Pages

Showing posts with label FLP. Show all posts
Showing posts with label FLP. Show all posts

Wednesday, October 17, 2012

Sepotong Dongeng Cinta (1)


Sepotong Dongeng Cinta
Aqeela Khoirunnisa

“Kakek, aku mau dongeng cintamu...”

Embun menetes setelah hujan turun dari tempat peraduan. Seharusnya mentari muncul di balik awan, nyatanya justru senja lah yang datang melukis langit menjadi kemerahan. Aku masuk kamar, gelap, lalu kutengok sejenak jendela, berharap mendapatkan sebersit cahaya dari lampu luar. Ternyata yang kudapat justru sosok kakek yang tengah berdiri memandang keluar jendela. Ah, mungkin kakek sengaja mematikan lampu, aku merasa ia sedang tak ingin diganggu. Pelan pintu ku tutup kembali.
“Masuklah...tiba-tiba suara lemah kakek menahanku. Kulihat ke arah sumber suara, kakek sedang tergolek, dengan berbagai selang oksigen dan infus yang menjeratnya di ranjang. Tak ayal mataku membelalak kaget. Demi Allah, aku tadi melihat kakek berdiri di dekat jendela itu. Benarkah kakek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan kakek mengedipkan mata, “kemarilah, tak usah heran begitu..” Padahal kulihat ia sedang terbaring memejamkan mata dengan begitu tenang.
Seminggu setelah kepulanganku dari Yogyakarta, ibu mendadak meneleponku, “kakek harus operasi, sakit jantungnya mulai parah.
Aku memandang suamiku dengan helaan nafas berat, ia rupanya tahu jika telepon ibu itu mengenai kakek. “Pergilah,” ia memegang tanganku lembut, “biar aku yang mengurus Aqeela. Pulanglah ke tempat kakek, sebelum terlambat...
Huff... Enggan sekali rasanya meninggalkan sulung kecilku yang sedang lucu-lucunya itu. Terlebih permintaan ibu untuk pulang lagi ke Padang hanya demi operasi kakek.
Aku memang tak terlalu dekat dengan kakek. Bahkan tak menyukainya. Aku ingat sekali, semasa kecil dulu, adik-adik dan sepupuku sangat suka mendengarkan cerita kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa batu-batu kebaikan, serigala hutan yang bertaring, ikan paus yang menjadi perantara jalan taubat Nabi Yunus, ataupun tentang Nabi Sulaiman yang bisa mendengarkan percakapan semut dan buaya.
Semua cerita itu bohong, kataku, setiap kakek bertanya kenapa aku tak menyukai ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika, atau biologi, atau apapun yang penting selain cerita dari kakek. Bagiku kakek tak lebih dari tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata nenek. Aku memang tak suka setiap melihat kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para adik dan sepupuku—seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda—sementara nenek di dapur sibuk membuat roti bolu atau kering tempe kesukaanku. Aku lebih suka menemani nenek di dapur, mencicipi remah kue yang ia buat, dan selalu merasa begitu bangga ketika nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.
Tapi adik-adik dan sepupuku bilang, kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular, dan kupikir pasti mereka sudah tertular khayalan kakek.
Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue secara perlahan.
“Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat..
***
Kakek ingin ketemu kamu, kata ibu di telepon. Huh, pasti dek Ifah yang menyuruh. Kakek memang tinggal bersama adik pertamaku itu, dan ia tahu kalau aku pasti mau mendengarkan jika yang menelepon ibu.
“Kenapa kamu tak suka kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku kemudian mengambil acak sebuah buku untuk kubaca, berpura-pura sibuk dan mencoba menghiraukan pertanyaan itu.
Suaranya lembut, membuatmu merasa tenteram setiap mendengarkannya bercerita. Ibu ternyata tak menganggap serius kesibukanku membolak-balik buku, ia terus saja menyudutkanku dengan pertanyaannya. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan—ini yang menurut adik-adik dan sepupumu paling disukai dari kakek—tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya. Lalu kenapa kamu tak menyukai kakek?
“Entahlah,” itu jawabanku, dulu. Sebuah jawaban yang baru kurenungkan sekarang. Mungkin karena iri? Atau tak mau berbagi? Yang jelas aku membenci kakek yang membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian dimana suatu kali kakek pulang membawa martabak telur. Kakek membagi rata martabak itu untuk semua cucunya. Ya, sama rata. Dan semua gembira.
Tapi aku segera pergi. Aku ingin kakek seperti nenek! Bila punya kue, aku yang selalu dapat bagian lebih banyak. Dan aku harus mendapatkan itu. Bukankah aku cucu yang tertua? Jadi aku lah yang paling berhak atas semua kasih sayang kakek maupun nenek. Aku senang bila adik dan sepupuku menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku, itulah saat-saat paling membahagiakan buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak.
Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.
Tapi kakek ingin sekali ketemu kamu, kata ibu saat menelepon. “Tiga hari di rumah sakit, kakek bersikeras ingin pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh kakekmu kemarin. Para suster mengatakan kalau kakek adalah pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek memanggil suster jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya.
“Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jemari saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat kan tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar bersayap…,” kata Ibu, mereka-ulang ucapan kakek kepada suster. “Waktu itu suster hanya diam. Karena suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kata kakek.”
***
Ah, kakek, selalu saja punya kisah yang unik, yang bagiku tetap saja menyebalkan.
Waktu itu Dek Lia mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Dek Lia yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar.
Pernah pula Tante Ita, yang tinggal di Prambanan, menelepon malam-malam, “kakek barusan datang menjenguk anakku yang sedang demam. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Hamam berangsur lenyap. Sampaikan terimakasih tante untuk kakek ya.” Padahal sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk sambil tiduran di kursi goyangnya, beranjak sedikitpun tidak.
Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Nisa. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kosnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar!
Bahkan ketika aku sudah mulai beranjak remaja pun, adik-adikku masih sering bercerita kalau kakek kerap muncul malam-malam di kamar, memberi mereka eskrim atau cokelat. Eskrim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek.
“Sulap! Itu sulap,” kataku.
“Itu mukjizat,” kata mereka, “kakek berbakat jadi nabi.”
Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karna belum tentu bisa mempunyai cucu-cucu senakal kalian ini.”

****bersambungg****

Tuesday, January 18, 2011

no title PART2

rencana sinopsis yang lain -bingung milih ^_^
baca sinopsis yang lain di post sebelumnya
------------------

Cos

Aku menyayangi Tania. Sangat menyayanginya. Cinta? Kurasa tidak. Aku tengah menjalin cinta dengan gadis lain saat itu. Dan Tania – dia terlalu mencintai Sinichi, begitupun sebaliknya. Kupikir persahabatan kami akan terus seperti ini, kami bertiga tak akan terpisahkan.

Sin

Tak ada yang dapat menggantikan posisi Tania di hatiku, kurasa begitupun dengannya. Cinta tak pernah bisa memilih, dan ia memilih tumbuh di dalam persahabatan kami. Aku mencintainya, dan akan melakukan apapun demi kebahagiaannya.

Tan

Aku bersahabat dengan Sinichi sejak kecil. Aku selalu satu kelas dengannya semenjak bangku sekolah dasar. Entahlah – mungkin ini yang namanya takdir? Sampai suatu saat ia mengajakku terikat tali pertunangan dan akupun mengiyakannya. Inikah namanya cinta? Aku juga tak tahu. Yang aku tidak sadar, bahwa aku juga mencintai Cosqar, bahkan melebihi perasaan cintaku pada Sinichi.

 

Tahukah kau kenapa ini disebut cinta segitiga?

Karena ia memiliki tiga sudut yang saling menyakiti ..

--------kalo ini prolognya gimana?-------

Awal perjumpaan Sin, Cos, dan Tan

 

“Hei, namamu siapa?” seorang gadis menegur Cosqar tiba-tiba.

Cosqar kaget. Gadis itu adalah orang pertama yang mengajaknya berbicara sejak ia pindah rumah kemarin.

"Namaku Tania, kamu siapa?"

Cosqar masih menatapnya bingung. Gadis bernama Tania itu memiliki potongan rambut pendek sebahu dengan poni yang sungguh manis. Dan kini gadis itu menatapnya dengan penuh minat, menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, membuat poninya terlihat semakin menggemaskan.

Gadis itu tersenyum kecil. “Aku nggak akan menggigitmu kok,” mengulurkan tangan, “jadi, apakah kau punya nama?”

Dengan sedikit senyum Cosqar menerima uluran tangannya, “namaku Cosqar, panggil aja Cos.”

Gadis itu membulatkan matanya, kemudian menguatkan genggaman tangannya, dan mengajak Cosqar berlari ke arah bak pasir.

“Sin, Sin, lihat deh,” Tania berteriak kepada kawannya yang sedang sibuk membenahi benteng pasir, masih dengan menyeret Cosqar agar mempercepat larinya. Cosqar heran dengan tingkah gadis ini. Ia melihat dari kejauhan kalau orang yang dipanggil Sin itu hanya acuh terhadap panggilannya dan terus saja mengisi ember kecil dengan pasir, memadatkannnya, untuk kemudian membalikkan ember ke lahan datar. Voila, istana tadi bertambah lagi satu tingkat.

“Sin, SINICHI, lihat ke arah sini dong, ada yang bagus nih,” Tania nampaknya tak mau kalah saing dengan benteng pasir, berusaha menarik perhatian Sinichi lebih keras.

Sinichi akhirnya menoleh ke sumber suara, pasti si cempreng, menyipitkan mata saat tatapannya menantang matahari. “Mana?”

Tania melompat-lompat kegirangan. "Coba dong kamu cari."

Sinichi mengedarkan pandang ke penjuru taman bermain itu, mencari sesuatu yang kiranya dianggap bagus oleh kawannya tadi. Tapi taman bermain itu sepi, hanya ada permainan-permainan usang yang tak pernah dipakai bermain lagi. “Tania, serius dong, mana sih?”

“Mana? Mana?? Ini lhoo Sin! Ini nih,” Tania mendorong Cosqar maju ke arah Sin.

“Hah? Maksudmu dia?” Ia melotot. “Tapi Tan, dia cuma anak kecil seperti kita, dia kan anak –” Sin memperhatikan Cos dengan lebih teliti, “ – kamu anak baru kan? Kemarin ibuku cerita kalau ada pindahan di perumahan ini. Dari Bandung ya katanya?”

“Iiih, Sin, itu nggak penting. Bukan itu yang ingin aku tunjukin ke kamu. Tapi namanya dia, Sin, namanya dia yang ingin aku pamerin ke kamu,” Tania memotong alur perkenalan yang wajar itu.

“Emangnya ada apa sama namanya?”

“Nama dia Cosqar, Sin, Cosqar! Panggilannya Cos!” mata Tania berbinar bahagia.

“Lalu kenapa, Tania? Kamu bukannya mau ngganti nama dia kan?” Sin mendelik curiga ke kawannya. Kemarin Tania baru saja mengganti nama kucing peliharaan Ami hanya karena kawannya itu nggak suka. Kucing kesayangan Ami yang semula bernama Pinky menjadi Kucing, dan Tania berdaulat nama itu nggak boleh diganti lagi. Tentu saja sang empunya kucing ngambek dan menangis sejadinya.

“Kamu nggak mau ngganti nama Cos menjadi Bandung kan?” tatapan Sin semakin tajam.

Tania termangu. Sementara Cosqar terdiam, ia curiga dengan kebenaran perkataan orang bernama Sinichi tadi, jangan-jangan gadis ini memang berniat memberinya nama baru.

“Eh, emm – lupakan aja deh, aku lupa nih tadi mau bilang apa,” ia  nyengir, memperlihatkan barisan giginya yang putih kecil-kecil. 

Sin menatap Tania dengan bingung, lalu melempar pandang ke Cos. Cos hanya mengangkat bahu.

“Oh, ya, gitu ya, oke deh,” Sin menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Cos, bantuin aku mendirikan benteng pasir aja sini, pertahananku di sebelah sana belum kuat tuh,” Sin menunjuk bagian benteng yang lebih rendah dari benteng yang lain.

Cosqar menerima tawaran Sinichi setelah lama berdiam diri, ia tak berhasil mencerna kejadian ganjil tadi. “Oke, Sin, sepertinya bagian itu memang masih perlu banyak pasir.”

Sedangkan Tania kecil masih berdiri dalam bingung. Buku yang kubaca kemarin tentang apa sih? Aku yakin kok kalau ada nama Tan, Sin, dan Cos di buku itu. Tapi itu buku apa ya?

“Sin, sepertinya bagian sana harus dibenerin deh, nanti bentengnya jadi miring,” ucapan Cosqar membuyarkan lamunan Tania.

“Oke, aku urus bagian ini, kamu urus bagian kanannya ya, kalau udah jadi jangan lupa kasih bendera diatasnya,” Sinichi melemparkan segenggam bendera kecil ke arah Cosqar.

Tania tersenyum. Ah, tak penting itu buku apa. Setidaknya aku berhasil menemukan teman baru lagi hari ini. "Eh, tunggu dong, aku mau ikutan main, aku kan bosnya."

---------------------------------------------------

aku bingung, banyak scene yang urutannya belum bisa kuurutkan. dan bingung mau makai sinopsis dan prolog yang mana -_-

tolong kasih kritik dan saran yang membangun ya :)

Monday, January 3, 2011

no title

[rencana sinopsis]
Tidak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini.
yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya ..

Mungkin ini hanya sebuah kisah persabahatan sederhana. Tentang tiga sahabat semenjak kecil, yang kemudian berjanji untuk tak akan berpisah selamanya. Sayangnya, setiap pertumbuhan selalu dibumbui perubahan.

Barangkali ini tak lebih dari kisah cinta segitiga biasa. Tentang cinta yang tak pernah bisa memilih, tumbuh begitu saja seiring berjalannya waktu.

Ini kisah tentang persahabatan yang nyaris sempurna. Sepotong episode kehidupan yang begitu penuh dengan keinginan saling melengkapi. Kecuali rasa sakit karena cinta itu sendiri.

Tahukah kau kenapa ini disebut cinta segitiga?
Karna ia memiliki tiga sudut yang saling menyakiti ..

[rencana prolog]
nyusul ya ^_^

Thursday, December 9, 2010

dunia ketigaku .. -PART2

ehm ehm, berhubung banyak pembaca setia yang menyuruh saya melanjutkan kisah di post sebelumnya, jadi, silahkan disimak kelanjutannya.. :D *kayak apa aja*
-----------------------------------------------------------------------------------------------

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

"Lho, kan seperti yang mbak bilang tadi adek,, siapa tau jodoh.. Lagipula, masnya itu sudah siap secara finansial juga, jadi mbak pikir, apa salahnya kalo dek sasa berkenan.."

Mendung. Gludak gluduk.
"Wew wew. Duh. Tapi aku yang nggak siap mbak.. Diriku kan masih SMA, masih terlalu muda, polos, dan imut-imut.." (haha, bagian polos dan imut-imut cuma tambahan ^_^v)

"Lho, kan menikahnya nggak pas kamu SMA dek sasa.. Makanya itu, kalian kenalan dulu, nanti kalau misalkan adek belum siap, ya masnya bisa mbak minta buat njagain adek dulu beberapa taun.."

"Tapi tapi, aku -dan orangtua- pingin aku menikahnya kalau udah lulus S1 mbak, yah, minimal udah jadi koas lah mbak.."

"Iya,, mbak ngerti,, mungkin orangtua dek sasa bilang kayak gitu karena takut kalau-kalau pernikahannya nanti ngganggu studi adek.. Makanya, kebetulan, kan masnya juga kedokteran.. Jadi nanti insyaAllah bisa membantu adek dalam studi selama kedokteran.."

Mentari sembunyi -takut dengan cemberutku sepertinya.
"Tapi tapi tapii, kalau misalkan ya mbak, ternyata aku udah ada rasa sama seorang ikhwan, trus gimana? Sedangkan sama masnya ini kan aku belum tau apa-apa, nggak kenal sama sekali.."

Mbak A senyum. "Sekarang tinggal bagaimana niat adek semula dalam pernikahan.. Menikah itu sebenarnya untuk apa? Apa cuma buat membangun sebuah keluarga? Enggak dek, lebih dari itu,, menikah itu untuk ibadah, untuk membangun peradaban masyarakat yang lebih baik, untuk bersama-sama melanjutkan dakwah kepada masyarakat..

Adek jangan sampai terkecoh sama 'rasa' ke ikhwan lain yang mungkin adek anggap sebagai perasaan hati yang paling murni, bisa jadi 'rasa' itu justru muncul akibat dari setan yang sedang bermain-main dengan hati dek sasa..

Dek,, seharusnya, kita bukanlah menikahi orang yang kita sukai, tetapi kita menyukai orang yang kita nikahi.. Itulah maksud pacaran sesudah pernikahan.."

Menunduk dalam.
Mbak B nimbrung, "Tapi A, memangnya nggak terlalu muda ya buat dek sasa? Dek sasa kan masih kecil.."

Mbak A senyum lagi, "Lho, dek sasa itu udah dewasa lho.. Lebih dewasa dari aku sama kamu malah. Dia termasuk dewasa banget kalau di usianya dia.."

Menunduk lebih dalam.
"Tapi mbak,, kita kan juga nggak tau kan siapa jodoh kita.."

"Dek sasa,, kita tau jodoh-atau-nggak jodoh itu bukan sewaktu khitbah dan proses lamaran, tetapi sewaktu akad nikah.. Kalau misalkan dek sasa udah nerima lamaran masnya, lalu 5 menit sebelum pernikahan tiba-tiba masnya meninggal atau gimana, itu tandanya dek sasa memang bukan jodohnya mas itu.."

"Trus kalo ternyata pas akad nikah masnya nggak kenapa-kenapa gimana mbak??" (berdoaku kok jelek banget ya -__-)

"Ya berarti adek jodoh dong sama masnya.."

"Wee. Tapi kalo sebenernya nggak jodoh gimana jal mbaak?" (mulai berubah jadi anak kecil)

"Adek,, semua itu tinggal bagaimana ikhtiar adek dalam menjaga rumah tangga adek, menjaga suami, dan menjaga diri adek sendiri.. Lagipula, jodoh kita sebenarnya itu kan di akhirat.. Kalo masnya memang bukan jodoh adek, insyaAllah nanti di surga dek sasa ditemuin sama jodohnya adek kok.. :) "

"Tapi mbak.." menghela nafas beraaat banget.

"Gini aja.. Sekarang dek sasa fokus ujian dulu,, dek sasa lulus dulu.. Nah, setelah adek lulus dan tau keterima di universitas mana, kita bicarakan lagi obrolan kita ini.. Nanti biar mbak yang ngomong ke masnya itu.. Gimana dek?"

"Hmm.. Terserah mbak aja deh.." udah lemes banget aku.

Conversation closed. -_-

Monday, December 6, 2010

dunia ketigaku ..

Pagi nan indah..
demi matahari dan cahayanya di pagi hari
dan langit serta pembinaannya
dan bumi serta penghamparannya
dan jiwa serta penyempurnaannya ..

Pagi yang istimewa,
dengan kebersamaan bersama teman-teman FLP berbagai angkatan sedari kemarin, pagi ini sungguh terasa luar biasa..
Pagi itu (061210) bagiku memang terasa istimewa,
dan juga terasa damai,
tak menyadari bahwa akan ada kejadian yang ternyata terus mengusik fikir dan hatiku hingga sekarang.

Pagi itu, selesai mendaki perbukitan bersama teman-teman, kami kembali ke wisma, bersiap untuk rangkaian acara selanjutnya..

Mentari mulai merangkak naik, semua sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, saat tiba-tiba salah seorang mbak mendekatiku, mengajakku berbicara..
Dan berhubung aku berada di posisi panitia -sie acara- jadi aku merasa tak perlu buru-buru mandi, kupersilahkan peserta untuk menggunakan kamar mandi terlebih dahulu, dan aku memilih untuk menemani mbak A berbincang..

Awalnya kami mengobrol ringan, bercanda ngalor ngidul tak karuan, sampai membicarakan acara FLP yang alhamdulillah berjalan tanpa halangan. Hingga akhirnya mbak A melontarkan sebuah pertanyaan padaku -atau pernyataan?-

"Dek sasa,, mau nggak mbak kenalkan dengan seorang teman?"

..Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain..
"Eh? Ya nggak apa-apa mbak.. Memangnya siapa teman mbak itu?"

"Hanya seorang sahabat.. Dia sekarang di kedokteran UGM, sudah koas, setahun lagi lulus.. Nah, dek sasa juga mau ke kedokteran UGM kan? Siapa tau nanti dia bisa menjaga.."

"Menjaga? Pergaulan kah? InsyaAllah mbak.. Akhwat ya?"

"Bukan dek, ikhwan"

"Lha?"

"Siapa tau jodoh dek.."

Jeder. Pagi mulai menjadi suram.
"Waduh. Maksudnya apa itu mbak? Adakah suatu keperluan sehingga aku berkewajiban untuk mengenalnya?"

..to be continue. belum sempet nulis. dan bingung gimana mau mengungkapkannya dengan kata -,-a

Monday, November 29, 2010

PDKT FLP -- Saatnya Bersenang-senang! :D

Mataku terbelalak menatap jam hapeku. Seketika itu aku terbangun. Pukul 06.30. It means, aku kesiangan! Dan ini semua akibat terlalu memaksakan diri untuk menghabiskan malam dengan mesranya bersama elastisitas, gerak harmonis, impuls momentum, dan entah apalagi itu. Yang jelas mereka semua membuatku masih terjaga hingga pukul 2 dini hari, padahal 4 jam setelahnya aku sudah harus menempuh perjalanan ke Parangtritis (walaupun seharusnya acara itu dimulai sejak sabtu pagi, tapi berhubung aku sedang masa UAS, maka aku menyusul di ahad paginya). Bersyukur waktu itu aku memang sedang berhalangan untuk shalat.

Langsung ku menuju kamar mandi, membersihkan badan dengan tak berlama-lama, lalu segera memilih pakaian yang kurasa pantas kukenakan dalam momen ini. Pilihan akhirnya jatuh pada rok merah muda lembut dan pakaian berlengan panjang berwarna perpaduan putih dan merah muda, dengan jilbab putih polos yang kupanjangkan hingga bagian belakangnya menyentuh pinggangku. Hmm, sederhana seperti biasanya.

Setelah selesai, kupacu motorku menuju kos seorang temanku, Hanif.
Tak perlu lama kuhentikan motorku, ia telah siap didepan gerbang dengan jilbab hitamnya yang melambai.

Waktu menunjukkan pukul 07.20 saat kami melaju ke arah Parangtritis, padahal momen spesial itu dimulai pukul 07.30 tepat, dengan lama perjalanan 1,5 jam. Sedikit takut akan terlambat (dan sudah tak diragukan lagi akan terlambat) kupacu motorku lebih cepat.

80 km/jam, masih baik-baik saja. Jalanan juga masih sepi. Jadi apa salahnya bila kupacu lagi?

100 km/jam, sedikit takut juga dengan kecepatan motorku ini, tapi bukannya mengurangi kecepatan, aku hanya berusaha menjaga kestabilan motorku masih dengan kecepatan gila tersebut.

Melebihi 100 km/jam, Hanif sampai harus memegangi helm standarku. Betul-betul kecepatan yang membuatku sendiri keder.

Pukul 07.45 kami telah sampai di penginapan Yu Djum, tempat dimana acara itu terlaksana. Aku menghela nafas lega sembari berucap "Subhanallah" berulang kali di dalam hatiku. Perjalanan yang hebat, seakan lebih takut ketinggalan momen ini daripada takut kepada maut yang mungkin saja sudah membayang.

Aku segera memarkir motorku kemudian bergabung dengan teman-teman yang lain di sebuah ruangan terbuka, dimana seorang trainer tampak sedang menjelaskan beberapa hal mengenai dunia kepenulisan.
Ya, inilah dunia kami.
Dan disinilah kami semua,
bersiap memperoleh berbagai siraman ilmu mengenai dunia kepenulisan,
dalam suatu wadah organisasi bernama Forum Lingkar Pena.

Forum kepenulisan pagi ini diisi dengan sesi-sesi yang begitu menarik,
tak lupa kita diminta untuk membuat suatu karya dalam setiap sesi,
dan begitu seterusnya hingga semua sesi selesai.

Ba'da dzuhur kami kembali dikumpulkan di ruangan tadi.
Kami diacak dan dipecah dalam 3 kelompok, ikhwan dan akhwat bercampur.
Dengan kelompok tersebut, kami diminta untuk saling menceritakan tentang kata-kata motivasi dalam hidup kami, untuk kemudian dirangkum dalam satu kertas,
 
 
selanjutnya kami diminta untuk membuat suatu games yang nantinya akan dipertunjukkan ke kelompok lain.

Iseng kutawarkan games "bintang-bintang",
sebuah games yang kudapat dari anak Korea saat sekolahku mengadakan Pertukaran Budaya Indonesia-Korea.
Tak disangka, kelompokku (yang rata-rata merupakan anak kuliah) merespon positif ideku itu.

Kami mulai mempraktekkan games ini.
Butuh konsentrasi penuh dan nafas yang panjang untuk terus menyanyikan lagunya. Memang kelihatan susah awalnya bagi mereka, tapi rupanya mereka begitu menikmatinya sehingga kami terus terlarut untuk memainkannya dengan nyanyian yang semakin lama semakin cepat dan keras, disaat kelompok lain masih berdiskusi dengan tenangnya.

Kami terus bernyanyi berderai tawa, tak henti-hentinya mengulang permainan itu seakan tak ada batasan waktu yang diberikan. Satu kesalahan yang terjadi akan berimbas pada sekian menit tawa lantang kami. Spontan. Keras. Menertawakan kebodohan kami sendiri. Aku bersyukur terpikir ide tentang permainan ini, aku bersyukur bisa mencairkan suasana kaku diantara kami.

 
Saat akhirnya tiba di penghujung acara,
kami tau semua kebersamaan ini tak hanya berhenti di acara ini.
Ini barulah awal kebersamaan kami,
masih panjang jalan yang akan kami tempuh bersama.

Dengan suatu tekad pasti untuk berdakwah,
untuk menulis dan terus berkarya,
dalam jalinan ukhuwah indah ini 

ah,, I DO LOVE THIS FAMILY SO MUCH... :D





-kisah ini terjadi pada tanggal 6 desember 2009 lalu. Dan kini, sebagai sie acara PDKT FLP 2010, akan kubuat PDKT yang lebih berkesan bagi keluarga kami nanti, agar mereka merasakan kehangatan FLP sama seperti yang kurasakan dulu.. :)