangat bahagia telah memilih jalan itu.. Saya bahagia ketika akhirnya melangkahkan kaki ke jenjang itu, hingga sekarang, dengan mengikutsertakan segala keping-keping kalimat cinta dari murobbi saya.. Seperti kata suami saya yang begitu cinta dengan tarbiyah, saya juga.. saya cinta dengan tarbiyah ini, dan juga dengan murobbi saya.. Karna di jalan da’wah inilah kami menikah... :’) 
#dan saya juga cinta dengan suami saya ;) hehe




Wednesday, April 24, 2013

Marriage isn't a Cinderella Love Story


Marriage isn’t a Cinderella Love Story

Kenapa saya tiba-tiba menulis tulisan ini di tengah himpitan jadwal ujian yang sedang berlangsung? Bukan, bukan karna saya baru saja menonton film Cinderella. Jawabannya mudah : saya sedang melarikan diri dari stress pasca ujian Osce tadi siang =,=

Kalau secara konten, sebenarnya saya sudah ingin membuat tulisan tentang ini sejak bulan lalu. Kenapa? Simpel, karena sejak saya menikah 3 bulan yang lalu, semua orang yang bertemu saya rata-rata menanyakan hal yang sama, “menikah itu rasanya gimana sih?”, “menikah itu enak nggak?” atau bahkan ada juga yang mengemukakannya dalam bentuk judgement, “sasa sekarang wajahnya bahagia terus ya, pasti pernikahannya nggak ada masalah deh.”

Kira-kira seperti itu yang sering menjadi pertanyaan besar bagi siapapun yang belum berada di tengah-tengah pernikahan itu sendiri. Entah itu statement atau pertanyaan, atau bisa jadi keduanya. Meski tetap saja, ketertarikan banyak orang terhadap pasangan yang menikah muda tak bisa ditampik.

Beberapa kali, rekan orangtua saya juga sering menanyakan pertanyaan yang sama pada saya, yang kurang lebih menuntut jawaban mengenai motivasi kami menikah muda, padahal keduanya masih sama-sama menuntut jenjang kuliah. Menurut saya, motivasi memang sangat menentukan persepsi susah atau tidaknya sesuatu, atau paling tidak timing dan responnya.

Jadi, sebelum menjawab pertanyaan tadi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali kembali motivasi kita. Jangan sampai, saat kalian memilih untuk lanjut ke jenjang pernikahan, motivasi yang kalian punya adalah hal-hal yang rapuh, lemah, yang tidak cukup kuat untuk meyakinkan diri kalian pada titik-titik nadir.

Contoh sederhana, menikah karena suka-sama-suka, menikah karena sudah melampaui usia lanjut, atau bahkan ada yang terpaksa menikah karena suatu kasus tertentu (oalah, kalau menikah cuma sekedar menikah, mana ada ‘arsy Allah sampai bergetar ketika janji suci terucap? menikah adalah panggilan hati, menjadi seorang istri -ataupun suami- layaknya seorang pemegang amanah besar yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya; it’s not about the status anymore), atau mungkin juga karna keinginan-keinginan lain yang kalau saya tanya, “Kamu yakin alasan itu bisa membuat kamu bangkit dari titik terendahmu jika kelak kalian ada goncangan dalam pernikahan?”, kalian akan menggeleng kuat dan menyatakan tidak.

Mengapa? Karena sesungguhnya, dalam hal apapun, peperangan paling berat terjadi dalam diri kita sendiri. Salah satu bentuk jihad yang utama (jihad itu artinya perjuangan lho, struggle) adalah jihad melawan hawa nafsu.

Terlebih tentang menikah di usia muda, yang mana masih menuntut ilmu di jenjang kuliah. Jauh sebelum rumah menjadi berantakan atau hasil masakan yang kurang sesuai harapan, kalian sudah dikalahkan oleh keinginan untuk menyerah dalam berusaha. Jauh sebelum kalian bertengkar karna permasalahan yang sama, kalian sudah akan dikalahkan oleh penolakan untuk belajar dari kesalahan sebelumnya.

Jadi, jawaban untuk pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ juga kuat dipengaruhi oleh niatnya, motivasinya.

Jika ditilik dari segi proses pembelajarannya, memang, menikah di usia muda memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, diresapi, dalam usia yang masih begitu dini. Tentang bagaimana mengatur waktu antara jadwal kuliah yang subhanallah dengan memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana memenuhi amanah sebagai masyarakat sosial di lingkungan sekitar, sementara masih banyak tanggungan dari buku-buku yang tebal dan menyesakkan besarnya tapi sama sekali tak bisa kau tolak untuk dibaca, materi-materi yang rumit dan komprehensif, serta tugas-tugas perkuliahan yang luar biasa menyita waktu. Belum lagi tentang bagaimana membagi diri dari satu amanah dengan amanah lain yang berada di luar perkuliahan maupun lingkungan kemasyarakatan.

Maksud saya begini, apa yang harus dijalani dalam proses pernikahan di usia muda memang menantang, tapi menyerah atau tidaknya kita, kembali pada diri kita masing-masing.

Apakah hal yang menantang itu akan menjadi sesuatu yang kita pandang sebagai sesuatu yang sulit, atau sesuatu yang menyenangkan?

Maksudnya menyenangkan?
Saat kita punya tujuan yang jelas, maka hati, akal, dan jasad kita akan saling bersepakat untuk saling menguatkan menuju tujuan itu. Kita akan mempunyai kombinasi perasaan yang luar biasa : senang, semangat, teguh. Lagipula, senang di sini bukan berarti tidak ada tangisan disana, tapi senang yang menetap; senang yang bermula dari benih lalu tumbuh menjadi pohon yang besar. Bukan senang yang periodik. Mungkin, pada masa-masa saat kami ada masalah dalam rumah tangga, saya akan sering menangis; saat amanah-amanah yang ada menuntut saya berbuat lebih banyak, saya juga akan menangis, tetapi setelah itu, saya bahagia. Bersyukur karena Allah masih memberikan begitu banyaak kesempatan yang harus saya tempuh untuk mencapai mimpi saya, untuk meraih surga, dan kebahagiaan itu akan menjadi penghubung bagi kebahagiaan-kebahagiaan saya selanjutnya. InsyaaLLoh.

Berat, iya. Tapi pertanyaan intinya bukan itu. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki determinasi dan istiqomah untuk berdo’a, berjuang, dan bertawakkal agar rasa berat itu menjadi ringan?
Agar Allah mempermudah segala kesulitan.
Agar Allah membimbing segala langkah kita.
Agar Allah mendukung segala perjuangan kita.
Agar ridho dan syurga-Nya menjadi hadiah terbaik dari-Nya.

Jadi, pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ adalah pertanyaan yang multidimensional, dan meskipun beberapa orang berpendapat bahwa pertanyaan itu bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’, ketahuilah, jawabannya tak pernah berhenti sampai di sana.

Karena, memilih untuk menikah di usia muda artinya memilih bagaimana kamu akan menjalani peran dalam kehidupanmu selanjutnya.

Di dalam pernikahan, kalian belajar bukan untuk diri kalian sendiri. Kalian menangis, sakit, sedih, tertawa, berjuang, bukan untuk diri kalian sendiri. Murni, untuk Allah, dan untuk orang-orang yang diamanahkan menjadi pasangan kalian. Juga untuk jundi-jundi Allah yang besok Ia titipkan kepada kalian.

Yang akan menjudge kalian, bukan para teman, bukan orang tua kalian, tapi Tuhan kalian. Sosok yang akan kalian hadapi saat hari penghitungan kelak.

Memilih menjadi mahasiswa kedokteran, dan menikah di usia muda, adalah salah satu pilihan terbesar yang pernah saya ambil. Makna penuh tentang tanggung jawab menjadi semakin akrab dalam kehidupan saya.
Ya, ini tanggung jawab saya.
Subhanallah.

Jadi, sebelum membulatkan hati untuk memasuki dimensi pernikahan ini, luruskan dan teguhkan kembali niat kalian. Bismillaah. Yakinkan diri kalian,
Menjadi istri –ataupun suami- adalah bentuk ketaatanku pada Allah.

Setelah itu, mari bergabung bersama, kita ikhtiarkan untuk bersama-sama menggapai jannah-Nya yang kita nanti-nantikan. InsyaaLLoh, jalan ini akan menjadi jalan yang paling kita syukuri sejak saat ini dan seterusnya. J

Wednesday, February 13, 2013

Still a better love story than Twilight... ^_^**



Bismillahirrohmanirrohim..
Berniat melunasi hutang ke teman-teman yang menanyakan kisah pertemuan dengan si mas.. Alhamdulillah puzzle ceritanya udah jadi,, smoga bisa terlunaskan ya.. ^^

Puzzle pertama : sebuah perkenalan
Lokasi : Loby SMAN 1 Teladan
Waktu : akhir tahun 2009

Semua cerita berawal di penghujung tahun 2009.. Saat itu saya masih kelas 2 SMA awal,, dan lagi ribet mau ada lomba... Lomba penelitian tingkat kota kayaknya,, lupa. Hehe.. Nah, waktu itu saya udah janjian sama pembimbing buat ketemuan di Teladan.. Lamaa banget gitu kok pembimbing nggak dateng-dateng juga,, yasudah lah saya ke loby aja, niatnya pingin duduk-duduk sambil mainan hape gitu (mumpung sofa di loby kan empuk banget hehee ^^)..

Beberapa menit berlalu.. saya merasa ada orang masuk loby, saya nengok, orang asing.. Yang jelas bukan pembimbing saya. Oke, lanjut lagi mainan hape,, nggak perduli sama sekali sama orang asing yang pas itu duduk di seberang saya. Lagi asyik-asyiknya mainan, mendadak orang asing yang tadi bersuara..

                “Eh dek, dek, njenengan POH (pengurus rohisnya Teladan) ya?”
                (bingung)
                “Itu, jaketnya njenengan. Iya kan?”
                (nengok ke jaket sendiri) “Oh iya, bener, kenapa ya?”
                “Saya dulu juga di POH, saya Ketua1 nya. Sekarang gimana kabarnya  rohis Teladan?”
                (bingung lagi. ini orang-asing-nggak-dikenal kok ya bisa-bisanya sok kenal nanya-nanya gitu..)
                “Dek?”
                “Oh iya mas, kabarnya sekarang ...gini... ..gini.. bla.. bla..”
                “Oh.. gitu.. hmm.. Kalau waktu kepengurusan saya dulu ...bla.. bla bla..”
                (hening) lanjut mainan hape lagi.
“Oh ya, njenengan namanya siapa dek?”
“Ha? Saya?”
(ngangguk)
“Sasa. Annisa Fitriani. Lha njenengan emangnya siapa?”
“Saya Hizbullah Abdul Aziz Jabbar...”
“Maaf, Hiz...siapa?”
“Hizbullah dek.. Itu lho baca aja namanya yang ada di papan..” (nunjuk ke papan berjudul *Siswa Berprestasi Tingkat Internasional*)
Saya noleh ke papan, dan bengong. Disana tulisannya :
**2006. Hizbullah Abdul Aziz Jabbar. PERAK. UKRAINA**
Dalam hati membatin “ini orang-asing sombong banget..ckck..” tapi mencoba khuznudzon, jadi ya saya diemin aja.... ^-^a

Hening lama banget.... Untunglah pembimbing saya mendadak datang, fiuhhh.. o__o Langsung aja pamit sama orang-asing itu dan saya pun pergi... *dan memoripun terhapus..*

Puzzle kedua : berpapasan
Lokasi : di depan kantin Salman ITB
Waktu : pertengahan tahun 2010

                Selesai InaYS, alhamdulillah dimasukkan ke daftar calon untuk ICYS.. Tapi tetep harus ikut seleksi lagi, barengan sama temen-temen lain yang dapet medali tingkat nasional dari lomba yang lain.. (nggak cuma dari InaYS aja..) Nah, seleksinya ini yang ngadain kan dari Surya Institute, lokasinya di Bandung.. Jadilah kami (saya dan tim) sering bolak-balik Jogja-Bandung gegara urusan ini..

                Suatu pagi.. bingung mau sarapan dimana.. akhirnya pembimbing kami ngajakin makan di kantin Salman ITB.. okelah, yuk mari, kan ditraktir.. Udah beberapa kali masuk ITB, jadi udah nggak bingung lagi sama tempat-tempatnya.. Pas mau masuk kantin Salman, ada juga seseorang yang mau keluar dari kantin. Sekilas ngelihatin, kok kayak pernah lihat, tapi saya waktu itu acuh aja, kan mau makan..

Ehh... si orang itu ternyata malah balik ngelihatin saya, trus tangannya nunjuk-nunjuk saya, “Eh, dek, dek, kayaknya kita pernah ketemu kan ya? Yang di loby Teladan dulu itu.. Kita pernah kenalan..”

                Saya (bengong lah ya...) “Hah? Siapa ya?” (itu kejadian kapan coba,, setahun silam... o__0)
                Beliau malah ketawa, “hahaha yaudah dek lupain aja.”
                Okey.... case closed... saya tinggal aja ngeloyor masuk kantin dan bersiap makan... laper.. -,-
                *dan-lagi-lagi memory terhapus*...

Puzzle ketiga : sebuah wall
Waktu : pertengahan tahun 2011

                Pertengahan tahun 2011.. beberapa waktu setelah pulang ke Indonesia, tau-tau muncul wall aneh dari orang-asing yang nggak-tau-sejak-kapan-jadi-friend-FB..

Kira-kira bunyinya : “Salam kenal dek. Sepertinya kita pernah ketemu dua kali ya. Yang di loby Teladan itu sama yang di kantin Salman. Oh ya, yang di Rusia itu lomba apa dek namanya?”

                Respon saya? Lagi-lagi bengong... Ini orang kenapa niat banget ya.. Kayak nggak ada kerjaan lain gitu, masa iya cuma sliweran nggak sengaja ketemu gitu aja diinget terus. Apa saya ngelakuin salah ya sama beliau... u,u padahal saya nggak inget beliau sama sekali

                Yaudah, wallnya saya balas seperlunya aja.. toh orang-asing ini, nggak kenal juga.. ckck.. =.=
                *untuk-yang-ketiga-kalinya, memory tenggelam lagi ke dasar*..

Puzzle keempat : a proposal marriage
Waktu : awal tahun 2012

                Hmm... nggak tau gimana ceritanya, mungkin gegara jadi friend di FB itu.. mendadak di sekitar bulan februari orang-asing itu mengirimkan biodatanya ke saya dan menawarkan sebuah .... ehm, you-know-what ya... o_0 Respon saya? Saya lagi pusing pas itu, males mikir yang gituan... terlanjur ada trauma juga.

Akhirnya saya cuma bilang, “Kalau memang serius, monggo langsung ke orangtua saya saja. Biarkan mereka yang memutuskan.” Saya sih mikirnya beliau nggak akan berani,, lha ya wong baru ketemu berapa kali, itupun geje banget..

    Tapi ternyata beliau menyetujui......

                Beliau bilang, “iya, saya minta alamat orangtua njenengan ya, nanti saya kirim proposal biodata dan lainnya, karena saya di Bandung dan belum tau ke Jogja kapan.”

                Saya? Nggaktau deh, dibilangin lagi males mikir juga... o__o yaudah saya kasih aja alamatnya orangtua, sedikit introduction juga sih ke orangtua tentang keperluan si orang-asing-yang-geje-banget-itu. Tapi ya waktu itu sih saya santai-santai aja, toh orangtua saya daridulu nggak pernah menyetujui sama sekali tentang wacana pernikahan muda.. sama sekali..

                Bulan selanjutnya,, ada telpon dari ibunda tercintah... beliau mengabarkan, ehm ya intinya aja sih, bunda dan ayah meng-acc si orang-asing itu.. ya ampun ini orangtua saya kenapa.. +__+
                Oke... saya akhirnya mengabari si orang-asing itu.. kemudian dibalas, “alhamdulillah.. Oh ya, ini umi saya bilang katanya mau ngajak ketemu njenengan. Beliau minta nomernya njenengan.”

                Dan nggak lama setelah saya ngasih nomer hape, ada sms masuk.. “Assalamu’alaykum, mbak sasa ya? Ini umminya Hizbullah. Saya boleh ketemuan sama mbak sasa? Besok sore luang nggak?”

                ...... Kemudian hening.....

Saya nggak tau harus mbales gimana :o Cerita ke bunda, katanya nggak apa-apa ketemuan aja, kan silaturahim. Okelah....akhirnya saya iyakan.
                Besok sorenya, hujan-hujan, janjian ketemuan sama umi di maskam UGM..
                Selesai kenalan... obrolan dibuka dengan, “Beberapa waktu yang lalu anak saya cerita kalau ingin menikah, dan dia bilang ke saya kalau dia memilih mbak sasa. Tanggapan mbak sasa gimana?
                Wehh.... -__-“ Speechless, bengong lagi (untuk yang kesejuta kalinya). Dan sayangnya karena saya orangnya geje humoris, obrolan yang seharusnya serius itu malah berakhir dengan kegejean yang sangat parah... bahkan pas pulang kita malah ketawa-ketawa terus (lupa ngobrolin apa), yang jelas jauh banget sama topik yang seharusnya.. astaghfirullah... maafkan saya tante.. o_o

                Sepulangnya dari maskam, udah mencoba untuk lupa sama pertemuan geje itu.. Sampai si orang-asing itu tau-tau mengabari, “Assalamu’alaykum dek. Barusan umi saya telpon, beliau bilang kalau suka sama njenengan. Jadi insya Allah bulan depan umi akan sowan ke rumah orangtua njenengan, bersama abah dan juga saya.”

                Mbatin : “Eh? Ya ampun,,,, ini apa..... o__0”

                Emm, dan kelanjutan ceritanya seperti yang sekarang bisa dilihat.. hehe..
Setelah 2 kali melakukan silaturahim antar keluarga, dan juga istikharoh yang panjang,, akhirnya semua kisah kami tutup dengan puzzle kelima di awal tahun 2013...

Dan ucapan yang sampai sekarang masih saya inget banget,, ucapan tersoswit dari si mas setelah akad...

“Sebenernya, saya udah suka sama dek sasa sejak pertama kali ketemu di Loby Teladan itu.. Bahkan waktu itu saya memang sengaja ke loby karena melihat dek sasa. Sewaktu pertemuan itu juga, saya sudah membatin akan menjadikan dek sasa sebagai calon istri. Tapi karena setelah itu nggak pernah ketemu lagi, ya saya juga lupa.. Untung ya bisa dipertemukan lagi...”

Wew..... gombal banget... hehehe... ^^a

*PS : btw, papan nama di Loby Teladan yang lama udah digusur lho, udah uzur berumur mungkin ya.. ^^a
Sekarang papannya ganti jadi ini :

Tapi papannya ini banyak salahnya, banyak banget typo salah nama, negara, nama lomba… bahkan ada nama yang ilang... yaampun..

 **PS : ini udah selesai kisahnya... hutang saya lunas ya manteman.. ^-^

Pada akhirnya nanti, semua pasti akan berjodoh pada pasangannya masing-masing..
Tak perlu takut, tak perlu khawatir. Semua sudah diatur olehNya...
Karena apa yang tidak ditakdirkan untuk menimpamu, semudah apapun jalannya, tidak akan pernah menjadi milikmu...
Pun juga sebaliknya...
Apa yang ditakdirkan bagimu, sesulit apapun kelihatannya, sesukar apapun jalannya, semustahil apapun itu, pasti tetap akan terjadi padamu..
Dan yakinlah, Allah itu selalu dan pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambaNya..
JJJ

#sebelumnya menuliskan kisah ini di notes fb dan kaget sendiri karna mendapat 237 likes, 15 share, 62 comments.. *_*)""

Thursday, December 30, 2010

Kue Cinta

Bahan Utama:
1 pria sehat,
1 wanita sehat,
100% Komitmen,
2 pasang restu orang tua,
1 botol kasih sayang murni.

Bumbu:
1 balok besar humor,
25 gr rekreasi,
1 bungkus doa,
2 sendok teh telpon-telponan,
(Semuanya diaduk hingga merata dan
mengembang)

Tips:
- Pilih pria dan wanita yang benar-benar matang dan seimbang. Jangan yang satu terlalu tua dan yang lainnya terlalu muda karena dapat mempengaruhi
kelezatan.
- Sebaiknya dibeli di toserba bernama TEMPAT IBADAH, walaupun agak jual mahal tapi mutunya terjamin.
- Jangan beli di pasar yang bernama DISKOTIK atau PARTY karena walaupun modelnya bagus dan harum baunya tapi kadang menipu konsumen atau kadang menggunakan zat pewarna yang bisa merusak kesehatan.
- Gunakan Kasih sayang cap “IMAN, HARAP & KASIH” yang telah memiliki sertifikat ISO dari Departemen Kesehatan dan Kerohanian.

Cara Memasak:
- Pria dan Wanita dicuci bersih, buang semua masa lalunya sehingga tersisa niat tulus ikhlas.
- Siapkan loyang yang telah diolesi dengan komitmen dan restu orang tua secara merata.
- Masukkan niat yang murni ke dalam loyang dan panggang dengan api cinta merata sekitar 30 menit di depan penghulu atau orang tua.
- Biarkan di dalam loyang tadi, sirami dengan semua bumbu di atas.
- Kue siap dinikmati.

Catatan:
Kue ini dapat dinikmati oleh pembuatnya seumur hidup dan paling enak dinikmati dalam keadaan kasih yang hangat.

Tapi kalau sudah agak dingin, tambahkan lagi humor segar secukupnya, rekreasi sesuai selera, serta beberapa potong doa kemudian dihangatkan lagi di oven bermerek “Tempat Ibadah” diatas api cinta. Setelah mulai hangat, jangan lupa telepon-teleponan bila berjauhan.


Selamat mencoba, dijamin halal…! Selamat menikmati… 

Monday, December 20, 2010

Cinta Laki-Laki Biasa

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -

Thursday, December 9, 2010

dunia ketigaku .. -PART2

ehm ehm, berhubung banyak pembaca setia yang menyuruh saya melanjutkan kisah di post sebelumnya, jadi, silahkan disimak kelanjutannya.. :D *kayak apa aja*
-----------------------------------------------------------------------------------------------

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

"Lho, kan seperti yang mbak bilang tadi adek,, siapa tau jodoh.. Lagipula, masnya itu sudah siap secara finansial juga, jadi mbak pikir, apa salahnya kalo dek sasa berkenan.."

Mendung. Gludak gluduk.
"Wew wew. Duh. Tapi aku yang nggak siap mbak.. Diriku kan masih SMA, masih terlalu muda, polos, dan imut-imut.." (haha, bagian polos dan imut-imut cuma tambahan ^_^v)

"Lho, kan menikahnya nggak pas kamu SMA dek sasa.. Makanya itu, kalian kenalan dulu, nanti kalau misalkan adek belum siap, ya masnya bisa mbak minta buat njagain adek dulu beberapa taun.."

"Tapi tapi, aku -dan orangtua- pingin aku menikahnya kalau udah lulus S1 mbak, yah, minimal udah jadi koas lah mbak.."

"Iya,, mbak ngerti,, mungkin orangtua dek sasa bilang kayak gitu karena takut kalau-kalau pernikahannya nanti ngganggu studi adek.. Makanya, kebetulan, kan masnya juga kedokteran.. Jadi nanti insyaAllah bisa membantu adek dalam studi selama kedokteran.."

Mentari sembunyi -takut dengan cemberutku sepertinya.
"Tapi tapi tapii, kalau misalkan ya mbak, ternyata aku udah ada rasa sama seorang ikhwan, trus gimana? Sedangkan sama masnya ini kan aku belum tau apa-apa, nggak kenal sama sekali.."

Mbak A senyum. "Sekarang tinggal bagaimana niat adek semula dalam pernikahan.. Menikah itu sebenarnya untuk apa? Apa cuma buat membangun sebuah keluarga? Enggak dek, lebih dari itu,, menikah itu untuk ibadah, untuk membangun peradaban masyarakat yang lebih baik, untuk bersama-sama melanjutkan dakwah kepada masyarakat..

Adek jangan sampai terkecoh sama 'rasa' ke ikhwan lain yang mungkin adek anggap sebagai perasaan hati yang paling murni, bisa jadi 'rasa' itu justru muncul akibat dari setan yang sedang bermain-main dengan hati dek sasa..

Dek,, seharusnya, kita bukanlah menikahi orang yang kita sukai, tetapi kita menyukai orang yang kita nikahi.. Itulah maksud pacaran sesudah pernikahan.."

Menunduk dalam.
Mbak B nimbrung, "Tapi A, memangnya nggak terlalu muda ya buat dek sasa? Dek sasa kan masih kecil.."

Mbak A senyum lagi, "Lho, dek sasa itu udah dewasa lho.. Lebih dewasa dari aku sama kamu malah. Dia termasuk dewasa banget kalau di usianya dia.."

Menunduk lebih dalam.
"Tapi mbak,, kita kan juga nggak tau kan siapa jodoh kita.."

"Dek sasa,, kita tau jodoh-atau-nggak jodoh itu bukan sewaktu khitbah dan proses lamaran, tetapi sewaktu akad nikah.. Kalau misalkan dek sasa udah nerima lamaran masnya, lalu 5 menit sebelum pernikahan tiba-tiba masnya meninggal atau gimana, itu tandanya dek sasa memang bukan jodohnya mas itu.."

"Trus kalo ternyata pas akad nikah masnya nggak kenapa-kenapa gimana mbak??" (berdoaku kok jelek banget ya -__-)

"Ya berarti adek jodoh dong sama masnya.."

"Wee. Tapi kalo sebenernya nggak jodoh gimana jal mbaak?" (mulai berubah jadi anak kecil)

"Adek,, semua itu tinggal bagaimana ikhtiar adek dalam menjaga rumah tangga adek, menjaga suami, dan menjaga diri adek sendiri.. Lagipula, jodoh kita sebenarnya itu kan di akhirat.. Kalo masnya memang bukan jodoh adek, insyaAllah nanti di surga dek sasa ditemuin sama jodohnya adek kok.. :) "

"Tapi mbak.." menghela nafas beraaat banget.

"Gini aja.. Sekarang dek sasa fokus ujian dulu,, dek sasa lulus dulu.. Nah, setelah adek lulus dan tau keterima di universitas mana, kita bicarakan lagi obrolan kita ini.. Nanti biar mbak yang ngomong ke masnya itu.. Gimana dek?"

"Hmm.. Terserah mbak aja deh.." udah lemes banget aku.

Conversation closed. -_-

Monday, December 6, 2010

dunia ketigaku ..

Pagi nan indah..
demi matahari dan cahayanya di pagi hari
dan langit serta pembinaannya
dan bumi serta penghamparannya
dan jiwa serta penyempurnaannya ..

Pagi yang istimewa,
dengan kebersamaan bersama teman-teman FLP berbagai angkatan sedari kemarin, pagi ini sungguh terasa luar biasa..
Pagi itu (061210) bagiku memang terasa istimewa,
dan juga terasa damai,
tak menyadari bahwa akan ada kejadian yang ternyata terus mengusik fikir dan hatiku hingga sekarang.

Pagi itu, selesai mendaki perbukitan bersama teman-teman, kami kembali ke wisma, bersiap untuk rangkaian acara selanjutnya..

Mentari mulai merangkak naik, semua sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, saat tiba-tiba salah seorang mbak mendekatiku, mengajakku berbicara..
Dan berhubung aku berada di posisi panitia -sie acara- jadi aku merasa tak perlu buru-buru mandi, kupersilahkan peserta untuk menggunakan kamar mandi terlebih dahulu, dan aku memilih untuk menemani mbak A berbincang..

Awalnya kami mengobrol ringan, bercanda ngalor ngidul tak karuan, sampai membicarakan acara FLP yang alhamdulillah berjalan tanpa halangan. Hingga akhirnya mbak A melontarkan sebuah pertanyaan padaku -atau pernyataan?-

"Dek sasa,, mau nggak mbak kenalkan dengan seorang teman?"

..Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain..
"Eh? Ya nggak apa-apa mbak.. Memangnya siapa teman mbak itu?"

"Hanya seorang sahabat.. Dia sekarang di kedokteran UGM, sudah koas, setahun lagi lulus.. Nah, dek sasa juga mau ke kedokteran UGM kan? Siapa tau nanti dia bisa menjaga.."

"Menjaga? Pergaulan kah? InsyaAllah mbak.. Akhwat ya?"

"Bukan dek, ikhwan"

"Lha?"

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

..to be continue. belum sempet nulis. dan bingung gimana mau mengungkapkannya dengan kata -,-a