Aku
mungkin terlalu terbiasa dengan cintamu yang cahaya, hingga harus kututup mata
untuk meyakini semua benar..
Sore
itu hujan ketika kami melingkar hangat di rumah murobbi tercinta..
“Apakah
sasa sudah siap? Perasaan anti bagaimana?”
Diam,
hanya bisa diam.
“Sa?
Apa anti siap dengan seseorang yang berbeda manhaj dengan anti?”
“Aku
nggak tau mbak..” akhirnya kubuka suara. “Aku nggak tau, benar-benar nggak tau.
Yang jelas aku tau, aku masih ingin di sini..”
Si
mbak terdiam, memandangku penuh makna. “Sa,, anti masih mampu di da’wah sa..
tenaga anti masih dibutuhkan di sini.. sepertinya permasalahan ini sebaiknya
dipending dulu..”
Waktu
itu tahun 2011, ketika tawaran datang dari seseorang bermanhaj salaf. Seseorang
yang bahkan sudah berbicara pada orangtua saya. Sayangnya saya memang belum
terpikir ke arah sana, sama sekali, dan akhirnya
saya pun mengambil keputusan untuk mengikuti saran murobbi saya. Ya, saya
masih ingin di sini, saya belum ingin menerima siapapun.. dan alhamdulillah, keputusan itu merupakan keputusan terbaik pada saat
itu..
======
Waktu-waktu
selanjutnya kemudian saya habiskan untuk fokus di da’wah,, bersama lingkaran
hangat saya tersebut.. Sampai suatu ketika, tawaran itu datang kembali, dari seseorang
yang berbeda, namun kali ini dari manhaj yang sama..
“Sa..
bagaimana pendapat anti?”
Lagi-lagi
saya hanya bisa menjawab lirih, “Aku nggak tau mbak..”
“Orangnya
memang insya Allah baik, Sa.. Dan alhamdulillah satu manhaj.. Tapi,, apa sasa
sudah siap mengambil keputusan?”
Saya
menggeleng waktu itu, “enggak mba,, belum... aku belum bisa,, aku belum mampu..”
Terdiam
lama hingga akhirnya si mbak merengkuh kepala saya dengan penuh kasih, “ya
sudah,, jangan dulu.. memang sepertinya beliau baik, tapi ada pendapat orang
yang berkata lain.. Sasa di sini dulu aja ya..”
Masih
di penghujung tahun yang sama, saya kembali mengambil keputusan itu.. keputusan
untuk belum menerima siapapun.. dan saya bersyukur sekali, dalam masa-masa itu
saya selalu dalam pengawasan murobbi tercinta saya,, karna ternyata keputusan itu tak pernah salah...
=====
Sampai
pada akhirnya,, ternyata saya dipertemukan oleh seseorang yang diam-diam
mencuri perhatian saya.. ya, seseorang yang belum lama saya kenal, tapi sudah
berani menunjukkan kesungguhannya dengan mendatangi langsung orangtua saya..
Kembali,
saya berbicara dua hati dengan murobbi tersayang..
“Sasa...
bagaimana? Mbak kemarin udah baca proposal beliau...”
Bagaimana? Yang
saya tau, sore itu terasa syahdu sekali, kami duduk bersampingan di lantai
bawah kantor DP*.. kesyahduan itu ditambah keheningan dari saya, karna saya benar-benar tidak tau harus
merespon apa.
“Mbak
udah nyari info tentang beliau ke murobbi di atas mbak,, dan insya Allah beliau
juga kader, Sa... Orangtua beliau juga da’i,, bahkan ibu beliau merupakan kader
inti.. Insya Allah tujuan pernikahan ini merupakan salah satu kemaslahatan
umat, Sa..”
Saya
masih diam,, memandang bendera yang berkibar-kibar di seberang mata saya.. Apa saya benar-benar harus menyiapkan diri
untuk menerima? Atau saya bisa mengambil keputusan seperti waktu-waktu
terdahulu? Yaa muqollibal quluub...
“Sasa...
udah istikharoh..?”
Saya
menggeleng pelan, masih menatap hening pemandangan di kejauhan.
“Sasa
istikharoh dulu ya,, insya Allah semoga diberi Allah jawaban yang terbaik..”
Ya,, dan kemudian butuh
beberapa waktu bagi saya untuk memikirkan hal ini masak-masak.. menimbang
segalanya.. menyusun pondasi-pondasi jawaban...
Dan
di dalam proses itu,, entah sudah berapa kali kami (saya dan murobbi) berbicara
dua hati.. yang tetap saja masih belum bisa membuat saya yakin jalan mana yang
harus dipilih.. Persoalan ini benar-benar rumit menurut saya.. jika orang lain
yang sudah saling cinta dan ingin menikah biasanya mendapat berbagai halangan
entah dari pihak apapun, tapi cerita saya lain. Di cerita ini justru pihak lain
lah yang telah bersikukuh meneguhkan, entah murobbi atau bahkan orangtua, tapi
saya sendiri malah cenderung belum bisa memutuskan..
“Apa
yang mengganjal di Sasa? Kenapa sepertinya justru nggak senang?” tanya beliau
di sore yang kesekian.
“Aku...
nggak tau mbak... Aku kayaknya belum bisa meninggalkan semua yang ada di sini..
aku masih ingin di sini mbak,, di da’wah ini... Aku kemarin juga udah bilang ke
beliau,, kalau aku lebih ingin berada di sini,, dibanding apapun...”
“Sasa...
menikah itu bukan berarti kemudian hilang dari amanah..
Justru
dengan menikah seharusnya lebih banyak lagi amanah yang bisa diemban.. Dengan menikah,
justru Sasa mendapat tambahan amanah baru.. entah itu sebagai istri, ataupun
sebagai menantu, dan bahkan sasa mendapat amanah sebagai anggota masyarakat
dengan status menikah itu... amanah ada dimana-mana Sa,, da’wah ada di
mana-mana... kalau sasa mau, Sasa juga masih boleh ada di sini.. kami sangat
menerima Sasa kok... walaupun kemudian, memang tanggung jawab Sasa kemudian
pindah ke suami,, bagaimanapun juga da’wah ini tidak boleh mengalahkan bakti
Sasa ke suami..”
“Hhh...
nggak tau mbak...”
Si
mbak memegang tangan saya pelan, “apa yang sebenarnya mengganggu Sasa? Apa yang
mengganjal?”
Saya
waktu itu cuma bisa tertunduk, berusaha mengumpulkan segala keberanian untuk
mengatakan ganjalan terbesar selama ini. “Aku... nggak mau ngelangkahin Mbak...
Mbak kan belum menikah.. harusnya mbak dulu, baru aku...”
“Ya
Allah, Sasa.... nggak boleh bilang seperti itu, Sa..” si mbak menepuk punggung
tangan saya berkali-kali. “Sasa percaya kan kalau jodoh itu sudah ada yang
mengatur? Sasa percaya kan kalau jodoh masing-masing orang itu tidak pernah
terlambat? Nggak ada kata ngelangkahin Sa,,, nggak boleh bicara seperti itu..
Mbak nggak apa-apa kok kalau Sasa yang menikah duluan,, nggak jadi masalah Sa..
Yang jadi masalah justru kalau amanah Sasa tidak terkondisikan setelah Sasa
menikah..
Bismillah,, sasa
dimantepin aja ya Sa.. insya Allah ini yang terbaik bagi Sasa maupun bagi umat...
Barokallah...”
=====
Dan
akhirnya,, saya benar-benar memilih jalan itu... ya, saya memilih jalan
menerima seseorang itu... seseorang yang kemudian kini menjadi suami saya, dan saya sangat bahagia telah memilih jalan
itu.. Saya bahagia ketika akhirnya melangkahkan kaki ke jenjang itu, hingga
sekarang, dengan mengikutsertakan segala keping-keping kalimat cinta dari
murobbi saya.. Seperti kata suami saya yang begitu cinta dengan tarbiyah, saya
juga.. saya cinta dengan tarbiyah ini, dan juga dengan murobbi saya.. Karna di
jalan da’wah inilah kami menikah... :’)
#dan saya juga cinta dengan suami saya
;) hehe