Pages

Sunday, May 26, 2013

kalimat cinta dari murobbi


Aku mungkin terlalu terbiasa dengan cintamu yang cahaya, hingga harus kututup mata untuk meyakini semua benar..

Sore itu hujan ketika kami melingkar hangat di rumah murobbi tercinta..
“Apakah sasa sudah siap? Perasaan anti bagaimana?”
Diam, hanya bisa diam.
“Sa? Apa anti siap dengan seseorang yang berbeda manhaj dengan anti?”
“Aku nggak tau mbak..” akhirnya kubuka suara. “Aku nggak tau, benar-benar nggak tau. Yang jelas aku tau, aku masih ingin di sini..”
Si mbak terdiam, memandangku penuh makna. “Sa,, anti masih mampu di da’wah sa.. tenaga anti masih dibutuhkan di sini.. sepertinya permasalahan ini sebaiknya dipending dulu..”

Waktu itu tahun 2011, ketika tawaran datang dari seseorang bermanhaj salaf. Seseorang yang bahkan sudah berbicara pada orangtua saya. Sayangnya saya memang belum terpikir ke arah sana, sama sekali, dan akhirnya saya pun mengambil keputusan untuk mengikuti saran murobbi saya. Ya, saya masih ingin di sini, saya belum ingin menerima siapapun.. dan alhamdulillah, keputusan itu merupakan keputusan terbaik pada saat itu..

======

Waktu-waktu selanjutnya kemudian saya habiskan untuk fokus di da’wah,, bersama lingkaran hangat saya tersebut.. Sampai suatu ketika, tawaran itu datang kembali, dari seseorang yang berbeda, namun kali ini dari manhaj yang sama..

“Sa.. bagaimana pendapat anti?”
Lagi-lagi saya hanya bisa menjawab lirih, “Aku nggak tau mbak..”
“Orangnya memang insya Allah baik, Sa.. Dan alhamdulillah satu manhaj.. Tapi,, apa sasa sudah siap mengambil keputusan?”
Saya menggeleng waktu itu, “enggak mba,, belum... aku belum bisa,, aku belum mampu..”
Terdiam lama hingga akhirnya si mbak merengkuh kepala saya dengan penuh kasih, “ya sudah,, jangan dulu.. memang sepertinya beliau baik, tapi ada pendapat orang yang berkata lain.. Sasa di sini dulu aja ya..”
Masih di penghujung tahun yang sama, saya kembali mengambil keputusan itu.. keputusan untuk belum menerima siapapun.. dan saya bersyukur sekali, dalam masa-masa itu saya selalu dalam pengawasan murobbi tercinta saya,, karna ternyata keputusan itu tak pernah salah...

=====

Sampai pada akhirnya,, ternyata saya dipertemukan oleh seseorang yang diam-diam mencuri perhatian saya.. ya, seseorang yang belum lama saya kenal, tapi sudah berani menunjukkan kesungguhannya dengan mendatangi langsung orangtua saya..
Kembali, saya berbicara dua hati dengan murobbi tersayang..
“Sasa... bagaimana? Mbak kemarin udah baca proposal beliau...”
Bagaimana? Yang saya tau, sore itu terasa syahdu sekali, kami duduk bersampingan di lantai bawah kantor DP*.. kesyahduan itu ditambah keheningan dari saya, karna saya benar-benar tidak tau harus merespon apa.
“Mbak udah nyari info tentang beliau ke murobbi di atas mbak,, dan insya Allah beliau juga kader, Sa... Orangtua beliau juga da’i,, bahkan ibu beliau merupakan kader inti.. Insya Allah tujuan pernikahan ini merupakan salah satu kemaslahatan umat, Sa..”
Saya masih diam,, memandang bendera yang berkibar-kibar di seberang mata saya.. Apa saya benar-benar harus menyiapkan diri untuk menerima? Atau saya bisa mengambil keputusan seperti waktu-waktu terdahulu? Yaa muqollibal quluub...
“Sasa... udah istikharoh..?”
Saya menggeleng pelan, masih menatap hening pemandangan di kejauhan.
“Sasa istikharoh dulu ya,, insya Allah semoga diberi Allah jawaban yang terbaik..”

Ya,, dan kemudian butuh beberapa waktu bagi saya untuk memikirkan hal ini masak-masak.. menimbang segalanya.. menyusun pondasi-pondasi jawaban...
Dan di dalam proses itu,, entah sudah berapa kali kami (saya dan murobbi) berbicara dua hati.. yang tetap saja masih belum bisa membuat saya yakin jalan mana yang harus dipilih.. Persoalan ini benar-benar rumit menurut saya.. jika orang lain yang sudah saling cinta dan ingin menikah biasanya mendapat berbagai halangan entah dari pihak apapun, tapi cerita saya lain. Di cerita ini justru pihak lain lah yang telah bersikukuh meneguhkan, entah murobbi atau bahkan orangtua, tapi saya sendiri malah cenderung belum bisa memutuskan..

“Apa yang mengganjal di Sasa? Kenapa sepertinya justru nggak senang?” tanya beliau di sore yang kesekian.
“Aku... nggak tau mbak... Aku kayaknya belum bisa meninggalkan semua yang ada di sini.. aku masih ingin di sini mbak,, di da’wah ini... Aku kemarin juga udah bilang ke beliau,, kalau aku lebih ingin berada di sini,, dibanding apapun...”
“Sasa... menikah itu bukan berarti kemudian hilang dari amanah..
Justru dengan menikah seharusnya lebih banyak lagi amanah yang bisa diemban.. Dengan menikah, justru Sasa mendapat tambahan amanah baru.. entah itu sebagai istri, ataupun sebagai menantu, dan bahkan sasa mendapat amanah sebagai anggota masyarakat dengan status menikah itu... amanah ada dimana-mana Sa,, da’wah ada di mana-mana... kalau sasa mau, Sasa juga masih boleh ada di sini.. kami sangat menerima Sasa kok... walaupun kemudian, memang tanggung jawab Sasa kemudian pindah ke suami,, bagaimanapun juga da’wah ini tidak boleh mengalahkan bakti Sasa ke suami..”
“Hhh... nggak tau mbak...”
Si mbak memegang tangan saya pelan, “apa yang sebenarnya mengganggu Sasa? Apa yang mengganjal?”
Saya waktu itu cuma bisa tertunduk, berusaha mengumpulkan segala keberanian untuk mengatakan ganjalan terbesar selama ini. “Aku... nggak mau ngelangkahin Mbak... Mbak kan belum menikah.. harusnya mbak dulu, baru aku...”
“Ya Allah, Sasa.... nggak boleh bilang seperti itu, Sa..” si mbak menepuk punggung tangan saya berkali-kali. “Sasa percaya kan kalau jodoh itu sudah ada yang mengatur? Sasa percaya kan kalau jodoh masing-masing orang itu tidak pernah terlambat? Nggak ada kata ngelangkahin Sa,,, nggak boleh bicara seperti itu.. Mbak nggak apa-apa kok kalau Sasa yang menikah duluan,, nggak jadi masalah Sa.. Yang jadi masalah justru kalau amanah Sasa tidak terkondisikan setelah Sasa menikah..
Bismillah,, sasa dimantepin aja ya Sa.. insya Allah ini yang terbaik bagi Sasa maupun bagi umat... Barokallah...”

=====

Dan akhirnya,, saya benar-benar memilih jalan itu... ya, saya memilih jalan menerima seseorang itu... seseorang yang kemudian kini menjadi suami saya, dan saya sangat bahagia telah memilih jalan itu.. Saya bahagia ketika akhirnya melangkahkan kaki ke jenjang itu, hingga sekarang, dengan mengikutsertakan segala keping-keping kalimat cinta dari murobbi saya.. Seperti kata suami saya yang begitu cinta dengan tarbiyah, saya juga.. saya cinta dengan tarbiyah ini, dan juga dengan murobbi saya.. Karna di jalan da’wah inilah kami menikah... :’) 
#dan saya juga cinta dengan suami saya ;) hehe




No comments:

Post a Comment

Punya pendapat lain? Ada tanggapan? Atau kritikan?
Yuk, budayakan komen! ;) Mari berbagi pendapat.. :)

Tinggal ketik, post comment! Nggak perlu verifikasi ;D