Pages

Wednesday, April 24, 2013

Marriage isn't a Cinderella Love Story


Marriage isn’t a Cinderella Love Story

Kenapa saya tiba-tiba menulis tulisan ini di tengah himpitan jadwal ujian yang sedang berlangsung? Bukan, bukan karna saya baru saja menonton film Cinderella. Jawabannya mudah : saya sedang melarikan diri dari stress pasca ujian Osce tadi siang =,=

Kalau secara konten, sebenarnya saya sudah ingin membuat tulisan tentang ini sejak bulan lalu. Kenapa? Simpel, karena sejak saya menikah 3 bulan yang lalu, semua orang yang bertemu saya rata-rata menanyakan hal yang sama, “menikah itu rasanya gimana sih?”, “menikah itu enak nggak?” atau bahkan ada juga yang mengemukakannya dalam bentuk judgement, “sasa sekarang wajahnya bahagia terus ya, pasti pernikahannya nggak ada masalah deh.”

Kira-kira seperti itu yang sering menjadi pertanyaan besar bagi siapapun yang belum berada di tengah-tengah pernikahan itu sendiri. Entah itu statement atau pertanyaan, atau bisa jadi keduanya. Meski tetap saja, ketertarikan banyak orang terhadap pasangan yang menikah muda tak bisa ditampik.

Beberapa kali, rekan orangtua saya juga sering menanyakan pertanyaan yang sama pada saya, yang kurang lebih menuntut jawaban mengenai motivasi kami menikah muda, padahal keduanya masih sama-sama menuntut jenjang kuliah. Menurut saya, motivasi memang sangat menentukan persepsi susah atau tidaknya sesuatu, atau paling tidak timing dan responnya.

Jadi, sebelum menjawab pertanyaan tadi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenali kembali motivasi kita. Jangan sampai, saat kalian memilih untuk lanjut ke jenjang pernikahan, motivasi yang kalian punya adalah hal-hal yang rapuh, lemah, yang tidak cukup kuat untuk meyakinkan diri kalian pada titik-titik nadir.

Contoh sederhana, menikah karena suka-sama-suka, menikah karena sudah melampaui usia lanjut, atau bahkan ada yang terpaksa menikah karena suatu kasus tertentu (oalah, kalau menikah cuma sekedar menikah, mana ada ‘arsy Allah sampai bergetar ketika janji suci terucap? menikah adalah panggilan hati, menjadi seorang istri -ataupun suami- layaknya seorang pemegang amanah besar yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya; it’s not about the status anymore), atau mungkin juga karna keinginan-keinginan lain yang kalau saya tanya, “Kamu yakin alasan itu bisa membuat kamu bangkit dari titik terendahmu jika kelak kalian ada goncangan dalam pernikahan?”, kalian akan menggeleng kuat dan menyatakan tidak.

Mengapa? Karena sesungguhnya, dalam hal apapun, peperangan paling berat terjadi dalam diri kita sendiri. Salah satu bentuk jihad yang utama (jihad itu artinya perjuangan lho, struggle) adalah jihad melawan hawa nafsu.

Terlebih tentang menikah di usia muda, yang mana masih menuntut ilmu di jenjang kuliah. Jauh sebelum rumah menjadi berantakan atau hasil masakan yang kurang sesuai harapan, kalian sudah dikalahkan oleh keinginan untuk menyerah dalam berusaha. Jauh sebelum kalian bertengkar karna permasalahan yang sama, kalian sudah akan dikalahkan oleh penolakan untuk belajar dari kesalahan sebelumnya.

Jadi, jawaban untuk pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ juga kuat dipengaruhi oleh niatnya, motivasinya.

Jika ditilik dari segi proses pembelajarannya, memang, menikah di usia muda memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, diresapi, dalam usia yang masih begitu dini. Tentang bagaimana mengatur waktu antara jadwal kuliah yang subhanallah dengan memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana memenuhi amanah sebagai masyarakat sosial di lingkungan sekitar, sementara masih banyak tanggungan dari buku-buku yang tebal dan menyesakkan besarnya tapi sama sekali tak bisa kau tolak untuk dibaca, materi-materi yang rumit dan komprehensif, serta tugas-tugas perkuliahan yang luar biasa menyita waktu. Belum lagi tentang bagaimana membagi diri dari satu amanah dengan amanah lain yang berada di luar perkuliahan maupun lingkungan kemasyarakatan.

Maksud saya begini, apa yang harus dijalani dalam proses pernikahan di usia muda memang menantang, tapi menyerah atau tidaknya kita, kembali pada diri kita masing-masing.

Apakah hal yang menantang itu akan menjadi sesuatu yang kita pandang sebagai sesuatu yang sulit, atau sesuatu yang menyenangkan?

Maksudnya menyenangkan?
Saat kita punya tujuan yang jelas, maka hati, akal, dan jasad kita akan saling bersepakat untuk saling menguatkan menuju tujuan itu. Kita akan mempunyai kombinasi perasaan yang luar biasa : senang, semangat, teguh. Lagipula, senang di sini bukan berarti tidak ada tangisan disana, tapi senang yang menetap; senang yang bermula dari benih lalu tumbuh menjadi pohon yang besar. Bukan senang yang periodik. Mungkin, pada masa-masa saat kami ada masalah dalam rumah tangga, saya akan sering menangis; saat amanah-amanah yang ada menuntut saya berbuat lebih banyak, saya juga akan menangis, tetapi setelah itu, saya bahagia. Bersyukur karena Allah masih memberikan begitu banyaak kesempatan yang harus saya tempuh untuk mencapai mimpi saya, untuk meraih surga, dan kebahagiaan itu akan menjadi penghubung bagi kebahagiaan-kebahagiaan saya selanjutnya. InsyaaLLoh.

Berat, iya. Tapi pertanyaan intinya bukan itu. Pertanyaannya adalah, apakah kita memiliki determinasi dan istiqomah untuk berdo’a, berjuang, dan bertawakkal agar rasa berat itu menjadi ringan?
Agar Allah mempermudah segala kesulitan.
Agar Allah membimbing segala langkah kita.
Agar Allah mendukung segala perjuangan kita.
Agar ridho dan syurga-Nya menjadi hadiah terbaik dari-Nya.

Jadi, pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ adalah pertanyaan yang multidimensional, dan meskipun beberapa orang berpendapat bahwa pertanyaan itu bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’, ketahuilah, jawabannya tak pernah berhenti sampai di sana.

Karena, memilih untuk menikah di usia muda artinya memilih bagaimana kamu akan menjalani peran dalam kehidupanmu selanjutnya.

Di dalam pernikahan, kalian belajar bukan untuk diri kalian sendiri. Kalian menangis, sakit, sedih, tertawa, berjuang, bukan untuk diri kalian sendiri. Murni, untuk Allah, dan untuk orang-orang yang diamanahkan menjadi pasangan kalian. Juga untuk jundi-jundi Allah yang besok Ia titipkan kepada kalian.

Yang akan menjudge kalian, bukan para teman, bukan orang tua kalian, tapi Tuhan kalian. Sosok yang akan kalian hadapi saat hari penghitungan kelak.

Memilih menjadi mahasiswa kedokteran, dan menikah di usia muda, adalah salah satu pilihan terbesar yang pernah saya ambil. Makna penuh tentang tanggung jawab menjadi semakin akrab dalam kehidupan saya.
Ya, ini tanggung jawab saya.
Subhanallah.

Jadi, sebelum membulatkan hati untuk memasuki dimensi pernikahan ini, luruskan dan teguhkan kembali niat kalian. Bismillaah. Yakinkan diri kalian,
Menjadi istri –ataupun suami- adalah bentuk ketaatanku pada Allah.

Setelah itu, mari bergabung bersama, kita ikhtiarkan untuk bersama-sama menggapai jannah-Nya yang kita nanti-nantikan. InsyaaLLoh, jalan ini akan menjadi jalan yang paling kita syukuri sejak saat ini dan seterusnya. J

No comments:

Post a Comment

Punya pendapat lain? Ada tanggapan? Atau kritikan?
Yuk, budayakan komen! ;) Mari berbagi pendapat.. :)

Tinggal ketik, post comment! Nggak perlu verifikasi ;D