Aku menuliskan kembali kisah ini atas permintaan beberapa orang teman,
dan juga karna ada seorang ikhwan yang memintaku untuk mendalami kisah ini..
Kisah pertama ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah,
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.
:D
Sunday, September 27, 2009
Friday, March 27, 2009
Menjadi Muslimah yang Luar Biasa
Awal diskusi itu disebabkan dengan dibahasnya mengenai suatu fitnah yang sedang dialami oleh seorang akhwat dan sedang dicarikan jalan keluarnya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat (hedeh hedehh T.T). Dan demi terjaganya sebuah amanah, semua nama yang bersangkutan dengan tulisan ini saya ra-ha-si-a-kan ^__^
"Dek, aku juga punya cerita nih. Tapi ini cerita masa lalu, yang nggak pernah diungkap, dan jangan pernah diungkap."
"Oke Mas, cerita aja."
"Dulu waktu masih SMP, aku pernah suka sama seorang cewek--bukan akhwat. Yah, namanya juga masih SMP.."
"Umm, oke, lanjutkan."
"Waktu itu aku pernah bertindak konyol. Konyol sekali.. Aku selalu SMS dia setiap hari.. Pokoknya selalu mengganggu dia.."
"Lalu?"
"Tapi hebatnya, walaupun dia tau aku suka sama dia, dan aku pun tau bahwa dia nggak 'suka' sama aku, dia tetap bisa bersikap biasa saja ke aku. Dia bisa membalas SMSku dengan biasa, tidak berlebihan, tidak panik.. Benar-benar hebat.. =)) Padahal aku sendiri sangat yakin bahwa dia nggak 'suka' sama aku.."
Nah, mari kita kaji ulang kata-kata terakhir tersebut.
Benar-benar hebat
Benar-benar hebat dalam artian apa?
Dalam artian bahwa beliau tidak panik dan tidak berlebihan meskipun tau bahwa seseorang yang sedang mendekatinya adalah seseorang yang tidak beliau sukai.
Beliau tetap menghargai orang itu, pria itu.
Banyak wanita yang apabila ada seseorang yang mendekatinya dan orang tersebut tidak disukainya, ia bisa berlaku kasar terhadap sang pria. Seperti menghinanya di depan umum atau bahkan memperoloknya dengan kasar (berdasarkan cerita-cerita yang ada di televisi).
Jadi saudariku, marilah kita sama-sama berusaha.
Berjuang untuk menjadi akhwat yang lebih baik.
Menjadi muslimah idaman. Yang tidak berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
Meski mungkin terkadang kita merasa risih apabila ada seseorang yang tidak kita sukai namun mendekati kita, COBALAH untuk tetap bersikap biasa saja. Terima uluran silaturahminya dan tak lupa jalin komunikasi yang baik dengannya.
Seorang ikhwan juga memiliki perasaan ya Ukhti .. :)
Dan terakhir, ingatlah, bahwa urusan jodoh tak ada yang mengetahui kecuali Dia...
Jangan sampai kita terlanjur menyakiti hati seorang ikhwan, yang mungkin pada saat ini belum tertambat di hati kita, namun justru beliau lah jodoh yang telah ditentukan Allah kelak.
Wallahu'alam :D
Friday, March 20, 2009
Masalah antara ENGKAU dan TUHAN
Orang-orang sering sekali tak bernalar, tak logis dan egois
Meski demikian, maafkanlah mereka
Bila engkau baik, orang mungkin akan menuduhmu menyembunyikan motif egois
Meski demikian, tetaplah bersikap baik
Bila engkau jujur dan berterus terang, orang mungkin akan menipumu
Meski demikian, tetaplah jujur dan berterus terang
Bila engkau sukses, mungkin engkau akan mendapat teman-teman palsu dan musuh-musuh sejati
Meski demikian, tetaplah meraih sukses
Apa yang engkau bangun selama bertahun-tahun mungkin akan dihancurkan oleh seseorang hanya dalam semalam
Meski demikian, tetaplah membangun
Bila engkau menemukan ketenangan dan kebahagiaan, orang mungkin akan iri hati dan dengki
Meski demikian, tetaplah berbahagia dan temukan kedamaian hati
Kebaikan yang engkau lakukan hari ini, mungkin akan dilupakan orang keesokan harinya
Meski demikan, tetaplah lakukan kebaikan
Berikan pada dunia ini milikmu yang terbaik dan mungkin itu tak akan pernah cukup
Meski demikian, tetaplah berikan pada dunia ini milikmu yang terbaik
Ketahuilah,
pada akhirnya nanti
sesungguhnnya ini semua adalah masalah antara engkau dan Tuhan
Tidak akan pernah menjadi masalah antara engkau dan mereka.. :)
Thursday, March 19, 2009
MENUNDA PEKERJAAN
"Ah, nanti aja, aku nonton TV dulu. Acaranya lagi bagus."
"Sebentar, aku mau tidur dulu."
"Istirahat dulu, nanti juga kukerjain."
"Besok aja deh ngerjainnya."
"Pekerjaan ini terlalu sulit. Aku bingung mau mulai dari mana."
"Waktuku nggak cukup kalau ngerjainnya sekarang."
"Lima menit lagi lah ,aku lagi ngelakuin hobiku."
"Aku lagi nggak mood buat ngerjain pekerjaan ini..."
Alasan-alasan tadi sering digunakan orang untuk menunda pekerjaan (tak terkecuali aku). Dari alasan-alasan tersebut dapat kita kelompokkan menjadi lima bagian ::
Salah Perkiraan
Contoh langsung. Saya sering meremehkan suatu pekerjaan. Pernah saya mengira kalau saya dapat mengerjakan suatu tugas hanya dalam waktu sebentar, katakanlah dalam waktu 2 jam, sehingga saya pun menunda pengerjaannya. Ketika telah dekat dengan deadline tugas tersebut, baru saya memulai pengerjaannya bersamaan dengan pengerjaan tugas lain yang deadlinenya sama. Di tengah-tengah pengerjaan, saya merasakan ingin istirahat sebentar dan akan melanjutkan tugas tersebut setelahnya. Padahal tadi saya memulai pengerjaan saat menjelang malam ,dan "istirahat sebentar" saya lakukan ketika waktu menunjukkan jam 12, tidak heran kalau pada akhirnya saya malah "keterusan" istirahat sampai pagi dan tugas-tugas tersebut belum ada yang terselesaikan.
Pekerjaan Terlalu Besar
Rudi telah berniat untuk menyelesaikan pekerjaan mendesain website contoh untuk mempromosikan hasil karyanya untuk menambah pendapatan dari pekerjaan sampingan dari webdesigning. Namun sudah lebih dari enam bulan, website belum keliatan bentuknya. Konsepnya pun belum tersusun. Ketika akan memulai, walaupun Rudi memiliki ketrampilan yang diperlukan, namun Rudi merasa pekerjaan ini terlalu besar, sehingga ia bingun harus mulai dari mana. Akhirnya, ia menunda pekerjaan tersebut.
Si Miss or Mr Perfect
Hanif adalah mahasiswa pacasarjana yang sedang menyelesaikan karya akhirnya. Telah lebih dari satu tahun setelah semua kuliah diselesaikan, karya akhirnya blum juga selesai. Hanif ingin agar karya tulis ini sempurna, sehingga beberapa kali ia berganti topik dan berganti dosen pembimbing. Setiap kali pergantian dilakukan, ia harus mulai lagi dari awal. Akhirnya, Hanif tidak mengalami kemajuan berarti dalam menyelesaikan karya akhirnya. Dan sekarang is sudah mendapat peringatan untuk segera meyelesaikan karya akhirnya tersebut.
Pengorbanan
Reno bukan wartawan. Ia adalah seorang pelajar yang aktif dalam organisasi di sekolah. Setiap minggu, ia diminta untuk mengirimkan beberapa artikel ke beberapa majalah dan surat kabar. Karena pada hari-hari biasa Reno berkutat mengurusi organisasinya, tentu ia harus "mengorbankan" waktu luangnya untuk menyelesaikan pekerjaan menulis. Ia harus rela mengambil beberapa jam waktu liburnya untuk menulis artikel. Karena ia pun sering merasa sayang melewatkan waktu luangnya untuk menulis, akibatnya seringkali ia menunda menyelesaikan artikelnya sampai malam sebelum artikel tersebut harus diserahkan.
Apa yang harus dilakukan?
Menunda pekerjaan adalah sebuah kebiasaan buruk yang bisa diatasi. Memang tidak mudah untuk mengubah sebuah kebiasaan, apalagi jika kebiasaan tersebut telah dilakukan untuk waktu yang lama. Di bawah ini ada beberapa strategi yang bisa dicoba untuk menghentikan kebiasaan buruk tersebut.
Perencanaan
Padahal saya sudah menjadwalkan pengerjaan tugas-tugas tersebut, misalkan saja : hari Senin untuk mengerjakan tugas Kimia sekaligus menyicil tugas Biologi, Selasa untuk mengerjakan Sejarah dan Matematika sekaligus menyicil belajar untuk ulangan Fisika, hari Rabu untuk menyelesaikan tugas Biologi dan Bahasa Inggris, menyicil belajar untuk ulangan Matematika dan ulangan Bahasa Arab, serta mengerjakan power point Sosiologi, dan seterusnya. Namun mungkin karena tugasnya yang juga terlalu banyak, sering saya memutuskan untuk "istirahat sebentar" dan akhirnya terpendinglah salah satu tugas saya.
Untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan dengan baik, perlu perencanaan yang sesuai pula. Saya yang harus menyelesaikan suatu tugas sesuai deadline, seharusnya menyusun perencanaan agar tidak salah lagi dalam memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas tersebut, terlebih bila saya mengetahui bahwa akan ada lebih banyak lagi tugas yang akan menumpuk jika saya menunda satu pekerjaan.
Jangan pernah berfikir kalau kita dapat menyelesaikan tugas tersebut nanti, karena kata "nanti" dapat menjadi "nanti-nanti" yang selanjutnya.
Latar Belakang dan Tujuan
Pahami latar belakang dan tujuan sebuah pekerjaan. Jika tujuannya besar, pecahlah tujuan tersebut menjadi tujuan-tujuan penunjang yang lebih jelas, terukur dan dapat dicapai.
Prioritas
Jika kita merasa HARUS menghasilkan karya yang sempurna, kita sering merasa bingung di mana harus memulai, apa yang harus dikerjakan, dan apa yang harus didahulukan. Tidak ada orang yang sempurna. Jadi, Hanif dalam menyelesaikan karya akhirnya tidak perlu merasa tertekan untuk menghasilkan karya yang sempurna sekaligus. Ia harus memilih mana yang harus diprioritaskan, misalkan: menyelesaikan penulisan dalam satu semester dengan memulai penulisan sekarang dengan bahan yang telah berhasil dikumpulkan dan menyempurnakannya kemudian sejalan dengan ditemukannya bahan-bahan baru, atau justru menunggu sampai bahannya lebih lengkap.
Jika Hanif akhirnya memilih untuk memprioritaskan menyelesaikan skripsi sesuai dengan waktu yang telaj ditentukan (satu semester), maka ia bisa memulai penulisan dengan sarana dan prasarana yang mampu dikumpulkan. Setelah itu, tulisan bisa ia sempurnakan sedikit demi sedikit ketika ia menemukan materi atau cotoh baru. Daripada ia merasa harus terbeban untuk menghasilkan karya yang sempurna.
Ia harus mengganti pemikiran, "Bagaimana saya harus menghasilkan karya yang terbaik?" dengan pemikiran "Langkah apa yang bisa saya ambil untuk memulai proyek penulisan ini sekarang?"
Hadiah
Jika kita merasa bahwa melakukan sebuah pekerjaan akan menghilangkan kenikmatan-kenikmatan yang mungkin bisa kita peroleh, maka tidak heran jika kita menunda pekerjaan tersebut. Kita yang terkadang harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sekaligus, bisa saja menerapkan strategi "hadiah ini". Setiap kali kita menyelesaikan suatu tugas, kita dapat menghadiahi diri kita sendiri dengan hal-hal sederhana yang kita senangi, misalnya: shopping, berkebun, secangkir coklat hangat, dan lain-lain.
Menunda pekerjaan kelihatannya sepele, tapi seperti pasir di sepatu, kebiasaan buruk ini dapat menimbulkan rasa sakit ataupun luka di kehidupan sosial, karier, ataupun bisnis anda.
Umpakan atau bahkan visualisasikan bahwa setiap tugas adalah seekor monyet yang nongkrong di pundak kita. Semakin banyak tugas yang belum selesai, berarti makin banyak monyet yang nongkrong. Terganggu kan? Menyelesaikan tugas sama dengan mengusir monyet.
sumber : Kompas dan niatnulis.wordpress.com
Subscribe to:
Posts (Atom)