bismillaahirrahmanirrahiim..
Sebenarnya postingan ini semi-curhat juga.. Berawal dari keseringan saya menjumpai berbagai pertanyaan dari teman-teman mengenai pernikahan; entah itu "gimana rasanya menikah?", "susah nggak nikah?", "dulu gimana kok bisa ketemu sama si mas?", dan kawan-kawan, ada satu pertanyaan yang sedikit menggelitik, "kalo menikah trus nanti gimana kuliahnya? trus nanti karirnya gimana dong?" Terlebih beberapa teman perempuan yang curhat ke saya tentang penundaan mereka menikah ya karena orangtua mereka menyuruh mereka berkarir dulu dan baru menikah kemudian.
"Buat apa sekolah susah-susah, mahal-mahal, kalo ujung-ujungnya justru malah cuma jadi ibu rumah tangga??" -ini termasuk pertanyaan paliing sering yang saya dapat.
Jujur, dari dulu saya juga nggak pernah berpikiran untuk menjadi ibu rumah tangga.. Saya lahir dan besar dalam keluarga dimana ibunda dan bapak saya semuanya bekerja.. Bapak ngantor dari jam 7-sampai siang, dan sorenya wirausahawan (bapak punya perusahaan kecil-kecilan pembangunan perumahan gitu). Sedangkan ibunda saya justru lebih padat lagi, dari jam 7.00 sampai siang jaga poli di rumah sakit daerah, lalu sore sampai malam jaga praktek di rumah sakitnya sendiri.. Pulangnya biasanya jam 22.00 ke atas,, dan itupun jam dua pagi masih sering bangun dan ke rumah sakit lagi untuk operasi..
Saya dan adik-adik saya jaraang sekali bertemu orangtua, tapi ketika ada beberapa jam waktu bersama di rumah, pasti akan termanfaatkan dengan maksimal..
Karena kondisi orangtua yang sama-sama bekerja itu lah, kami sekeluarga sudah biasa membagi tugas merata ke semua anggota keluarga.. Kalau ibu belum pulang, ya kadang bapak yang masak. Nanti siapa yang masak, siapa yang cuci, siapa yang ngunci-ngunci rumah, dan lain lain.
Nah, ketika menikah, saya menemukan potret keluarga yang lain. Keluarga suami saya itu mom-center. Yang bekerja ya cuma abah, sedangkan yang lebih sering di rumah ya ummi.. Berhubung ummi itu full ibu rumah tangga, dan aktivas beliau juga hanya di sosial (jadi ketua GRAPYAK, ngisi pengajian di mana-mana, kegiatan-kegiatan Salimah, dan kawan-kawan) jadi ya memang semua pekerjaan yang di rumah dilakukan ummi..
Di sini bedanya.. Saya waktu awal-awal menikah itu jadi semacam culture shock. Biasanya di rumah saya, semua orang bertanggung jawab sama dirinya sendiri. Apalagi beberapa tahun ini kan saya cuma tinggal sendirian di jogja. Kalau makan ya piringnya dicuci sendiri, kalau pingin makanan lain ya masak sendiri, dan sebagainya. Nah, padahal di keluarga suami itu sistemnya mom-center, ya semua pekerjaan rumah wajib dilakukannya sama si istri. Yang pihak laki-laki itu ya makanan dimasakkan, disiapkan, dicucikan, dan sebagainya. Contoh sederhananya, kalau saya nggak makan ya suami juga nggak mau makan. Repot kan.. ^^"
Nah,, akhirnya kita baru diskusi.. Gimana baiknya untuk ke depannya..
Kalau secara cita-cita, suami dan keluarga suami saya itu sangat mendukung cita-cita saya untuk menjadi dokter spesialis kandungan seperti ibunda saya (berhubung saya kan diwarisi rumah sakitnya itu).. Tapi apa saya akan sesibuk ibunda saya, itu kan pertanyaannya.
Beruntungnya, beberapa waktu lalu, saya dan suami berkesempatan datang di KRPH (Kajian Rutih Pagi Hari @Masjid Mardhiyyah) yang saat itu dibersamai oleh Ustadz Didik Purwodarsono. Tau lah ya, kalau ustadz didik itu kan pasti tentang parenting, hhe. Kebetulan waktu itu juga menyinggung tentang peran suami-istri di dalam keluarga.
Di sana beberapa poin yang saya camkan betul sampai sekarang, salah duanya adalah :
1. Seorang istri yang bekerja itu, sunnah pun TIDAK
2. Seorang anak berhak mendapatkan 3 ibu : ibu kandung, ibu susu, ibu guru
Saat poin pertama tadi dijelaskan, saya tercekat. Iya ya, sunnah aja enggak lho. Di sana ada kemuliaan Allah untuk wanita, katanya. Wanita itu, untuk meraih surga cuma tinggal patuh sama suami, sholat 5 waktu, puasa di bulan ramadhan, dan menjaga kehormatan. Gitu aja. Dan dia akan bebas masuk surga dari pintu manapun. Subhanallah banget kan..
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda :
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
Apabila seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kehormatan dirinya, dan taat kepada suaminya,Maka ia akan masuk syurga dari pintu mana saja yang ia kehendaki..[HR. Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1931]
Kata ustadz, kecuali dalam kondisi dimana istri yang bekerja itu untuk membantu perekonomian keluarga, dimana kalo si istri nggak bekerja maka akan mengganggu stabilitas keluarga..
Tapi, kata ustadz itu juga, kita perlu sadar sama lingkungan masyarakat dimana wanita juga dibutuhkan di dalam profesionalitas terutama untuk yang berhadapan dengan masalah akhwat..
Saya jadi ingat, duluu banget saya juga pernah tanya ke ibunda saya,
"Ibu nggak capek po seharian bekerja? Di luar banyak banget pasiennya, padahal di rumah juga masih harus macem-macem. Kenapa nggak bapak aja yang kerja?"
Jawaban ibu saya,
"Ibu nggak merasa sedang kerja kok. Bagi ibu ini hobi, karna ibu seneng banget kalo bisa menolong pasien. Lagipula, kalau bukan ibu, nanti para perempuan itu masa harus ke dokter kandungan yang laki-laki?"
Fyi aja, dokter kandungan itu pekerjaan yang berat lho, setiap kali ada konferensi bareng dokter-dokter kandungan, bisa dipastikan lebih dari tiga per empatnya adalah laki-laki. Bahkan di purworejo aja, dokter kandungan perempuannya ya cuma ibunda saya ini, yang lainnya laki-laki (kebayang kan ya banyaknya pasien yang datang ke ibunda saya)
Berdasarkan itulah, kemudian diambil keputusan, jadi dokter spesialis kandungan ya nggak apa-apa. Tapi tujuannya untuk aktivitas sosial, alias kita nggak mematok penghasilan dari sana. Sedangkan masalah penghasilan sepenuhnya dihandle sama suami saya, begituu. Setiap orang punya lahan da'wahnya masing-masing kan ya? Dan kami sepakat lahan da'wah saya ya melalui profesi saya itu, tanpa mengorbankan peran ibu rumah tangga sedikitpun.. :)
Btw, untuk poin selanjutnya, insyaaLLoh saya lanjut besok-besok, ini saya keburu ke kampus karna mendadak ada syuro' (padahal libur-libur) *_* btw lagi, saya ke kampus juga karna bosan di rumah nungguin suami pulang kerja, hehe. Masaknya nanti aja waktu udah mau ifthor ^_^
See ya! ;D
[UPDATE] ceritanya udah pulang dari syuro' ini, hehee, lanjut ya..
Kadang, setelah dijelaskan dengan penjelasan di atas itu, masih banyak yang kemudian berkomentar,
"Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi? Buat apa jauh-jauh? Buat apa mahal-mahal?? Kalo cuma jadi ibu rumah tangga aja, percuma dong!"
Hmm… apa benar, ilmu itu jadi nggak bermanfaat? Yuk kita bahas, sekalian sedikit banyak menyinggung poin nomor dua tadi.. ^^
Ini beberapa alasan versi saya, kenapa anak perempuan tetap harus sekolah, walaupun sejak awal sudah berniat untuk nggak kerja kantoran.. Sekali lagi, ini versi SAYA lho ya.. jadi dilarang protes ^.^
1. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan dapat suami yang setara.
Sebuah artikel yang ditulis Susan Patton, seorang alumunus Princeton, sempat diprotes para feminis. Patton bilang kalau saat-saat di kampus Princeton-lah masa-masa emas wanita mencari jodoh, yang kalau bisa sesama mahasiswa Princeton, supaya secara intelektualitas setara. Karena setelah lulus dari Princeton, bakal susah mencari pria setara yang masih available (jomblo kalo istilah kita hehe). Para pria cenderung mencari wanita yang lebih muda & berpendidikan lebih rendah, jadi semakin tua & pintar wanita, semakin susah jodohnya. Ini kata Patton lho..
Artikel ini mungkin terdengar jahat, tapi suka nggak suka banyak kakak kelas perempuan saya yang akhirnya menikah dengan teman kampus, satu angkatan atau senior. Walaupun lebih banyaak lagi yang menikah dengan teman SMA, atau angkatan bawahnya atau atasnya di SMA (contohnya saya ini), tapi hal ini pun dikarenakan lingkungan dan culture yang sudah *sama* sejak di SMA (kultur SMA saya memang cenderung islami banget).
Nah, dengan kata lain, pada akhirnya dengan proses pendidikan inilah para calon ibu ini berhasil mendapatkan pria yang sama pintarnya, karena mereka sama-sama bersekolah, berpendidikan tinggi, dan berpergaulan luas :)
2. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan mampu ‘mengimbangi’ suaminya.
Walaupun tidak bekerja di luar rumah, para ibu/istri ini akan rajin membaca berita, buku, meng-update diri dengan info terbaru, termasuk dengan bagian pekerjaan suaminya. Otak yang selalu terasah dengan kegiatan membaca dan menulis akan tetap tajam, karena sudah terlatih selama proses pendidikan beberapa tahun.
Dari sebuah artikel, seorang sarjana psikolog menulis di skripsinya kalau komunikasi adalah kunci kebahagiaan rumah tangga. Komunikasi di sini bukan hanya ngomongin tentang anak-anak aja lho ya, tapi juga isu-isu terkini seperti Pemilu 2014, krisis ekonomi Eropa, bentrokan di Mesir dan Suriah, harga saham, bencana alam, perusahaan bangkrut, pidato SBY, cerita film, kabar artis, kasus korupsi, pokoknya selain hal-hal domestik. Tentu, para istri yang berpendidikan akan jauh lebih mampu melakukannya dibandingkan dengan istri yang tidak berpendidikan kan? :)
3. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan akan bersosialisasi dengan luwes dan percaya diri.
Seperti yang kita tau, sekolah nggak hanya menghasilkan technical skills aja, tapi juga interpersonal dan soft skills. Salah satu tugas para ibu/istri adalah menemani suami ke acara-acara kantor, yang otomatis membuat mereka harus bergaul dengan atasan atau bawahan suaminya. Mereka yang berpendidikan tentu akan percaya diri dan yakin dalam berbicara. Mereka punya banyak topik, termasuk bisa bilang, “oh.. saya juga alumnus kampus itu.. wah sempat diajar sama Pak Fulan?”. Ujung-ujungnya akan bikin suami bangga dan tambah sayang sama kita ^^
4. Ibu/istri rumah tangga yang berpendidikan adalah pendidik anak nomor satu.
Kalau yang ini sih nggak perlu diperdebatkan lagi yah.. Ilmu yang dipunyai sang ibu tentu bisa diaplikasikan di rumah tangga. Mulai dari masalah memasak, mengatur uang, berbelanja, mendesain rumah, sampai mendidik anak. Tentu si anak akan bangga kalau ibunya berijazah sarjana, bisa berkarir di luar rumah tapi memilih bersama si anak, daripada kalau ibunya nggak sekolah, jadi ibu rumah tangga karena nggak punya keahlian lain. Si anak pun punya perspektif yang setara untuk ayah-bundanya, sebagai role model yang sama hebatnya, sama pintarnya, sama baiknya.
Masih banyak alasan lain kenapa anak perempuan harus sekolah. Kadang sedih ya kalau denger komentar yang merendahkan ibu rumah tangga yang berijazah. Padahal, mereka bisa membangun keluarga ya karena bersekolah. Kalau nggak sekolah, mungkin nggak ketemu suaminya, hehehe…
Pesan sponsor :: Jadi,, jangan halangi pendidikan anak perempuan hanya karena mereka ingin jadi ibu rumah tangga, seperti ibunya ya. Untuk para ibu/istri rumah tangga yang ingin sekolah lagi, kenapa tidak? ^^ Tetap semangat! :DD
PS : Kalau mau ada tambahan lagi dari para istri, silahkan lho ;)