Pages

Showing posts with label professional exchange. Show all posts
Showing posts with label professional exchange. Show all posts

Monday, October 27, 2014

How I met my passion---at Medical Faculty

Bismillahirrahmanirrahim..

Alhamdulillah sedang berada di blok elektif yang sedikit "selo" dan membuat saya bisa bermain-main lagi dengan blog ini. Seperti yang kita tahu, blok elektif di fakultas kedokteran setiap universitas pasti berbeda, dan di kampus saya kami mempunyai 4 pilihan topik untuk tiap blok elektif: professional/research exchange program, komplementer, PBKM, dan manajemen rumah sakit.  Dan alhamdulillahnya, saya lolos seleksi untuk ikut yang professional exchange (yang mana sudah saya lakukan ketika libur ba'da lebaran kemarin) sehingga hampir 2 bulan ini kerjaan saya luntang-luntung saja di kampus.

Kalau ada yang tanya, kenapa saya memilih program exchange....saya akan jawab, yah itu karna sesuai dengan passion saya, dimana saya orangnya sangat suka menjelajah negara lain dan berkenalan dengan banyak orang baru. Dan kalau ada yang bertanya kenapa saya memilih departemen Obsgyn untuk program exchange saya.......well, saya akan jawab, saya sedang mencoba menemukan passion saya dengan cara ini.

Saya pernah menemukan sebuah kutipan yang sangat menarik;

“Passion.
It lies in all of us. Sleeping... waiting... and though unwanted, unbidden, it will stir...
open its jaws and howl. It speaks to us... guides us.
Passion rules us all. And we obey.
What other choice do we have?
Passion is the source of our finest moments.
The joy of love... the clarity of hatred... the ecstasy of grief.
It hurts sometimes more than we can bear.
If we could live without passion, maybe we'd know some kind of peace. But we would be hollow. Empty rooms, shuttered and dank. Without passion, we'd be truly dead.” 
― Joss Whedon

Yap, hidup adalah tentang passion. Hidup tanpa passion tentu saja ibarat mobil tanpa bahan bakar, maka dia tidak akan bisa pergi jauh apalagi harus melalui tanjakan.

Berbicara mengenai passion membuat saya ingin sedikit flashback ke masa-masa dimana saya masih mencari apa itu arti kata "passion".
Dulu sewaktu saya masih kecil dan ditanya mau jadi apa, jawaban saya simpel : dokter. Bukan karna ingin menolong sesama atau serentetan alasan mulia yang lain, tetapi murni karna hari-hari saya akrab dengan seseorang yang berprofesi tersebut : ibunda saya.

Semakin besar, ketika duduk di bangku SMP, ternyata saya menyadari bahwa sepertinya saya tidak akan cocok dengan pekerjaan tersebut. Karena saya sangat tidak menyukai pelajaran hafalan. Bahkan untuk menutupi kekurangan tersebut saya berusaha menjadi yang paling menonjol di bidang pelajaran lain yaitu matematika, hingga akhirnya menjadikan saya langganan sekolah untuk diikutkan ke olimpiade matematika. Ya, dengan penuh ke-sok-tahuan saat itu saya berkata, "saya tidak akan menjadi dokter, saya tidak punya passion di pekerjaan tersebut."

Beranjak ke bangku SMA, pikiran saya tersebut semakin menjadi. Huff, ternyata saya memang tidak berbakat di bidang hafalan. Seriously, saya benar-benar heran bagaimana orang bisa dengan sukarelanya menghafal teks-teks penuh teori seperti itu. Menyadari kekrisisan saya di bidang biologi dan segala jenis temannya, dengan berbekal nekat saya mendatangi orangtua saya dan berkata, "saya ingin mengambil jurusan lain, saya tidak mempunya passion di bidang kedokteran." Dan yang yah- tentu saja permohonan saya tersebut ditolak.

Hasil akhir diskusi (?) adalah saya harus tetap mengambil jurusan kedokteran, tidak peduli dimanapun universitasnya. Dan seperti postingan saya sebelumnya, saya memang tidak pernah bisa menolak keinginan orangtua, apalagi jika hal tersebut merupakan "perintah tersembunyi" dari ibunda saya.

Akhirnya masuklah saya di fakultas kedokteran dengan segala carut marut di dalam hati dan pikiran.
Belum lagi ketika semua orang di luar sana bertanya saya ingin jadi apa, well -as you can see, I'm here, I'm a medical student so I will become a doctor. Dan ketika pertanyaan berkembang menjadi: ingin menjadi dokter spesialis apa, saya dengan mengangguk mantap akan berkata : obsgyn. Sayangnya ucapan-ucapan yang sering saya lontarkan tersebut bukan karna saya memang sudah mantap, tetapi semata karna saya ingin meyakinkan diri sendiri.

Betul kata bang Tere Liye yang pernah membuat quote, "semakin seseorang mengungkapkan cintanya, jangan-jangan dia sebenernya tidak secinta itu. Jangan-jangan dia hanya ingin meyakinkan diri sendiri, bahwa dia cinta, padahal sebenarnya tidak." Ya, saya membenarkan hal tersebut, karna secara nggak sadar saya sudah melakukannya.

Hingga akhirnya saya memaksa diri untuk secepatnya menyelesaikan skripsi karna saya nggak tahu apalagi yang harus saya lakukan di sini. Saya hanya ingin secepatnya selesai kuliah, menyelesaikan koas, mendapat gelar tersebut dan done, kewajiban saya terhadap orangtua lunas sudah. Setidaknya ketika saya benar-benar tidak suka dengan fakultas pilihan orangtua saya ini, saya tetap harus menyelesaikannya dengan bertanggungjawab.

Menyedihkan memang.

Sampai akhirnya pengumuman pendaftaran exchange itu dibuka. Maybe this is my last chance, pikir saya saat itu, sebelum saya benar-benar memulai hidup saya di koas setidaknya saya ingin tahu bagaimana sih rasanya kerja beneran di rumah sakit. Dan tentu saja saya mengambil departemen obsgyn, spesialisasi dimana saya harus menggantikan ibunda saya besok.

Oke, bermodal ijin dari suami, akhirnya saya ikuti juga itu rangkaian seleksi professional exchange. Yang qodarullah nya saya diterima, dan mendapat departemen sesuai yang saya apply-kan.

Singkat cerita, sampailah saya di Tunisia, bersama 20an mahasiswa kedokteran lain dari berbagai negara. Dari kesemua mahasiswa tersebut, ada 1 orang yang kebetulan mengambil departemen yang sama dengan saya, dan dia perempuan, dari Rumania. Di hari pertama kami (sebelum kami melihat seperti apa departemen obsgyn disana), teman saya itu mendadak bercerita bahwa dia memang ingin menjadi dokter obsgyn, tetapi ibunya yang seorang dokter mata tidak mengizinkan karena pekerjaan dokter obsgyn adalah pekerjaan yang "kotor". Dan teman saya disuruh memilih spesialisasi yang lebih "bersih" atau lebih "feminin".

Di akhir ceritanya dia menambahkan, "tetapi ibu saya mengizinkan saya ikut exchange dan mengambil departemen ini, dia bilang saya pasti akan ilfeel dan nggak akan mengambil spesialis ini lagi kalau sudah tahu bagaimana kehidupan dokter obsgyn itu."

Memang ya, doa ibu itu seperti kehendaknya Tuhan. Masih di minggu pertama kerja, ternyata teman saya itu benar-benar sudah ilfeel dengan departemen obsgyn. Capek, katanya, dan cuma ada kotor dimana-mana. "Saya beneran nggak akan mengambil obsgyn untuk spesialisasi, bahkan saya nggak akan mau melahirkan kalau harus mengalami semua proses menyakitkan itu," tambahnya sebagai penutup yang dramatis.

Jika teman saya menemukan ke-ilfeel-annya disana, yang terjadi pada saya justru sebaliknya.
Disanalah akhirnya Allah membukakan mata saya terhadap jalan ini -setelah untaian doa panjang ibunda saya yang mungkin tak berhenti setiap malamnya.

Ya, ternyata saya suka bekerja di rumah sakit. Ternyata saya betah berlama-lama di rumah sakit. Dan yang mengejutkan saya, ternyata saya benar-benar menjadi jatuh cinta dengan dunia obsgyn, dengan semua jeritan-jeritan pasien ketika melahirkan, dengan penuhnya jadwal operasi dan jadwal jaga, juga dengan semua pengorbanan jam tidur untuk harus standby di rumah sakit.

Saat itu saya seperti menemukan sebuah passion yang selama ini terpendam berjuta meter didalam hati saya, yang membuat saya sadar, bahwa ternyata passion itu bukan suatu "bawaan" yang memang sudah terlihat dari diri kita, tetapi sesuatu yang harus dicari dan diusahakan seperti jodoh. Dan setelah kegabutan saya bertahun-tahun kuliah di kedokteran, akhirnya saya bisa juga menemukan satu alasan untuk tetap bertahan di profesi ini. Saya akan bertahan disini untuk bisa mengambil spesialisasi obsgyn dan saya akan melanjutkan lagi semua proses ini hingga saya bisa meraih tujuan saya tersebut.

Well, menyedihkan memang karena saya baru menemukan passion tersebut ketika sudah menyelesaikan study bertahun-tahun, tetapi prinsip praktis saya, it's always better to late than never.

Karena kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali orang di luar sana yang nggak tahu passion-nya apa dalam hidup ini. Yang mereka tahu hanyalah melakukan pekerjaannya sehari-hari, membuat mereka menjadi orang yang sensitif dan mudah sekali stress, karna selalu terkepung kebosanan dan tenggelam dalam rutinitas aktivitas sehari-harinya tersebut.

Sejumlah pihak ngotot berkata bahwa, "saya sudah mengerjakan yang terbaik dan memaksimalkan potensi yang dimiliki." Dan ketika disinggung tentang passion justru berkata, "ah apa itu passion, tidak perlu."

Padahal, jika kita sudah tahu passion apa yang kita miliki, kita akan lebih mudah menjalani serangkaian aktivitas apapun dan dengan mudahnya bisa meraih kesuksesan di bidang yang kita geluti. 

Lalu bagaimana cara kita mengetahui kalau kita sudah menemukan passion kita? Saya mengutip sebuah artikel dari Kompasiana yang menyebutkan bahwa setidaknya ada 3 kriteria yang bisa menjadi patokan kita: (1). Selalu semangat mengerjakannya meskipun sulit, (2). Selalu mencari jalan keluar pemecahannya, (3). Dalam proses pencapaiannya keuntungan materi (uang) bukan menjadi tujuan utama tapi sekunder; kecuali passionnya adalah mencari uang.

Untuk yang sudah menemukan passionnya, saya ucapkan selamat. Anda benar-benar sudah berada di jalan yang benar. :")

Dan untuk yang belum menemukannya, saya nggak pernah memaksa teman-teman untuk segera mencari passionnya, tetapi paling tidak, cobalah untuk mengusahakannya. Memang, banyak orang yang mengatakan, "jika ingin berhasil dalam hidup, kita perlu untuk menjalani hidup sesuai passion kita, in other word, we have to do what we love." tapi bagi saya, kita masih bisa kok mengusahakan passion tersebut, dengan cara "we have to love what we do".

Don't do what we love,
But LOVE what we do
is the way to do a great work
but
DO what we love,
and LOVE what we do
is the perfect one.

Apa saja yang sudah ada di tangan kita, atau ada di depan mata kita, ya ayok dimaksimalkan. Dikerjakan semaksimal mungkin. Dicari-cari alasan untuk menjadikannya sebuah passion kita. Hingga kita bisa berkata pada diri sendiri, "Yeah, I know I did the right thing!!".

Akhir kata, yuk temukan passion kita dengan mulai melihat didalam diri sendiri apa yang sangat ingin kita wujudkan. Yang harus kita sadari, bahwa passion bukanlah suatu tujuan. Passion bisa jadi merupakan sebuah proses pencapaian. Oleh karena itu, alasan apapun yang membuat kita bertahan untuk terus berjuang bisa saja adalah passion kita, karena passion nggak mengenal kata lelah maupun menyerah.

Mari kita ciptakan prestasi terbaik dengan passion yang luar biasa. :)

foto semasa kuliah yang masih bisa dikumpulkan... yang lain entah sudah tercecer dimana saja :""

Wednesday, September 25, 2013

Hukum Safar untuk Perempuan

bismillaahirrahmaanirrahiim...
-di bawah ini hanyalah pendapat dan kisah pribadi, mohon dimaafkan jika ada yang tidak berkenan

Sebenarnya tadi cuma ingin posting sedikit foto IMSF... dan ingin segera tidur karna besok harus menguji adek-adek mahasiswa dari pagi sampai sore.. (mereka besok ujian responsi......)

Tapi saya kembali lagi membuka blog karena mendadak merasa harus membuat tulisan tentang ini. Dari kemarin ada yang menanyakan tentang hal ini terus-menerus.

Ada yang masih heran ya tentang keputusan saya pergi-pergi? Apalagi ke luar negeri?
Iya, saya tau kok tentang hukum safarnya wanita yang harus disertai mahrom dan sebagainya....

Sebagai gantinya, saya dan suami juga sudah pernah ke kajian Ustadz Didik Purwodarsono (di KRPH Masjid Mardhiyyah) yang kebetulan membahas tentang Hukum-Hukum Safar.

Karena koneksi internet sedang tidak bersahabat, saya tidak bisa mencarikan artikel-artikel yang bersangkutan.. Tapi saya akan mencoba meringkas kajian Ustadz Didik tersebut berdasarkan catatan di buku saya..

Waktu itu beliau membacakan sebuah hadist mengenai kewajiban wanita yang harus ditemani mahromnya ketika Safar.
Lalu beliau berkata,
"Kesalahan orang-orang sekarang adalah, ngajinya kurang. Nggak tuntas. Jadi selalu saja menelan mentah-mentah sebuah dalil, tanpa tau ilmu dan juga intisari kenapa dalil tersebut berlaku.

Sekarang kita ambil sebuah contoh. Di jaman dulu, ketika keadaan masih jahiliyyah, ketika tanah masih gersang, dan ketika semuanya hanya berupa gurun dan gurun, orang-orang (tidak hanya wanita) sangat rawan untuk melakukan perjalanan jauh. Ada berbagai banyak hal yang bisa terjadi di jalan, mulai dari dehidrasi, munculnya perompak atau pembunuh, dan lain sebagainya. Perjalanan yang bagi laki-laki saja berbahaya, apalagi bagi wanita.

Maka muncul lah kewajiban bersafar ditemani mahrom itu bagi wanita.

Sekarang seandainya saya menganut dalil tersebut, itu berarti sama saja anak saya juga nggak akan pernah ada yang kuliah di luar kota (anak perempuan saya sekarang kuliah di IPB, Bogor).

Seandainya saya menganut dalil tersebut, berarti saya bukan hanya harus mengantar anak saya sampai ke Bogor. Tapi saya juga harus menunggui dia di kosnya di sana, lalu menemani dia ketika ke kampus, juga membersamai dia jika rapat atau berorganisasi, dan lain-lain.

Namanya "wanita ditemani mahrom" itu ya seperti permisalan saya di atas ini.
Tapi kenyataannya kan tidak demikian?

Jadi saya memilih untuk mengambil intisari dari dalil-dalil tentang safar tersebut, karena saya orang berpendidikan.

Hemat saya, asalkan si akhwat tersebut aman ketika safar (baik di perjalanannya, atau di tempat tujuannya, atau di lingkungannya), itu sudah saya halal kan untuk bersafar.

Lain halnya kalau anak saya pergi safar ke negara Israel yang jelas-jelas negara musuh Islam dan nyawa serta harkat martabatnya terancam, tentu saja akan saya larang."

dan lain sebagainya.. untuk yang mau minta rekaman kajiannya juga bisa minta ke saya langsung,, atau download di webnya KRPH...

Kami sih maunya ya satu negara, lha tapi keinginan kami ternyata bukan keinginannya Allah, lalu gimana dong? T.T

Yang saya herankan, dan membuat saya sedih adalah, orang-orang yang seperti tidak setuju dengan safar saya ini, padahal suami saya saja sangat sangat mendukung.... Bahkan untuk lomba-lomba akademik dan segala hal berbau akademik juga suami saya sangaat mendukung saya. Begitu juga dengan orangtuan kandung maupun mertua saya..

Yang saya herankan lagi, kenapa justru Tunisia yang dikecam? Yang jelas-jelas negara Islam?
Dulu ketika saya pergi ke Rusia tahun 2011, kalian kemana? Kenapa tidak ada yang berkomentar?
Padahal jelas-jelas Rusia itu negara yang sangat komunis dan minoritas Islam.
Ketika saya ke Singapura tahun 2010, kok juga baik-baik saja? Tidak ada yang berkomentar?

Hmmm... :(
Yah, kita kan memang tidak bisa mencegah berbagai macam tanggapan kritik maupun respon kan? :(
Yang penting bagi saya adalah suami saya ridho, suami saya tidak merasa terdzolimi dengan berbagai kegiatan akademik saya (minimal saya masih bisa menemani suami sarapan sebelum berangkat mengajar, dan juga sempatmenyiapkan bekal makan siang untuk makan suami saya di kampus, dan juga saya selalu menjaga jam malam saya)

Saya merasa bersyukuur sekali punya suami yang punya banyak hafalan Qur'an dan Hadist, yang bisa menjadi imam dan murobbi yang luar biasa di rumah, dan juga bisa menelaah hal-hal tersebut sesuai syariat dan juga keilmuan..
Ukhibukum fillah, sayang... :")

Ohya sedikit tambahan lagi dari suami saya,, beliau pernah mendapat sebuah cerita dari Umminya...
ada seorang akhwat yang juga saklek dengan hukum tentang wanita safar harus bermahrom. Saking sakleknya, beliau ini nggak pernah mau keluar rumah untuk pergi belanja ke pasar, karena nggak ada mahrom. Begitu juga dengan aktivitas-aktivitas lainnya di luar. Akhirnya akhwat ini meminta kepada kakak atau adiknya menggantikan dirinya untuk pergi belanja atau yang lain.

Ummi lalu berkomentar, "Kalau begitu sama aja dong, dia nggak mau melakukan hal itu tapi dia malah menyuruh saudarinya yang lain yang melakukan hal itu untuk dia."

Enough said dari saya dan suami,,
kami rasa teman-teman punya lebiih banyaak referensi dan juga pendapat-pendapat tentang hal ini, dan juga lebih pintar untuk memilah-milah mana yang sesuai dengan hati dan kondisi teman-teman.. :)

Kami hanya ingin berbagi sedikit pendapat kami dalam masalah ini, dan semua yang tertulis di atas adalah murni dari kami, sekali lagi mohon maaf jika ada yang merasa kurang berkenan..

Kami pamit tidur yaa,,, wassalaamu'alaykum warrahmatullahi wabarokatuh. :)


Tuesday, September 10, 2013

Perihal Wanita Menikah yang Berkarir (PART 2)

bismillaahirrahmaanirrahiim...

Ingin melanjutkan postingan saya di sini beberapa waktu lalu yang ternyata sangat ramai dikunjungi orang-orang (trafficnya langsung mencuat ke ranking 1 popular posts)..

Kemarin, waktu postingan saya itu sedang ramai-ramainya dengan komen, suami saya bilang,
"dek, kayaknya ada yang beda penafsiran deh tentang tulisanmu itu...."

Saya sih nggak ngeh mana yang bikin salah penafsiran.. Sampai tadi teman-teman saya ada yang menegur, "Sasaa, kamu lolos exchange ya? Bukannya katamu perempuan yang udah nikah itu jadi ibu rumah tangga aja? Kok kamu malah pergi-pergi?"

Dan bukan hanya satu dua orang aja yang menanyakan.. Walaupun lebih banyak yang memberi selamat daripada mempertanyakan hal tersebut. Dan pertanyaan itu lah yang membuat saya tiba-tiba sadar dimana kesalahan persepsi yang dulu disebut-sebut sama suami saya itu.

Jadi begini ya,, terkait dengan judul tulisan saya "Wanita Menikah yang Berkarir-Sunnah pun Tidak"...
Point pertama saya adalah :

Wanita Menikah itu TIDAK SUNNAH untuk Berkarir

Berkarir di sini saya batasi dalam konteks mencari nafkah lho ya..
Bisa dilihat dari sebuah ayat di Al Qur'an:
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang telah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan.” (Ath-Thalaq: 6)

Suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak seperti yang diperintahkan dalam ayat diatas. Dan kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak berlaku meski suami miskin dan atau istri dalam keadaan kaya/berkecukupan.

Ayat lain menyebutkan :
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah ‎ berikan kepadanya. ‎Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Ath-Thalaq:7)

Nafkah yang harus dipenuhi suami kepada istri, antara lain tempat tinggal, makan dan minum, pakaian, dan biaya kesehatan ketika sakit. Hal tersebut adalah nafkah yang utama disamping nafkah lainnya yang mengikuti sesuai dengan kebutuhan.

Which means, suami berkewajiban memberikan tempat tinggal untuk ditempati bersama demi mewujudkan ketenangan dan cinta kasih diantara keduanya. Tempat tinggal tidak disyaratkan harus hak milik suami, karena dapat juga sewa atau berupa pinjaman. Mengenai makanan dan minuman, suami juga berkewajiban memberikan nafkah sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, seperti misalnya suami menyediakan berbagai peralatan dapur serta memberikan uang belanja agar istri dapat memasak. Suami pun wajib memberikan pakaian kepada istri dengan yang baik. Dan mengenai pakaian bagi istri, Islam telah mengatur bagaimana pakaian yang sesuai syariat, di mana suami lah yang berkewajiban untuk menjaminnya.

Jadi saya rasa jelas sekali ya di sini, bahwa kesemua permasalahan materi tersebut dibebankan Allah kepada suami, bukannya kepada istri. Dan di sanalah letak ke-wajib-annya. Sedangkan istri? Apa tugasnya? Tugas istri itu mudah : hanya taat dan hormat kepada suami. Titik nggak pakai koma.

Saya akan menukilkan sebuah kisah terkait hal ini..

Seorang perempuan datang memohon nasehat pada Nabi Muhammad SAW.
Nabi menanyakan apakah dia memiliki suami, dan perempuan itu mengiyakan. 
Kemudian Nabi menanyakan apakah dia melayani suaminya. Perempuan itu menjawab dia melakukan apa yang bisa dia lakukan.
Kemudian Nabi berkata pada perempuan tersebut: “Engkau sama dekatnya dengan Surga dan sama jauhnya dari Neraka sebagaimana dekatnya engkau dalam melayani suamimu”, 
dan dalam riwayat lain dikatakan : “suamimu adalah Surgamu atau Nerakamu”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Atau ada juga hadist seperti di bawah ini :
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk menyembah yang lain, aku akan memerintahkan istri untuk menyembah suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya dari dua hadist itu saja sudah dapat dipastikan ya bagaimana pembagian tugas wajib bagi antara istri dan suami. Suami itu wajib menafkahi, dan istri wajib taat pada suami.

Lalu bagaimana dengan wanita yang berdagang atau mengajar atau yang lain?
Kembali lagi ke bahasan utama saya tadi, sudah sangatt saya tegaskan bahwa yang saya garis bawahi dalam kalimat berkarir itu adalah mencari nafkah, dimana artinya sang istrinya yang "dipaksa" atau "memaksakan diri" untuk menjadi tulang punggung keluarga, dan bekerja keras demi memenuhi kebutuhan di rumah.

Meskipun ketika masuk ke konteks "istri wajib taat pada suami" dan kemudian suaminya yang justru meminta istri untuk ikut bekerja mencari nafkah, ya itu urusan mereka kan. Yang jelas, kalau kata suami saya, sangat nggak pantas bagi suami itu untuk meminta istri juga ikut bekerja demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Karena suami lah yang diwajibkan Allah untuk urusan itu.

Dan mungkin banyak yang harus diluruskan dari persepsi ini. Di sini saya ingin kembali menegaskan : tidak ikut mencari nafkah bukan berarti si wanita itu harus selalu ada di rumah.

Iya saya tau wanita itu punya banyak potensi. Iya saya tau banyak sekali lapangan pekerjaan sosial yang sangat membutuhkan SDM wanita. Dan tulisan saya kemarin benar-benar tidak bermaksud untuk melarang itu. Bahkan suami saya pun juga mengijinkan saya untuk berwirausaha, suami saya mengijinkan saya untuk bersekolah setinggi-tingginya, dan beliau juga mengijinkan saya untuk keluar rumah demi aktivitas-aktivitas da'wah. 

Yang kami tekankan adalah : semua aktivitas itu bukan dalam rangka kewajiban mencari nafkah. Itu semua murni untuk aktivitas sosial, untuk da'wah, juga untuk memperkaya diri terhadap ilmu pengetahuan.

Untuk teman-teman yang mungkin kemarin datang ketika saya mengisi talkshow tentang menikah muda, saya di sana menjelaskan bahwa sejak awal saya dan suami memang sudah sepakat untuk studi dengan setinggi-tingginya, meskipun kami tidak mengesampingkan peran dalam rumah tangga.

Saya tetap melanjutkan program sarjana saya, walaupun pulang ke rumah ya tetap harus bersih-bersih rumah, menyiapkan makanan, dan lain sebagainya.
Suami saya juga lanjut terus program magisternya, meskipun jadi sering pulang larut karna setelah kuliah harus ngantor, dan sebagainya.

Kami sih berharapnya setelah ini nggak ada lagi yang salah persepsi dengan tulisan saya yang dulu itu. Dan semoga juga nggak ada yang justru jadi menganggap kami itu tidak setuju dengan istri yang beraktivitas sosial ataupun melanjutkan studinya, karna toh kami sangat sangat mendukung aktivitas pasangan suami-istri yang tidak pernah berhenti mengembangkan kualitas diri. Understand? :)

Dan tentang keputusan saya untuk ikut program student exchange.....
Jadi begini, itu panjang banget ceritanya ~__~

Di jurusan saya, yang mana menggunakan sistem blok, ada sebuah blok berjudul "blok elektif" yang memberi kebebasan pada mahasiswanya untuk mengisi blok itu dengan apapun.
Ada tiga pilihan dari jurusan saya :
1. ikut program exchange
2. melakukan penelitian (di luar skripsi) mengenai herbal (atau apa gitu, lupa)
3. membuat film edukasi

Saya pertamanya nggak tertarik untuk ikut exchange ya, rasanya masih berat pergi dari indonesia (ceileh) jadi saya waktu ikut mikirnya ya mau melakukan penelitian aja.

Sampai kemudian suami saya bilang,
"Dek, mas keterima program magisternya yang double degree, jadi tahun depan berangkat ke Taiwan."

Huwaa,,, saya ditinggal doong.... T__T

Langsung patah hati lah ya, sampai nggak nafsu makan segala (bo'ong banget, wkwk)
Akhirnya ketika ada pengumuman lagi tentang pendaftaran program exchange-nya itu, saya ndaftar deh... Dan salah satu negara yang saya pilih ya Taiwan itu, biar besok nggak usah mikirin tempat tinggal, kan bisa nebeng di tempatnya suami. hihi

Akhirnya ikut serangkaian seleksi.... mulai dari seleksi berkas, lalu tes listening, lalu wawancara...
Sampai akhirnya pada tanggal yang ditentukan, belum ada pengumuman apa-apa. Haha.

Udah hopeless rasanya, yah emang nasib kalau nggak lolos juga nggak masalah....

Lalu mendadak kemarin sore (setelah lewat beberapa minggu dari tanggal yang dijanjikan) ternyata baru ada itu pengumumannya.... Dan dari sekian banyak yang mendaftar dan ikut seleksi, saya termasuk satu diantara 25 mahasiswa yang lolos untuk program exchange itu...

Seneng? Iya lah, banget...
Sayangnya, ketika saya liat, berkas saya masuk di negara mana, ternyata di Tunisia.
Iya, Tu-ni-si-a.

Ya ampun, itu mananya Taiwan??
Saya ngucek-ngucek mata saya berkali-kali.
Akhirnya buka google map..

Dari yang sebelumnya begini :

Indonesia -- Taiwan

Sekarang justru akan jadi begini :

Tunisia -- Taiwan


Haduuh,, jaut amat ya...... ~___~
Itu mah bukannya tambah deket, malahan tambah jauuh pake banget banget... =__=

Kalau melihat saya hari ini sih, mungkin kelihatannya saya itu baik-baik aja..
Coba lihatnya tadi malam... waktu saya nangis-nangis nggak jelas..... ckckck....

Entah apa skenario Allah pada saya dan suami saya, mungkin Allah sengaja memilihkan Tunisia karna itu merupakan negara Islam (yang entah kenapa justru bahasa utama di sana adalah bahasa Perancis -__-), atau mungkin Allah memang sengaja menjauhkan kami supaya besok kangen-kangenannya lebih terasa (apa deh)....

Yang jelas pena telah kering dan lembaran telah dilipat...
Kami hanya meyakini, bahwa segala sesuatu itu ada dan akan terjadi sesuai dengan ketentuan qadha dan qadar.. Keyakinan kami bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak akan pernah ada dan terjadi tanpa sepengetahuan, izin dan ketentuan Allah SWT.. Jadi ya kami di sini berusaha legowo, ya udah, niatnya kan untuk menuntut ilmu kan ya... Bismillaahirrahmaanirrahiim aja.... :""")


#Nah, tulisan penutup ini sekaligus menunjukkan, bahwa saya dan suami tidak pernah berpendapat bahwa wanita yang sudah menikah itu nggak berhak untuk keluar rumah atau beraktivitas sosial. Apalagi tentang menuntut ilmu.
Kalau kata suami saya sih, "yang penting jangan sampai yang *sunnah pun tidak* itu justru mengalahkan yang *wajib* bagi istri, yaitu taat dan patuh pada suami..." :)

##Step selanjutnya adalah semakin giat latihan english dan french (saya memaksa suami saya buat ikutan nemenin saya les bahasa perancis, wkwkk... ^^)

*oh iya, bytheway, karna ada yang menanyakan... enggak, saya enggak berangkat sendirian kok. saya berangkat bareng teman akhwat saya yang bernama Annisa Aninditta Lathifah. Ada mahramnya, jadi tenang aja.. :) Dan suami saya justru sangat mendukung keberangkatan saya ini ^_^

Akhir kata,,, semoga postingan kali ini sekaligus mengclearkan postingan saya sebelumnya ya ^___^ 
see ya! ;)