Marriage
isn’t a Cinderella Love Story
Kenapa saya tiba-tiba menulis
tulisan ini di tengah himpitan jadwal ujian yang sedang berlangsung? Bukan,
bukan karna saya baru saja menonton film Cinderella. Jawabannya mudah : saya
sedang melarikan diri dari stress pasca ujian Osce tadi siang =,=
Kalau secara konten, sebenarnya
saya sudah ingin membuat tulisan tentang ini sejak bulan lalu. Kenapa? Simpel,
karena sejak saya menikah 3 bulan yang lalu, semua orang yang bertemu saya
rata-rata menanyakan hal yang sama, “menikah itu rasanya gimana sih?”, “menikah
itu enak nggak?” atau bahkan ada juga yang mengemukakannya dalam bentuk
judgement, “sasa sekarang wajahnya bahagia terus ya, pasti pernikahannya nggak
ada masalah deh.”
Kira-kira seperti itu yang
sering menjadi pertanyaan besar bagi siapapun yang belum berada di
tengah-tengah pernikahan itu sendiri. Entah itu statement atau pertanyaan, atau
bisa jadi keduanya. Meski tetap saja, ketertarikan banyak orang terhadap
pasangan yang menikah muda tak bisa ditampik.
Beberapa kali, rekan orangtua
saya juga sering menanyakan pertanyaan yang sama pada saya, yang kurang lebih
menuntut jawaban mengenai motivasi kami menikah muda, padahal keduanya masih
sama-sama menuntut jenjang kuliah. Menurut saya, motivasi memang sangat
menentukan persepsi susah atau tidaknya sesuatu, atau paling tidak timing dan
responnya.
Jadi, sebelum menjawab pertanyaan tadi, hal pertama yang
harus dilakukan adalah mengenali kembali motivasi kita. Jangan sampai, saat
kalian memilih untuk lanjut ke jenjang pernikahan, motivasi yang kalian punya
adalah hal-hal yang rapuh, lemah, yang tidak cukup kuat untuk meyakinkan diri
kalian pada titik-titik nadir.
Contoh sederhana, menikah karena suka-sama-suka, menikah
karena sudah melampaui usia lanjut, atau bahkan ada yang terpaksa menikah
karena suatu kasus tertentu (oalah, kalau menikah cuma sekedar menikah, mana
ada ‘arsy Allah sampai bergetar ketika janji suci terucap? menikah adalah panggilan hati, menjadi
seorang istri -ataupun suami- layaknya seorang pemegang amanah besar yang kelak
harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya; it’s not about the
status anymore), atau mungkin juga karna keinginan-keinginan lain yang kalau
saya tanya, “Kamu yakin alasan itu bisa membuat kamu bangkit dari titik
terendahmu jika kelak kalian ada goncangan dalam pernikahan?”, kalian akan
menggeleng kuat dan menyatakan tidak.
Mengapa? Karena sesungguhnya, dalam hal apapun, peperangan
paling berat terjadi dalam diri kita sendiri. Salah satu bentuk jihad yang
utama (jihad itu artinya perjuangan lho, struggle) adalah jihad melawan
hawa nafsu.
Terlebih tentang menikah di usia muda, yang mana masih
menuntut ilmu di jenjang kuliah. Jauh sebelum rumah menjadi berantakan atau
hasil masakan yang kurang sesuai harapan, kalian sudah dikalahkan oleh
keinginan untuk menyerah dalam berusaha. Jauh sebelum kalian bertengkar karna
permasalahan yang sama, kalian sudah akan dikalahkan oleh penolakan untuk
belajar dari kesalahan sebelumnya.
Jadi, jawaban untuk pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’
juga kuat dipengaruhi oleh niatnya, motivasinya.
Jika ditilik dari segi proses pembelajarannya, memang, menikah
di usia muda memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Banyak hal yang
harus dipelajari, dipahami, diresapi, dalam usia yang masih begitu dini. Tentang
bagaimana mengatur waktu antara jadwal kuliah yang subhanallah dengan memenuhi
kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Bagaimana memenuhi amanah sebagai
masyarakat sosial di lingkungan sekitar, sementara masih banyak tanggungan dari
buku-buku yang tebal dan menyesakkan besarnya tapi sama sekali tak bisa kau
tolak untuk dibaca, materi-materi yang rumit dan komprehensif, serta
tugas-tugas perkuliahan yang luar biasa menyita waktu. Belum lagi tentang
bagaimana membagi diri dari satu amanah dengan amanah lain yang berada di luar
perkuliahan maupun lingkungan kemasyarakatan.
Maksud saya begini, apa yang
harus dijalani dalam proses pernikahan di usia muda memang menantang, tapi
menyerah atau tidaknya kita, kembali pada diri kita masing-masing.
Apakah hal yang menantang itu
akan menjadi sesuatu yang kita pandang sebagai sesuatu yang sulit, atau sesuatu
yang menyenangkan?
Maksudnya menyenangkan?
Saat kita punya tujuan yang
jelas, maka hati, akal, dan jasad kita akan saling bersepakat untuk saling
menguatkan menuju tujuan itu. Kita akan mempunyai kombinasi perasaan yang luar
biasa : senang, semangat, teguh. Lagipula, senang di sini bukan berarti tidak ada
tangisan disana, tapi senang yang menetap; senang yang bermula dari benih lalu
tumbuh menjadi pohon yang besar. Bukan senang yang periodik. Mungkin, pada
masa-masa saat kami ada masalah dalam rumah tangga, saya akan sering menangis;
saat amanah-amanah yang ada menuntut saya berbuat lebih banyak, saya juga akan
menangis, tetapi setelah itu, saya bahagia. Bersyukur karena Allah masih memberikan
begitu banyaak kesempatan yang harus saya tempuh untuk mencapai mimpi saya, untuk
meraih surga, dan kebahagiaan itu akan menjadi penghubung bagi kebahagiaan-kebahagiaan
saya selanjutnya. InsyaaLLoh.
Berat, iya. Tapi pertanyaan intinya bukan itu. Pertanyaannya
adalah, apakah kita memiliki determinasi dan istiqomah untuk berdo’a, berjuang,
dan bertawakkal agar rasa berat itu menjadi ringan?
Agar Allah mempermudah segala kesulitan.
Agar Allah membimbing segala langkah kita.
Agar Allah mendukung segala perjuangan kita.
Agar ridho dan syurga-Nya menjadi hadiah terbaik dari-Nya.
Jadi, pertanyaan ‘menikah itu sulit nggak sih’ adalah
pertanyaan yang multidimensional, dan meskipun beberapa orang berpendapat bahwa
pertanyaan itu bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’, ketahuilah, jawabannya tak
pernah berhenti sampai di sana.
Karena, memilih untuk menikah
di usia muda artinya memilih bagaimana kamu akan menjalani peran dalam
kehidupanmu selanjutnya.
Di dalam pernikahan, kalian belajar bukan untuk
diri kalian sendiri. Kalian menangis, sakit, sedih, tertawa, berjuang, bukan
untuk diri kalian sendiri. Murni, untuk Allah, dan untuk orang-orang yang
diamanahkan menjadi pasangan kalian. Juga untuk jundi-jundi Allah yang besok Ia
titipkan kepada kalian.
Yang akan menjudge kalian, bukan para teman,
bukan orang tua kalian, tapi Tuhan kalian. Sosok yang akan kalian hadapi saat hari
penghitungan kelak.
Memilih menjadi mahasiswa kedokteran, dan menikah di usia
muda, adalah salah satu pilihan terbesar yang pernah saya ambil. Makna penuh
tentang tanggung jawab menjadi semakin akrab dalam kehidupan saya.
Ya, ini tanggung jawab saya.
Subhanallah.
Jadi, sebelum membulatkan hati untuk memasuki dimensi pernikahan
ini, luruskan dan teguhkan kembali niat kalian. Bismillaah. Yakinkan diri
kalian,
Menjadi istri –ataupun suami- adalah bentuk
ketaatanku pada Allah.
Setelah itu, mari bergabung bersama, kita ikhtiarkan untuk
bersama-sama menggapai jannah-Nya yang kita nanti-nantikan. InsyaaLLoh, jalan
ini akan menjadi jalan yang paling kita syukuri sejak saat ini dan seterusnya. J