Pages

Monday, March 18, 2013

CERPEN : Dialog Alam Barzah



Ketenangan alam barzah terusik. Ada penghuni baru yang datang hari ini. Seorang kakek dengan rambutnya yang telah memutih, penuh uban. Ia datang dengan senyum. Bersama iringan orang-orang yang mengantarkannya ke liang lahat, tempat terakhir ia akan membaringkan jasadnya.

Sungguh aku menaruh iri kepadanya, pada senyum yang membawanya datang kemari. Pada cahaya wajahnya yang bersinar menyilaukan mata dari gurat-gurat wajahnya yang berlipat-lipat. Dan pada banyaknya orang-orang yang mengantarnya dengan tangis tertahan. Aku tidak begitu dulu, tidak demikian. Aku teramat ingat ketika pertama kali aku datang ke tempat ini, hanya ada Ayah, Ibu, kakak, adik, dan segelintir orang saja yang mengantarku. Tak banyak, tak ada yang lain. Dan tak sebanyak iringan orang-orang ini yang bertahlil dengan penuh kekhusyukan hingga menerangi setiap ruang barzah yang amat gelap, dan meniupkan kesejukan bagi setiap penghuni barzah. Dan aku juga merasakan kesejukan itu, sekalipun dalam keadaan menyedihkan macam begini.

Kemudian Barzakh pun tertutup oleh timbunan tanah yang menimbun jasadnya. Namun lantunan tahlil itu masih kudengar dengungnya lewat celah-celah tanah yang berlubang, menebar seakan memberi cahaya lewat lubang-lubang itu. Dan lalu kamipun menunggu. Menunggu dua malaikat kubur yang akan datang menyambutnya. Juga menunggu bagaimana ia akan menghadapi dua makhluk ghaib yang menyeramkan itu.

Sunyi.

Tahlil terhenti.

Bau tanah tercium semerbak, berbaur dengan wangi malaikat yang membawa cempaka dalam jubahnya. Senyap kami menunggu.

“Man Rabbuka?!”  Suara malaikat terdengar menggelegar, mengentak tanah-tanah di sekililingnya.

“Allaahu robbul ‘aalamiin...” Lelaki tua itu menjawab dengan tenang dan pasrah.

Aku menangis kini, menaruh iri lagi kepadanya. Aku tidak begitu dulu, tidak demikian. Dulu, mulutku seperti terkunci untuk menjawab pertanyaan itu, sulit sekali.

Dan kemudian Barzakh sunyi lagi. Hanya jeritan-jeritan tertahan yang terdengar dari mereka yang disiksa tanpa henti. Dua malaikat itu telah pergi, setelah bertanya ini-itu pada lelaki tua itu. Mereka telah pergi, dan itu sedikit membuatku lega.

“Assalaamu’alaykum, ya ahla haadzihid-diyaar!” lelaki tua itu menebar salam kepada kami dengan senyumnya yang semakin merekah.

Semua penghuni Barzakh menjawabnya, termasuk juga aku, walau dengan suara terbata. Ia menyalami dan menebar senyum pada setiap ahlul-Barzakh yang senasib baik dengan dirinya. Namun tiada henti ia menangis tergugu  kepada ahlul Barzakh yang terpuruk dalam siksa pedih.

“Wahai Ahlul Jadiid, siapakah namamu?” aku menyapanya ketika ia melewatiku dengan tangis menyayat.

“Raihan, lalu siapa namamu?” Ia balik bertanya.

“Amran. Amran Hidayat.”

Ia terkejut. “Amran? Amran Hidayat? Bukankah engkau orang yang dermawan itu? Pemilik panti asuhan yang selalu membantu orang-orang lemah? Dan pendiri Masjid An-Nuur yang megah itu?” ia menanyaiku tanpa henti dan aku hanya bisa mengangguk pedih.

“Apa yang terjadi denganmu, wahai saudaraku? Bagaimana mungkin engkau berada di tempat ini dalam kondisi yang menyedihkan seperti ini?”

Aku menarik nafas berat, meringis menahan sakit bekas siksaan yang teramat pedih.
“Akupun tak tahu,” jawabku sekenanya.

“Ah sudahlah, jangan kau bahas lagi tentang diriku. Lebih baik kau ceritakanlah kepadaku tentang amalan istimewa apa yang kau lakukan semasa hidupmu, hingga kau datang ke tempat ini dengan terhormat dan dengan wajah yang bersinar pula?” kataku lagi.

Lelaki tua itu tersenyum, lalu menggeleng cepat-cepat, “tidak ada, saudaraku.”

“Jangan terlalu merendah, katakanlah kepadaku, apakah kau seorang ahli ibadah yang tak pernah melewatkan satu haripun tanpa amalan fardhu dan sunnah?”

“Tidak, aku bukanlah orang yang selalu disibukkan oleh perkara ibadah. Waktuku nyaris habis oleh kerja untuk menghidupi anak istriku.”

“Jadi kau hanya memikirkan menguras keringat untuk mendapatkan uang tanpa mau berpikir menemui Allah untuk mendapatkan ganjaran dariNya, begitu?”

“Bukan, bukan begitu maksudnya. Aku mengerjakan shalat lima waktu tanpa meninggalkan satu waktu pun. Tapi sungguh tak ada yang istimewa. Aku bukanlah ahli tahajjud apalagi ahli dhuha. Seperti yang kukatakan, waktuku nyaris habis karena mencari maisyah untuk keluargaku.”

Aku mengangguk-angguk mengerti. Berarti ia tak lebih baik dariku yang siang malam tak pernah lalai menghadapNya.
“Atau apakah kau ahli shiam yang di akhirat kelak akan memasuki surga dari pintu Ar-Royyan?”

Ia menggeleng lagi, “tidak juga.”

“Atau mungkin kau selalu memberi sedekah kepada orang-orang yang tak mampu?” aku masih diburu penasaran. Sampai-sampai pertanyaanku kali ini sedikit tak masuk akal. Bagaimana mungkin orang miskin macam dia masih sempat-sempatnya memikirkan sedekah kepada oranglain.

Dan benar saja, lelaki beruban itu tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“Bagaimana mungkin aku menjadi ahli sedekah, sementara untuk bisa tetap hidup, aku harus memeras keringat dan tenagaku? Rasanya tak ada waktu untuk memikirkan kesusahan orang lain jika keluarga sendiri susah.”

Yap, sudah kuduga ia akan berkata demikian. Benar-benar pertanyaan bodoh. Tapi sekali lagi, ia tak lebih baik dariku. Kalau dirinci, seingatku sebagian besar hartaku kusedekahkan kepada orang-orang tak mampu. Rasanya aku adalah orang terdermawan waktu itu.
Jadi apa istimewanya orang ini? Hmmm,, aku berpikir lagi, “Apakah kau mempunyai wiridan khusus?”

“Wiridan khusus?” ia menautkan kedua alisnya, “tidak ada. Aku rasa tidak ada, saudaraku.”

Oh, jawabannya masih sama. Itu artinya ia tak lebih baik dariku. Telah lebih dari seratus macam wiridan yang kuhafal dan tak pernah kutinggalkan dalam sehari. Huff,, rasanya sekarang aku kehabisan kata-kata. Tak ada lagi yang bisa kutanyakan kepadanya.
Aku meringis lagi. Bekas pukulan malaikat di wajahku belum juga kering. Darah segar masih merembes di antara kulit-kulit wajahku yang melepuh, diikuti nanah yang menjijikkan.

Lelaki tua itu menatapku iba. Mungkin pikirnya, sesadis inikah siksaan para malaikat kubur itu pada orang sebaik aku?

“Kalau begitu, lalu apa yang membuatmu menjadi orang seberuntung ini?” akhirnya pertanyaan ini yang kupilihkan untuknya.

Lelaki itu tersenyum arif. Ia tak segera menjawab pertanyaanku. Dipandanginya wajahku lagi, dan ia meringis iba ketika pandangannya tertuju pada bibirku yang robek dan melepuh tiada bentuk.

“Aku selalu menjauhi ghibah,” lelaki itu akhirnya menjawab.

“Ghibah?” kali ini giliran aku yang menautkan kedua alisku. Sesederhana itukah?
“Mengapa? Mengapa harus ghibah?” Lagi-lagi aku diburu oleh rasa penasaranku.

“Karena ghibah mempunya sepuluh kerugian.”
“Pertama, orang yang berghibah akan dijauhkan dari rahmat Allah. Kedua, malaikat akan memutuskan persahabatan dengannya. Ketiga, pada waktu matinya, ia mengalami pencabutan roh yang sukar dan payah. Keempat, ia menjadi dekat pada neraka, dan kelima, ia akan menjadi jauh dari surga.” Lelaki itu berhenti sejenak.
“Lalu?” aku memburu.

“Keenam, ia mengalami azab kubur yang berat. Ketujuh, amalnya akan sia-sia. Kedelapan, perbuatannya mengganggu ruh Nabi Muhammad. Kesembilan, ia mendapat murka dari Allah, dan yang terakhir, ia mengalami rugi sewaktu hisab di hari kiamat.”

Rabbana... Aku menangis sesenggukan walau kutahu ini terlambat. Aku memang seorang ahli ibadah, ahli sedekah, juga ahli shaum, dan ahli dzikir. Tapi bukanlah berarti aku bukan seorang ahli ghibah. Dosa kecil itu. Tak pernah sedikitpun kupikirkan kerugiannya, perbuatan itu bahkan telah mendarah-daging dalam jasadku. Dosa kecil yang mungkin tak pernah kutinggalkan dalam sehari, dua hari, bahkan berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Hingga dosa kecil itu menjadi lebih besar dari dosa besar sekalipun, dengan kadar kerugian yang bukan cuma sepuluh kali, tapi berpuluh-puluh kali lipat.

Ugh, sungguh, aku tak lebih baik dari lelaki tua ini!


Persembahan spesial untuk @Risma Dini dan @Rofiqoh Qoshirotul... <3 p="">
Terinspirasi dari obrolan kita senja kemarin tentang "kematian dan hari kiamat" setelah kelas Tasqif yang membahas Q.S An-Nazi'at :")