Pages

Showing posts with label serial wedding. Show all posts
Showing posts with label serial wedding. Show all posts

Monday, August 26, 2013

Wanita Menikah yang Berkarir -- Sunnah pun Tidak

bismillaahirrahmanirrahiim..

Sebenarnya postingan ini semi-curhat juga.. Berawal dari keseringan saya menjumpai berbagai pertanyaan dari teman-teman mengenai pernikahan; entah itu "gimana rasanya menikah?", "susah nggak nikah?", "dulu gimana kok bisa ketemu sama si mas?", dan kawan-kawan, ada satu pertanyaan yang sedikit menggelitik, "kalo menikah trus nanti gimana kuliahnya? trus nanti karirnya gimana dong?" Terlebih beberapa teman perempuan yang curhat ke saya tentang penundaan mereka menikah ya karena orangtua mereka menyuruh mereka berkarir dulu dan baru menikah kemudian.

"Buat apa sekolah susah-susah, mahal-mahal, kalo ujung-ujungnya justru malah cuma jadi ibu rumah tangga??" -ini termasuk pertanyaan paliing sering yang saya dapat.

Jujur, dari dulu saya juga nggak pernah berpikiran untuk menjadi ibu rumah tangga.. Saya lahir dan besar dalam keluarga dimana ibunda dan bapak saya semuanya bekerja.. Bapak ngantor dari jam 7-sampai siang, dan sorenya wirausahawan (bapak punya perusahaan kecil-kecilan pembangunan perumahan gitu). Sedangkan ibunda saya justru lebih padat lagi, dari jam 7.00 sampai siang jaga poli di rumah sakit daerah, lalu sore sampai malam jaga praktek di rumah sakitnya sendiri.. Pulangnya biasanya jam 22.00 ke atas,, dan itupun jam dua pagi masih sering bangun dan ke rumah sakit lagi untuk operasi..

Saya dan adik-adik saya jaraang sekali bertemu orangtua, tapi ketika ada beberapa jam waktu bersama di rumah, pasti akan termanfaatkan dengan maksimal..

Karena kondisi orangtua yang sama-sama bekerja itu lah, kami sekeluarga sudah biasa membagi tugas merata ke semua anggota keluarga.. Kalau ibu belum pulang, ya kadang bapak yang masak. Nanti siapa yang masak, siapa yang cuci, siapa yang ngunci-ngunci rumah, dan lain lain.

Nah, ketika menikah, saya menemukan potret keluarga yang lain. Keluarga suami saya itu mom-center. Yang bekerja ya cuma abah, sedangkan yang lebih sering di rumah ya ummi..  Berhubung ummi itu full ibu rumah tangga, dan aktivas beliau juga hanya di sosial (jadi ketua GRAPYAK, ngisi pengajian di mana-mana, kegiatan-kegiatan Salimah, dan kawan-kawan) jadi ya memang semua pekerjaan yang di rumah dilakukan ummi..

Di sini bedanya.. Saya waktu awal-awal menikah itu jadi semacam culture shock. Biasanya di rumah saya, semua orang bertanggung jawab sama dirinya sendiri. Apalagi beberapa tahun ini kan saya cuma tinggal sendirian di jogja. Kalau makan ya piringnya dicuci sendiri, kalau pingin makanan lain ya masak sendiri, dan sebagainya. Nah, padahal di keluarga suami itu sistemnya mom-center, ya semua pekerjaan rumah wajib dilakukannya sama si istri. Yang pihak laki-laki itu ya makanan dimasakkan, disiapkan, dicucikan, dan sebagainya. Contoh sederhananya, kalau saya nggak makan ya suami juga nggak mau makan. Repot kan.. ^^"

Nah,, akhirnya kita baru diskusi.. Gimana baiknya untuk ke depannya..

Kalau secara cita-cita, suami dan keluarga suami saya itu sangat mendukung cita-cita saya untuk menjadi dokter spesialis kandungan seperti ibunda saya (berhubung saya kan diwarisi rumah sakitnya itu).. Tapi apa saya akan sesibuk ibunda saya, itu kan pertanyaannya.

Beruntungnya, beberapa waktu lalu, saya dan suami berkesempatan datang di KRPH (Kajian Rutih Pagi Hari @Masjid Mardhiyyah) yang saat itu dibersamai oleh Ustadz Didik Purwodarsono. Tau lah ya, kalau ustadz didik itu kan pasti tentang parenting, hhe. Kebetulan waktu itu juga menyinggung tentang peran suami-istri di dalam keluarga.

Di sana beberapa poin yang saya camkan betul sampai sekarang, salah duanya adalah :
1. Seorang istri yang bekerja itu, sunnah pun TIDAK
2. Seorang anak berhak mendapatkan 3 ibu : ibu kandung, ibu susu, ibu guru

Saat poin pertama tadi dijelaskan, saya tercekat. Iya ya, sunnah aja enggak lho. Di sana ada kemuliaan Allah untuk wanita, katanya. Wanita itu, untuk meraih surga cuma tinggal patuh sama suami, sholat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan, dan menjaga kehormatan. Gitu aja. Dan dia akan bebas masuk surga dari pintu manapun. Subhanallah banget kan..

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda :
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
Apabila seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kehormatan dirinya, dan taat kepada suaminya,Maka ia akan masuk syurga dari pintu mana saja yang ia kehendaki..[HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1931]
Kata ustadz, kecuali dalam kondisi dimana istri yang bekerja itu untuk membantu perekonomian keluarga, dimana kalo si istri nggak bekerja maka akan mengganggu stabilitas keluarga..

Tapi, kata ustadz itu juga, kita perlu sadar sama lingkungan masyarakat dimana wanita juga dibutuhkan di dalam profesionalitas terutama untuk yang berhadapan dengan masalah akhwat..

Saya jadi ingat, duluu banget saya juga pernah tanya ke ibunda saya,
"Ibu nggak capek po seharian bekerja? Di luar banyak banget pasiennya, padahal di rumah juga masih harus macem-macem. Kenapa nggak bapak aja yang kerja?"

Jawaban ibu saya,
"Ibu nggak merasa sedang kerja kok. Bagi ibu ini hobi, karna ibu seneng banget kalo bisa menolong pasien. Lagipula, kalau bukan ibu, nanti para perempuan itu masa harus ke dokter kandungan yang laki-laki?"

Fyi aja, dokter kandungan itu pekerjaan yang berat lho, setiap kali ada konferensi bareng dokter-dokter kandungan, bisa dipastikan lebih dari tiga per empatnya adalah laki-laki. Bahkan di purworejo aja, dokter kandungan perempuannya ya cuma ibunda saya ini, yang lainnya laki-laki (kebayang kan ya banyaknya pasien yang datang ke ibunda saya)

Berdasarkan itulah, kemudian diambil keputusan, jadi dokter spesialis kandungan ya nggak apa-apa. Tapi tujuannya untuk aktivitas sosial, alias kita nggak mematok penghasilan dari sana. Sedangkan masalah penghasilan sepenuhnya dihandle sama suami saya, begituu. Setiap orang punya lahan da'wahnya masing-masing kan ya? Dan kami sepakat lahan da'wah saya ya melalui profesi saya itu, tanpa mengorbankan peran ibu rumah tangga sedikitpun.. :)

Btw, untuk poin selanjutnya, insyaaLLoh saya lanjut besok-besok, ini saya keburu ke kampus karna mendadak ada syuro' (padahal libur-libur) *_* btw lagi, saya ke kampus juga karna bosan di rumah nungguin suami pulang kerja, hehe. Masaknya nanti aja waktu udah mau ifthor ^_^

See ya! ;D

[UPDATE] ceritanya udah pulang dari syuro' ini, hehee, lanjut ya..

Kadang, setelah dijelaskan dengan penjelasan di atas itu, masih banyak yang kemudian berkomentar,
"Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? Buat apa jauh-jauh? Buat apa mahal-mahal?? Kalo cuma jadi ibu rumah tangga aja, percuma dong!"


Hmm… apa benar, ilmu itu jadi nggak bermanfaat? Yuk kita bahas, sekalian sedikit banyak menyinggung poin nomor dua tadi.. ^^
Ini beberapa alasan versi saya, kenapa anak perempuan tetap harus sekolah, walaupun sejak awal sudah berniat untuk nggak kerja kantoran.. Sekali lagi, ini versi SAYA lho ya.. jadi dilarang protes ^.^
1. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan dapat suami yang setara.
Sebuah artikel yang ditulis Susan Patton, seorang alumunus Princeton, sempat diprotes para feminis. Patton bilang kalau saat-saat di kampus Princeton-lah masa-masa emas wanita mencari jodoh, yang kalau bisa sesama mahasiswa Princeton, supaya secara intelektualitas setara. Karena setelah lulus dari Princeton, bakal susah mencari pria setara yang masih available (jomblo kalo istilah kita hehe). Para pria cenderung mencari wanita yang lebih muda & berpendidikan lebih rendah, jadi semakin tua & pintar wanita, semakin susah jodohnya. Ini kata Patton lho..
Artikel ini mungkin terdengar jahat, tapi suka nggak suka banyak kakak kelas perempuan saya yang akhirnya menikah dengan teman kampus, satu angkatan atau senior. Walaupun lebih banyaak lagi yang menikah dengan teman SMA, atau angkatan bawahnya atau atasnya di SMA (contohnya saya ini), tapi hal ini pun dikarenakan lingkungan dan culture yang sudah *sama* sejak di SMA (kultur SMA saya memang cenderung islami banget).
Nah, dengan kata lain, pada akhirnya dengan proses pendidikan inilah para calon ibu ini berhasil mendapatkan pria yang sama pintarnya, karena mereka sama-sama bersekolah, berpendidikan tinggi, dan berpergaulan luas :)
2. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan mampu ‘mengimbangi’ suaminya.
Walaupun tidak bekerja di luar rumah, para ibu/istri ini akan rajin membaca berita, buku, meng-update diri dengan info terbaru, termasuk dengan bagian pekerjaan suaminya. Otak yang selalu terasah dengan kegiatan membaca dan menulis akan tetap tajam, karena sudah terlatih selama proses pendidikan beberapa tahun.
Dari sebuah artikel, seorang sarjana psikolog menulis di skripsinya kalau komunikasi adalah kunci kebahagiaan rumah tangga. Komunikasi di sini bukan hanya ngomongin tentang anak-anak aja lho ya, tapi juga isu-isu terkini seperti Pemilu 2014, krisis ekonomi Eropa, bentrokan di Mesir dan Suriah, harga saham, bencana alam, perusahaan bangkrut, pidato SBY, cerita film, kabar artis, kasus korupsi, pokoknya selain hal-hal domestik. Tentu, para istri yang berpendidikan akan jauh lebih mampu melakukannya dibandingkan dengan istri yang tidak berpendidikan kan? :)
3. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan bersosialisasi dengan luwes dan percaya diri.
Seperti yang kita tau, sekolah nggak hanya menghasilkan technical skills aja, tapi juga interpersonal dan soft skills. Salah satu tugas para ibu/istri adalah menemani suami ke acara-acara kantor, yang otomatis membuat mereka harus bergaul dengan atasan atau bawahan suaminya. Mereka yang berpendidikan tentu akan percaya diri dan yakin dalam berbicara. Mereka punya banyak topik, termasuk bisa bilang, “oh.. saya juga alumnus kampus itu.. wah sempat diajar sama Pak Fulan?”. Ujung-ujungnya akan bikin suami bangga dan tambah sayang sama kita ^^
4. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan adalah pendidik anak nomor satu.
Kalau yang ini sih nggak perlu diperdebatkan lagi yah.. Ilmu yang dipunyai sang ibu tentu bisa diaplikasikan di rumah tangga. Mulai dari masalah memasak, mengatur uang, berbelanja, mendesain rumah, sampai mendidik anak. Tentu si anak akan bangga kalau ibunya berijazah sarjana, bisa berkarir di luar rumah tapi memilih bersama si anak, daripada kalau ibunya nggak sekolah, jadi ibu rumah tangga karena nggak punya keahlian lain. Si anak pun punya perspektif yang setara untuk ayah-bundanya, sebagai role model yang sama hebatnya, sama pintarnya, sama baiknya. 
Masih banyak alasan lain kenapa anak perempuan harus sekolah. Kadang sedih ya kalau denger komentar yang merendahkan ibu rumah tangga yang berijazah. Padahal, mereka bisa membangun keluarga ya karena bersekolah. Kalau nggak sekolah, mungkin nggak ketemu suaminya, hehehe…
Pesan sponsor :: Jadi,, jangan halangi pendidikan anak perempuan hanya karena mereka ingin jadi ibu rumah tangga, seperti ibunya ya. Untuk para ibu/istri rumah tangga yang ingin sekolah lagi, kenapa tidak? ^^ Tetap semangat! :DD
PS : Kalau mau ada tambahan lagi dari para istri, silahkan lho ;)

Sunday, May 26, 2013

kalimat cinta dari murobbi


Aku mungkin terlalu terbiasa dengan cintamu yang cahaya, hingga harus kututup mata untuk meyakini semua benar..

Sore itu hujan ketika kami melingkar hangat di rumah murobbi tercinta..
“Apakah sasa sudah siap? Perasaan anti bagaimana?”
Diam, hanya bisa diam.
“Sa? Apa anti siap dengan seseorang yang berbeda manhaj dengan anti?”
“Aku nggak tau mbak..” akhirnya kubuka suara. “Aku nggak tau, benar-benar nggak tau. Yang jelas aku tau, aku masih ingin di sini..”
Si mbak terdiam, memandangku penuh makna. “Sa,, anti masih mampu di da’wah sa.. tenaga anti masih dibutuhkan di sini.. sepertinya permasalahan ini sebaiknya dipending dulu..”

Waktu itu tahun 2011, ketika tawaran datang dari seseorang bermanhaj salaf. Seseorang yang bahkan sudah berbicara pada orangtua saya. Sayangnya saya memang belum terpikir ke arah sana, sama sekali, dan akhirnya saya pun mengambil keputusan untuk mengikuti saran murobbi saya. Ya, saya masih ingin di sini, saya belum ingin menerima siapapun.. dan alhamdulillah, keputusan itu merupakan keputusan terbaik pada saat itu..

======

Waktu-waktu selanjutnya kemudian saya habiskan untuk fokus di da’wah,, bersama lingkaran hangat saya tersebut.. Sampai suatu ketika, tawaran itu datang kembali, dari seseorang yang berbeda, namun kali ini dari manhaj yang sama..

“Sa.. bagaimana pendapat anti?”
Lagi-lagi saya hanya bisa menjawab lirih, “Aku nggak tau mbak..”
“Orangnya memang insya Allah baik, Sa.. Dan alhamdulillah satu manhaj.. Tapi,, apa sasa sudah siap mengambil keputusan?”
Saya menggeleng waktu itu, “enggak mba,, belum... aku belum bisa,, aku belum mampu..”
Terdiam lama hingga akhirnya si mbak merengkuh kepala saya dengan penuh kasih, “ya sudah,, jangan dulu.. memang sepertinya beliau baik, tapi ada pendapat orang yang berkata lain.. Sasa di sini dulu aja ya..”
Masih di penghujung tahun yang sama, saya kembali mengambil keputusan itu.. keputusan untuk belum menerima siapapun.. dan saya bersyukur sekali, dalam masa-masa itu saya selalu dalam pengawasan murobbi tercinta saya,, karna ternyata keputusan itu tak pernah salah...

=====

Sampai pada akhirnya,, ternyata saya dipertemukan oleh seseorang yang diam-diam mencuri perhatian saya.. ya, seseorang yang belum lama saya kenal, tapi sudah berani menunjukkan kesungguhannya dengan mendatangi langsung orangtua saya..
Kembali, saya berbicara dua hati dengan murobbi tersayang..
“Sasa... bagaimana? Mbak kemarin udah baca proposal beliau...”
Bagaimana? Yang saya tau, sore itu terasa syahdu sekali, kami duduk bersampingan di lantai bawah kantor DP*.. kesyahduan itu ditambah keheningan dari saya, karna saya benar-benar tidak tau harus merespon apa.
“Mbak udah nyari info tentang beliau ke murobbi di atas mbak,, dan insya Allah beliau juga kader, Sa... Orangtua beliau juga da’i,, bahkan ibu beliau merupakan kader inti.. Insya Allah tujuan pernikahan ini merupakan salah satu kemaslahatan umat, Sa..”
Saya masih diam,, memandang bendera yang berkibar-kibar di seberang mata saya.. Apa saya benar-benar harus menyiapkan diri untuk menerima? Atau saya bisa mengambil keputusan seperti waktu-waktu terdahulu? Yaa muqollibal quluub...
“Sasa... udah istikharoh..?”
Saya menggeleng pelan, masih menatap hening pemandangan di kejauhan.
“Sasa istikharoh dulu ya,, insya Allah semoga diberi Allah jawaban yang terbaik..”

Ya,, dan kemudian butuh beberapa waktu bagi saya untuk memikirkan hal ini masak-masak.. menimbang segalanya.. menyusun pondasi-pondasi jawaban...
Dan di dalam proses itu,, entah sudah berapa kali kami (saya dan murobbi) berbicara dua hati.. yang tetap saja masih belum bisa membuat saya yakin jalan mana yang harus dipilih.. Persoalan ini benar-benar rumit menurut saya.. jika orang lain yang sudah saling cinta dan ingin menikah biasanya mendapat berbagai halangan entah dari pihak apapun, tapi cerita saya lain. Di cerita ini justru pihak lain lah yang telah bersikukuh meneguhkan, entah murobbi atau bahkan orangtua, tapi saya sendiri malah cenderung belum bisa memutuskan..

“Apa yang mengganjal di Sasa? Kenapa sepertinya justru nggak senang?” tanya beliau di sore yang kesekian.
“Aku... nggak tau mbak... Aku kayaknya belum bisa meninggalkan semua yang ada di sini.. aku masih ingin di sini mbak,, di da’wah ini... Aku kemarin juga udah bilang ke beliau,, kalau aku lebih ingin berada di sini,, dibanding apapun...”
“Sasa... menikah itu bukan berarti kemudian hilang dari amanah..
Justru dengan menikah seharusnya lebih banyak lagi amanah yang bisa diemban.. Dengan menikah, justru Sasa mendapat tambahan amanah baru.. entah itu sebagai istri, ataupun sebagai menantu, dan bahkan sasa mendapat amanah sebagai anggota masyarakat dengan status menikah itu... amanah ada dimana-mana Sa,, da’wah ada di mana-mana... kalau sasa mau, Sasa juga masih boleh ada di sini.. kami sangat menerima Sasa kok... walaupun kemudian, memang tanggung jawab Sasa kemudian pindah ke suami,, bagaimanapun juga da’wah ini tidak boleh mengalahkan bakti Sasa ke suami..”
“Hhh... nggak tau mbak...”
Si mbak memegang tangan saya pelan, “apa yang sebenarnya mengganggu Sasa? Apa yang mengganjal?”
Saya waktu itu cuma bisa tertunduk, berusaha mengumpulkan segala keberanian untuk mengatakan ganjalan terbesar selama ini. “Aku... nggak mau ngelangkahin Mbak... Mbak kan belum menikah.. harusnya mbak dulu, baru aku...”
“Ya Allah, Sasa.... nggak boleh bilang seperti itu, Sa..” si mbak menepuk punggung tangan saya berkali-kali. “Sasa percaya kan kalau jodoh itu sudah ada yang mengatur? Sasa percaya kan kalau jodoh masing-masing orang itu tidak pernah terlambat? Nggak ada kata ngelangkahin Sa,,, nggak boleh bicara seperti itu.. Mbak nggak apa-apa kok kalau Sasa yang menikah duluan,, nggak jadi masalah Sa.. Yang jadi masalah justru kalau amanah Sasa tidak terkondisikan setelah Sasa menikah..
Bismillah,, sasa dimantepin aja ya Sa.. insya Allah ini yang terbaik bagi Sasa maupun bagi umat... Barokallah...”

=====

Dan akhirnya,, saya benar-benar memilih jalan itu... ya, saya memilih jalan menerima seseorang itu... seseorang yang kemudian kini menjadi suami saya, dan saya sangat bahagia telah memilih jalan itu.. Saya bahagia ketika akhirnya melangkahkan kaki ke jenjang itu, hingga sekarang, dengan mengikutsertakan segala keping-keping kalimat cinta dari murobbi saya.. Seperti kata suami saya yang begitu cinta dengan tarbiyah, saya juga.. saya cinta dengan tarbiyah ini, dan juga dengan murobbi saya.. Karna di jalan da’wah inilah kami menikah... :’) 
#dan saya juga cinta dengan suami saya ;) hehe




Wednesday, April 24, 2013

Marriage isn't a Cinderella Love Story


Marriage isn’t a Cinderella Love Story

Kenapa saya tiba-tiba menulis tulisan ini di tengah himpitan jadwal ujian yang sedang berlangsung? Bukan, bukan karna saya baru saja menonton film Cinderella. Jawabannya mudah : saya sedang melarikan diri dari stress pasca ujian Osce tadi siang =,=

Kalau secara konten, sebenarnya saya sudah ingin membuat tulisan tentang ini sejak bulan lalu. Kenapa? Simpel, karena sejak saya menikah 3 bulan yang lalu, semua orang yang bertemu saya rata-rata menanyakan hal yang sama, “menikah itu rasanya gimana sih?”, “menikah itu enak nggak?” atau bahkan ada juga yang mengemukakannya dalam bentuk judgement, “sasa sekarang wajahnya bahagia terus ya, pasti pernikahannya nggak ada masalah deh.”

Kira-kira seperti itu yang sering menjadi pertanyaan besar bagi siapapun yang belum berada di tengah-tengah pernikahan itu sendiri. Entah itu statement atau pertanyaan, atau bisa jadi keduanya. Meski tetap saja, ketertarikan banyak orang terhadap pasangan yang menikah muda tak bisa ditampik.

Beberapa kali, rekan orangtua saya juga sering menanyakan pertanyaan yang sama pada saya, yang kurang lebih menuntut jawaban mengenai motivasi kami menikah muda, padahal keduanya masih sama-sama menuntut jenjang kuliah. Menurut saya, motivasi memang sangat menentukan persepsi susah atau tidaknya sesuatu, atau paling tidak timing dan responnya.

Jadi, sebelum menjawab pertanyaan tadi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali kembali motivasi kita. Jangan sampai, saat kalian memilih untuk lanjut ke jenjang pernikahan, motivasi yang kalian punya adalah hal-hal yang rapuh, lemah, yang tidak cukup kuat untuk meyakinkan diri kalian pada titik-titik nadir.

Contoh sederhana, menikah karena suka-sama-suka, menikah karena sudah melampaui usia lanjut, atau bahkan ada yang terpaksa menikah karena suatu kasus tertentu (oalah, kalau menikah cuma sekedar menikah, mana ada ‘arsy Allah sampai bergetar ketika janji suci terucap? menikah adalah panggilan hati, menjadi seorang istri -ataupun suami- layaknya seorang pemegang amanah besar yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya; it’s not about the status anymore), atau mungkin juga karna keinginan-keinginan lain yang kalau saya tanya, “Kamu yakin alasan itu bisa membuat kamu bangkit dari titik terendahmu jika kelak kalian ada goncangan dalam pernikahan?”, kalian akan menggeleng kuat dan menyatakan tidak.

Mengapa? Karena sesungguhnya, dalam hal apapun, peperangan paling berat terjadi dalam diri kita sendiri. Salah satu bentuk jihad yang utama (jihad itu artinya perjuangan lho, struggle) adalah jihad melawan hawa nafsu.

Terlebih tentang menikah di usia muda, yang mana masih menuntut ilmu di jenjang kuliah. Jauh sebelum rumah menjadi berantakan atau hasil masakan yang kurang sesuai harapan, kalian sudah dikalahkan oleh keinginan untuk menyerah dalam berusaha. Jauh sebelum kalian bertengkar karna permasalahan yang sama, kalian sudah akan dikalahkan oleh penolakan untuk belajar dari kesalahan sebelumnya.

Jadi, jawaban untuk pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ juga kuat dipengaruhi oleh niatnya, motivasinya.

Jika ditilik dari segi proses pembelajarannya, memang, menikah di usia muda memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, diresapi, dalam usia yang masih begitu dini. Tentang bagaimana mengatur waktu antara jadwal kuliah yang subhanallah dengan memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana memenuhi amanah sebagai masyarakat sosial di lingkungan sekitar, sementara masih banyak tanggungan dari buku-buku yang tebal dan menyesakkan besarnya tapi sama sekali tak bisa kau tolak untuk dibaca, materi-materi yang rumit dan komprehensif, serta tugas-tugas perkuliahan yang luar biasa menyita waktu. Belum lagi tentang bagaimana membagi diri dari satu amanah dengan amanah lain yang berada di luar perkuliahan maupun lingkungan kemasyarakatan.

Maksud saya begini, apa yang harus dijalani dalam proses pernikahan di usia muda memang menantang, tapi menyerah atau tidaknya kita, kembali pada diri kita masing-masing.

Apakah hal yang menantang itu akan menjadi sesuatu yang kita pandang sebagai sesuatu yang sulit, atau sesuatu yang menyenangkan?

Maksudnya menyenangkan?
Saat kita punya tujuan yang jelas, maka hati, akal, dan jasad kita akan saling bersepakat untuk saling menguatkan menuju tujuan itu. Kita akan mempunyai kombinasi perasaan yang luar biasa : senang, semangat, teguh. Lagipula, senang di sini bukan berarti tidak ada tangisan disana, tapi senang yang menetap; senang yang bermula dari benih lalu tumbuh menjadi pohon yang besar. Bukan senang yang periodik. Mungkin, pada masa-masa saat kami ada masalah dalam rumah tangga, saya akan sering menangis; saat amanah-amanah yang ada menuntut saya berbuat lebih banyak, saya juga akan menangis, tetapi setelah itu, saya bahagia. Bersyukur karena Allah masih memberikan begitu banyaak kesempatan yang harus saya tempuh untuk mencapai mimpi saya, untuk meraih surga, dan kebahagiaan itu akan menjadi penghubung bagi kebahagiaan-kebahagiaan saya selanjutnya. InsyaaLLoh.

Berat, iya. Tapi pertanyaan intinya bukan itu. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki determinasi dan istiqomah untuk berdo’a, berjuang, dan bertawakkal agar rasa berat itu menjadi ringan?
Agar Allah mempermudah segala kesulitan.
Agar Allah membimbing segala langkah kita.
Agar Allah mendukung segala perjuangan kita.
Agar ridho dan syurga-Nya menjadi hadiah terbaik dari-Nya.

Jadi, pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ adalah pertanyaan yang multidimensional, dan meskipun beberapa orang berpendapat bahwa pertanyaan itu bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’, ketahuilah, jawabannya tak pernah berhenti sampai di sana.

Karena, memilih untuk menikah di usia muda artinya memilih bagaimana kamu akan menjalani peran dalam kehidupanmu selanjutnya.

Di dalam pernikahan, kalian belajar bukan untuk diri kalian sendiri. Kalian menangis, sakit, sedih, tertawa, berjuang, bukan untuk diri kalian sendiri. Murni, untuk Allah, dan untuk orang-orang yang diamanahkan menjadi pasangan kalian. Juga untuk jundi-jundi Allah yang besok Ia titipkan kepada kalian.

Yang akan menjudge kalian, bukan para teman, bukan orang tua kalian, tapi Tuhan kalian. Sosok yang akan kalian hadapi saat hari penghitungan kelak.

Memilih menjadi mahasiswa kedokteran, dan menikah di usia muda, adalah salah satu pilihan terbesar yang pernah saya ambil. Makna penuh tentang tanggung jawab menjadi semakin akrab dalam kehidupan saya.
Ya, ini tanggung jawab saya.
Subhanallah.

Jadi, sebelum membulatkan hati untuk memasuki dimensi pernikahan ini, luruskan dan teguhkan kembali niat kalian. Bismillaah. Yakinkan diri kalian,
Menjadi istri –ataupun suami- adalah bentuk ketaatanku pada Allah.

Setelah itu, mari bergabung bersama, kita ikhtiarkan untuk bersama-sama menggapai jannah-Nya yang kita nanti-nantikan. InsyaaLLoh, jalan ini akan menjadi jalan yang paling kita syukuri sejak saat ini dan seterusnya. J

Wednesday, February 13, 2013

Still a better love story than Twilight... ^_^**



Bismillahirrohmanirrohim..
Berniat melunasi hutang ke teman-teman yang menanyakan kisah pertemuan dengan si mas.. Alhamdulillah puzzle ceritanya udah jadi,, smoga bisa terlunaskan ya.. ^^

Puzzle pertama : sebuah perkenalan
Lokasi : Loby SMAN 1 Teladan
Waktu : akhir tahun 2009

Semua cerita berawal di penghujung tahun 2009.. Saat itu saya masih kelas 2 SMA awal,, dan lagi ribet mau ada lomba... Lomba penelitian tingkat kota kayaknya,, lupa. Hehe.. Nah, waktu itu saya udah janjian sama pembimbing buat ketemuan di Teladan.. Lamaa banget gitu kok pembimbing nggak dateng-dateng juga,, yasudah lah saya ke loby aja, niatnya pingin duduk-duduk sambil mainan hape gitu (mumpung sofa di loby kan empuk banget hehee ^^)..

Beberapa menit berlalu.. saya merasa ada orang masuk loby, saya nengok, orang asing.. Yang jelas bukan pembimbing saya. Oke, lanjut lagi mainan hape,, nggak perduli sama sekali sama orang asing yang pas itu duduk di seberang saya. Lagi asyik-asyiknya mainan, mendadak orang asing yang tadi bersuara..

                “Eh dek, dek, njenengan POH (pengurus rohisnya Teladan) ya?”
                (bingung)
                “Itu, jaketnya njenengan. Iya kan?”
                (nengok ke jaket sendiri) “Oh iya, bener, kenapa ya?”
                “Saya dulu juga di POH, saya Ketua1 nya. Sekarang gimana kabarnya  rohis Teladan?”
                (bingung lagi. ini orang-asing-nggak-dikenal kok ya bisa-bisanya sok kenal nanya-nanya gitu..)
                “Dek?”
                “Oh iya mas, kabarnya sekarang ...gini... ..gini.. bla.. bla..”
                “Oh.. gitu.. hmm.. Kalau waktu kepengurusan saya dulu ...bla.. bla bla..”
                (hening) lanjut mainan hape lagi.
“Oh ya, njenengan namanya siapa dek?”
“Ha? Saya?”
(ngangguk)
“Sasa. Annisa Fitriani. Lha njenengan emangnya siapa?”
“Saya Hizbullah Abdul Aziz Jabbar...”
“Maaf, Hiz...siapa?”
“Hizbullah dek.. Itu lho baca aja namanya yang ada di papan..” (nunjuk ke papan berjudul *Siswa Berprestasi Tingkat Internasional*)
Saya noleh ke papan, dan bengong. Disana tulisannya :
**2006. Hizbullah Abdul Aziz Jabbar. PERAK. UKRAINA**
Dalam hati membatin “ini orang-asing sombong banget..ckck..” tapi mencoba khuznudzon, jadi ya saya diemin aja.... ^-^a

Hening lama banget.... Untunglah pembimbing saya mendadak datang, fiuhhh.. o__o Langsung aja pamit sama orang-asing itu dan saya pun pergi... *dan memoripun terhapus..*

Puzzle kedua : berpapasan
Lokasi : di depan kantin Salman ITB
Waktu : pertengahan tahun 2010

                Selesai InaYS, alhamdulillah dimasukkan ke daftar calon untuk ICYS.. Tapi tetep harus ikut seleksi lagi, barengan sama temen-temen lain yang dapet medali tingkat nasional dari lomba yang lain.. (nggak cuma dari InaYS aja..) Nah, seleksinya ini yang ngadain kan dari Surya Institute, lokasinya di Bandung.. Jadilah kami (saya dan tim) sering bolak-balik Jogja-Bandung gegara urusan ini..

                Suatu pagi.. bingung mau sarapan dimana.. akhirnya pembimbing kami ngajakin makan di kantin Salman ITB.. okelah, yuk mari, kan ditraktir.. Udah beberapa kali masuk ITB, jadi udah nggak bingung lagi sama tempat-tempatnya.. Pas mau masuk kantin Salman, ada juga seseorang yang mau keluar dari kantin. Sekilas ngelihatin, kok kayak pernah lihat, tapi saya waktu itu acuh aja, kan mau makan..

Ehh... si orang itu ternyata malah balik ngelihatin saya, trus tangannya nunjuk-nunjuk saya, “Eh, dek, dek, kayaknya kita pernah ketemu kan ya? Yang di loby Teladan dulu itu.. Kita pernah kenalan..”

                Saya (bengong lah ya...) “Hah? Siapa ya?” (itu kejadian kapan coba,, setahun silam... o__0)
                Beliau malah ketawa, “hahaha yaudah dek lupain aja.”
                Okey.... case closed... saya tinggal aja ngeloyor masuk kantin dan bersiap makan... laper.. -,-
                *dan-lagi-lagi memory terhapus*...

Puzzle ketiga : sebuah wall
Waktu : pertengahan tahun 2011

                Pertengahan tahun 2011.. beberapa waktu setelah pulang ke Indonesia, tau-tau muncul wall aneh dari orang-asing yang nggak-tau-sejak-kapan-jadi-friend-FB..

Kira-kira bunyinya : “Salam kenal dek. Sepertinya kita pernah ketemu dua kali ya. Yang di loby Teladan itu sama yang di kantin Salman. Oh ya, yang di Rusia itu lomba apa dek namanya?”

                Respon saya? Lagi-lagi bengong... Ini orang kenapa niat banget ya.. Kayak nggak ada kerjaan lain gitu, masa iya cuma sliweran nggak sengaja ketemu gitu aja diinget terus. Apa saya ngelakuin salah ya sama beliau... u,u padahal saya nggak inget beliau sama sekali

                Yaudah, wallnya saya balas seperlunya aja.. toh orang-asing ini, nggak kenal juga.. ckck.. =.=
                *untuk-yang-ketiga-kalinya, memory tenggelam lagi ke dasar*..

Puzzle keempat : a proposal marriage
Waktu : awal tahun 2012

                Hmm... nggak tau gimana ceritanya, mungkin gegara jadi friend di FB itu.. mendadak di sekitar bulan februari orang-asing itu mengirimkan biodatanya ke saya dan menawarkan sebuah .... ehm, you-know-what ya... o_0 Respon saya? Saya lagi pusing pas itu, males mikir yang gituan... terlanjur ada trauma juga.

Akhirnya saya cuma bilang, “Kalau memang serius, monggo langsung ke orangtua saya saja. Biarkan mereka yang memutuskan.” Saya sih mikirnya beliau nggak akan berani,, lha ya wong baru ketemu berapa kali, itupun geje banget..

    Tapi ternyata beliau menyetujui......

                Beliau bilang, “iya, saya minta alamat orangtua njenengan ya, nanti saya kirim proposal biodata dan lainnya, karena saya di Bandung dan belum tau ke Jogja kapan.”

                Saya? Nggaktau deh, dibilangin lagi males mikir juga... o__o yaudah saya kasih aja alamatnya orangtua, sedikit introduction juga sih ke orangtua tentang keperluan si orang-asing-yang-geje-banget-itu. Tapi ya waktu itu sih saya santai-santai aja, toh orangtua saya daridulu nggak pernah menyetujui sama sekali tentang wacana pernikahan muda.. sama sekali..

                Bulan selanjutnya,, ada telpon dari ibunda tercintah... beliau mengabarkan, ehm ya intinya aja sih, bunda dan ayah meng-acc si orang-asing itu.. ya ampun ini orangtua saya kenapa.. +__+
                Oke... saya akhirnya mengabari si orang-asing itu.. kemudian dibalas, “alhamdulillah.. Oh ya, ini umi saya bilang katanya mau ngajak ketemu njenengan. Beliau minta nomernya njenengan.”

                Dan nggak lama setelah saya ngasih nomer hape, ada sms masuk.. “Assalamu’alaykum, mbak sasa ya? Ini umminya Hizbullah. Saya boleh ketemuan sama mbak sasa? Besok sore luang nggak?”

                ...... Kemudian hening.....

Saya nggak tau harus mbales gimana :o Cerita ke bunda, katanya nggak apa-apa ketemuan aja, kan silaturahim. Okelah....akhirnya saya iyakan.
                Besok sorenya, hujan-hujan, janjian ketemuan sama umi di maskam UGM..
                Selesai kenalan... obrolan dibuka dengan, “Beberapa waktu yang lalu anak saya cerita kalau ingin menikah, dan dia bilang ke saya kalau dia memilih mbak sasa. Tanggapan mbak sasa gimana?
                Wehh.... -__-“ Speechless, bengong lagi (untuk yang kesejuta kalinya). Dan sayangnya karena saya orangnya geje humoris, obrolan yang seharusnya serius itu malah berakhir dengan kegejean yang sangat parah... bahkan pas pulang kita malah ketawa-ketawa terus (lupa ngobrolin apa), yang jelas jauh banget sama topik yang seharusnya.. astaghfirullah... maafkan saya tante.. o_o

                Sepulangnya dari maskam, udah mencoba untuk lupa sama pertemuan geje itu.. Sampai si orang-asing itu tau-tau mengabari, “Assalamu’alaykum dek. Barusan umi saya telpon, beliau bilang kalau suka sama njenengan. Jadi insya Allah bulan depan umi akan sowan ke rumah orangtua njenengan, bersama abah dan juga saya.”

                Mbatin : “Eh? Ya ampun,,,, ini apa..... o__0”

                Emm, dan kelanjutan ceritanya seperti yang sekarang bisa dilihat.. hehe..
Setelah 2 kali melakukan silaturahim antar keluarga, dan juga istikharoh yang panjang,, akhirnya semua kisah kami tutup dengan puzzle kelima di awal tahun 2013...

Dan ucapan yang sampai sekarang masih saya inget banget,, ucapan tersoswit dari si mas setelah akad...

“Sebenernya, saya udah suka sama dek sasa sejak pertama kali ketemu di Loby Teladan itu.. Bahkan waktu itu saya memang sengaja ke loby karena melihat dek sasa. Sewaktu pertemuan itu juga, saya sudah membatin akan menjadikan dek sasa sebagai calon istri. Tapi karena setelah itu nggak pernah ketemu lagi, ya saya juga lupa.. Untung ya bisa dipertemukan lagi...”

Wew..... gombal banget... hehehe... ^^a

*PS : btw, papan nama di Loby Teladan yang lama udah digusur lho, udah uzur berumur mungkin ya.. ^^a
Sekarang papannya ganti jadi ini :

Tapi papannya ini banyak salahnya, banyak banget typo salah nama, negara, nama lomba… bahkan ada nama yang ilang... yaampun..

 **PS : ini udah selesai kisahnya... hutang saya lunas ya manteman.. ^-^

Pada akhirnya nanti, semua pasti akan berjodoh pada pasangannya masing-masing..
Tak perlu takut, tak perlu khawatir. Semua sudah diatur olehNya...
Karena apa yang tidak ditakdirkan untuk menimpamu, semudah apapun jalannya, tidak akan pernah menjadi milikmu...
Pun juga sebaliknya...
Apa yang ditakdirkan bagimu, sesulit apapun kelihatannya, sesukar apapun jalannya, semustahil apapun itu, pasti tetap akan terjadi padamu..
Dan yakinlah, Allah itu selalu dan pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambaNya..
JJJ

#sebelumnya menuliskan kisah ini di notes fb dan kaget sendiri karna mendapat 237 likes, 15 share, 62 comments.. *_*)""