Sepotong Dongeng Cinta
Aqeela Khoirunnisa
“Kakek, aku mau dongeng cintamu...”
Embun menetes setelah hujan turun dari
tempat peraduan. Seharusnya mentari muncul di balik awan, nyatanya justru senja lah yang datang melukis langit menjadi
kemerahan.
Aku masuk kamar, gelap, lalu kutengok sejenak
jendela, berharap mendapatkan sebersit cahaya dari lampu luar. Ternyata yang kudapat justru sosok kakek yang tengah berdiri memandang keluar jendela. Ah, mungkin kakek sengaja mematikan lampu, aku
merasa ia sedang tak ingin diganggu. Pelan pintu ku
tutup kembali.
“Masuklah...” tiba-tiba suara lemah kakek menahanku. Kulihat ke arah sumber suara, kakek
sedang
tergolek, dengan berbagai selang oksigen dan infus yang menjeratnya di ranjang. Tak ayal mataku membelalak kaget. Demi Allah, aku tadi melihat kakek berdiri di dekat jendela itu. Benarkah
kakek bisa berpindah dalam sekejap?
Kurasakan kakek mengedipkan mata, “kemarilah, tak
usah heran begitu..” Padahal kulihat ia sedang terbaring memejamkan mata dengan begitu
tenang.
Seminggu setelah kepulanganku dari Yogyakarta, ibu mendadak meneleponku, “kakek
harus operasi, sakit
jantungnya mulai parah.”
Aku memandang suamiku dengan helaan nafas berat, ia rupanya tahu jika
telepon ibu itu mengenai kakek. “Pergilah,” ia memegang tanganku lembut, “biar
aku yang mengurus Aqeela. Pulanglah ke tempat kakek, sebelum terlambat...”
Huff... Enggan sekali rasanya meninggalkan
sulung kecilku yang sedang lucu-lucunya itu. Terlebih permintaan ibu untuk
pulang lagi ke Padang hanya demi operasi kakek.
Aku memang tak terlalu dekat dengan kakek.
Bahkan tak menyukainya. Aku ingat sekali, semasa kecil dulu, adik-adik dan sepupuku sangat suka mendengarkan cerita kakek. Duduk
mengelilingi dan bergelendotan manja setiap kakek
bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa batu-batu kebaikan, serigala hutan yang bertaring, ikan paus yang menjadi perantara jalan taubat Nabi Yunus, ataupun tentang Nabi Sulaiman yang bisa mendengarkan
percakapan semut dan buaya.
Semua cerita itu bohong, kataku, setiap kakek bertanya kenapa aku tak menyukai ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika, atau biologi, atau apapun yang
penting selain cerita dari kakek. Bagiku kakek tak lebih dari tukang khayal. Dan
khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata nenek. Aku memang tak suka setiap melihat kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para adik dan sepupuku—seperti sekumpulan orang malas yang seharian
hanya bercanda—sementara nenek di dapur sibuk membuat roti bolu atau kering tempe
kesukaanku. Aku lebih suka menemani nenek di dapur, mencicipi remah kue yang ia buat, dan selalu merasa begitu bangga ketika nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.
Tapi adik-adik dan sepupuku bilang, kakek
punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu
Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila
dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang
penyakit menular, dan kupikir pasti mereka sudah tertular khayalan kakek.
Aku ingat setelah
kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku
melihat kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue secara perlahan.
“Mau?” ia
menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya.
Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek. Seperti apem, tetapi lembut bagai terbuat dari cokelat..
***
Kakek ingin ketemu kamu, kata
ibu di telepon. Huh, pasti dek Ifah yang menyuruh. Kakek memang tinggal bersama adik pertamaku itu, dan
ia tahu kalau aku pasti mau mendengarkan jika
yang menelepon ibu.
“Kenapa kamu tak
suka kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku kemudian mengambil acak sebuah
buku untuk kubaca, berpura-pura sibuk dan mencoba
menghiraukan pertanyaan itu.
Suaranya
lembut, membuatmu merasa tenteram setiap mendengarkannya bercerita. Ibu ternyata tak
menganggap serius kesibukanku membolak-balik buku, ia terus saja menyudutkanku
dengan pertanyaannya. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai.
Nyaris tak pernah marah. Dan—ini
yang menurut adik-adik dan sepupumu paling disukai dari kakek—tak suka
cerewet memberi nasehat. Rasanya
tak ada alasan untuk tidak menyukainya.
Lalu kenapa kamu tak menyukai kakek?
“Entahlah,” itu
jawabanku, dulu. Sebuah jawaban yang baru kurenungkan sekarang. Mungkin karena iri? Atau tak mau berbagi? Yang jelas aku membenci kakek yang membagi perhatian pada semua cucunya.
Aku selalu ingat pada kejadian dimana suatu kali kakek
pulang membawa martabak telur. Kakek membagi rata martabak itu
untuk semua cucunya. Ya, sama rata. Dan semua gembira.
Tapi aku segera
pergi. Aku ingin kakek seperti nenek!
Bila punya kue, aku yang selalu dapat bagian lebih banyak. Dan aku harus mendapatkan itu.
Bukankah
aku cucu yang tertua? Jadi aku lah yang
paling berhak atas semua kasih sayang kakek maupun nenek. Aku senang bila adik
dan sepupuku menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku, itulah saat-saat
paling membahagiakan buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak.
Itulah sebabnya
aku tak pernah terlalu suka kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.
Tapi kakek ingin sekali ketemu kamu, kata ibu saat menelepon. “Tiga hari di rumah sakit, kakek
bersikeras ingin pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa
sakit, keluh kakekmu kemarin. Para suster mengatakan kalau kakek adalah pasien
paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka
sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, kakek
memanggil suster jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima
laki-laki menjenguknya.
“Mereka tinggi
besar dan bersayap. Mereka memijiti jemari saya, dan bilang saya tak apa-apa.
Suster lihat kan tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar
bersayap…,” kata Ibu, mereka-ulang ucapan kakek kepada suster. “Waktu itu suster
hanya diam. Karena suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU.
“Mereka memberi saya ini,” kakek
memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kata kakek.”
***
Ah, kakek, selalu saja punya
kisah yang unik, yang bagiku tetap saja menyebalkan.
Waktu itu Dek Lia
mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus
operasi. Lalu kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Dek Lia yang sudah
terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian
melahirkan dengan lancar.
Pernah pula Tante Ita,
yang tinggal di Prambanan, menelepon malam-malam, “kakek barusan datang
menjenguk anakku yang sedang demam. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi.
Dua jam setelahnya panas Hamam berangsur lenyap. Sampaikan terimakasih tante
untuk kakek ya.” Padahal sepanjang malam itu, aku melihat kakek hanya duduk sambil
tiduran di kursi goyangnya, beranjak sedikitpun tidak.
Kakek bisa
berada di dua tempat sekaligus, kata Nisa. Ia bisa muncul begitu saja saat
kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia
sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar
kosnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat
yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar!
Bahkan ketika aku
sudah mulai beranjak remaja pun, adik-adikku masih sering bercerita kalau kakek
kerap muncul malam-malam di kamar, memberi mereka eskrim atau cokelat. Eskrim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan
Kakek.
“Sulap! Itu
sulap,” kataku.
“Itu mukjizat,”
kata mereka, “kakek berbakat jadi nabi.”
Kakek terkekeh
ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya.
“Tidak enak jadi nabi. Karna belum tentu bisa mempunyai cucu-cucu senakal
kalian ini.”
****bersambungg****