Ketenangan alam barzah terusik.
Ada penghuni baru yang datang hari ini. Seorang kakek dengan rambutnya yang
telah memutih, penuh uban. Ia datang dengan senyum. Bersama iringan orang-orang
yang mengantarkannya ke liang lahat, tempat terakhir ia akan membaringkan
jasadnya.
Sungguh aku menaruh iri kepadanya,
pada senyum yang membawanya datang kemari. Pada cahaya wajahnya yang bersinar
menyilaukan mata dari gurat-gurat wajahnya yang berlipat-lipat. Dan pada
banyaknya orang-orang yang mengantarnya dengan tangis tertahan. Aku tidak
begitu dulu, tidak demikian. Aku teramat ingat ketika pertama kali aku datang
ke tempat ini, hanya ada Ayah, Ibu, kakak, adik, dan segelintir orang saja yang
mengantarku. Tak banyak, tak ada yang lain. Dan tak sebanyak iringan orang-orang
ini yang bertahlil dengan penuh kekhusyukan hingga menerangi setiap ruang
barzah yang amat gelap, dan meniupkan kesejukan bagi setiap penghuni barzah.
Dan aku juga merasakan kesejukan itu, sekalipun dalam keadaan menyedihkan macam
begini.
Kemudian Barzakh pun tertutup oleh
timbunan tanah yang menimbun jasadnya. Namun lantunan tahlil itu masih kudengar
dengungnya lewat celah-celah tanah yang berlubang, menebar seakan memberi
cahaya lewat lubang-lubang itu. Dan lalu kamipun menunggu. Menunggu dua
malaikat kubur yang akan datang menyambutnya. Juga menunggu bagaimana ia akan
menghadapi dua makhluk ghaib yang menyeramkan itu.
Sunyi.
Tahlil terhenti.
Bau tanah tercium semerbak,
berbaur dengan wangi malaikat yang membawa cempaka dalam jubahnya. Senyap kami
menunggu.
“Man Rabbuka?!” Suara malaikat terdengar menggelegar,
mengentak tanah-tanah di sekililingnya.
“Allaahu robbul ‘aalamiin...”
Lelaki tua itu menjawab dengan tenang dan pasrah.
Aku menangis kini, menaruh iri lagi
kepadanya. Aku tidak begitu dulu, tidak demikian. Dulu, mulutku seperti
terkunci untuk menjawab pertanyaan itu, sulit sekali.
Dan kemudian Barzakh sunyi lagi.
Hanya jeritan-jeritan tertahan yang terdengar dari mereka yang disiksa tanpa
henti. Dua malaikat itu telah pergi, setelah bertanya ini-itu pada lelaki tua
itu. Mereka telah pergi, dan itu sedikit membuatku lega.
“Assalaamu’alaykum, ya ahla haadzihid-diyaar!” lelaki tua
itu menebar salam kepada kami dengan senyumnya yang semakin merekah.
Semua penghuni Barzakh
menjawabnya, termasuk juga aku, walau dengan suara terbata. Ia menyalami dan
menebar senyum pada setiap ahlul-Barzakh yang senasib baik dengan dirinya.
Namun tiada henti ia menangis tergugu kepada
ahlul Barzakh yang terpuruk dalam siksa pedih.
“Wahai Ahlul Jadiid, siapakah
namamu?” aku menyapanya ketika ia melewatiku dengan tangis menyayat.
“Raihan, lalu siapa namamu?” Ia
balik bertanya.
“Amran. Amran Hidayat.”
Ia terkejut. “Amran? Amran
Hidayat? Bukankah engkau orang yang dermawan itu? Pemilik panti asuhan yang
selalu membantu orang-orang lemah? Dan pendiri Masjid An-Nuur yang megah itu?”
ia menanyaiku tanpa henti dan aku hanya bisa mengangguk pedih.
“Apa yang terjadi denganmu, wahai
saudaraku? Bagaimana mungkin engkau berada di tempat ini dalam kondisi yang
menyedihkan seperti ini?”
Aku menarik nafas berat, meringis
menahan sakit bekas siksaan yang teramat pedih.
“Akupun tak tahu,” jawabku
sekenanya.
“Ah sudahlah, jangan kau bahas
lagi tentang diriku. Lebih baik kau ceritakanlah kepadaku tentang amalan
istimewa apa yang kau lakukan semasa hidupmu, hingga kau datang ke tempat ini
dengan terhormat dan dengan wajah yang bersinar pula?” kataku lagi.
Lelaki tua itu tersenyum, lalu
menggeleng cepat-cepat, “tidak ada, saudaraku.”
“Jangan terlalu merendah,
katakanlah kepadaku, apakah kau seorang ahli ibadah yang tak pernah melewatkan
satu haripun tanpa amalan fardhu dan sunnah?”
“Tidak, aku bukanlah orang yang
selalu disibukkan oleh perkara ibadah. Waktuku nyaris habis oleh kerja untuk
menghidupi anak istriku.”
“Jadi kau hanya memikirkan
menguras keringat untuk mendapatkan uang tanpa mau berpikir menemui Allah untuk
mendapatkan ganjaran dariNya, begitu?”
“Bukan, bukan begitu maksudnya.
Aku mengerjakan shalat lima waktu tanpa meninggalkan satu waktu pun. Tapi
sungguh tak ada yang istimewa. Aku bukanlah ahli tahajjud apalagi ahli dhuha.
Seperti yang kukatakan, waktuku nyaris habis karena mencari maisyah untuk
keluargaku.”
Aku mengangguk-angguk mengerti.
Berarti ia tak lebih baik dariku yang siang malam tak pernah lalai
menghadapNya.
“Atau apakah kau ahli shiam yang
di akhirat kelak akan memasuki surga dari pintu Ar-Royyan?”
Ia menggeleng lagi, “tidak juga.”
“Atau mungkin kau selalu memberi
sedekah kepada orang-orang yang tak mampu?” aku masih diburu penasaran.
Sampai-sampai pertanyaanku kali ini sedikit tak masuk akal. Bagaimana mungkin
orang miskin macam dia masih sempat-sempatnya memikirkan sedekah kepada
oranglain.
Dan benar saja, lelaki beruban itu
tertawa kecil mendengar pertanyaanku.
“Bagaimana mungkin aku menjadi
ahli sedekah, sementara untuk bisa tetap hidup, aku harus memeras keringat dan
tenagaku? Rasanya tak ada waktu untuk memikirkan kesusahan orang lain jika
keluarga sendiri susah.”
Yap, sudah kuduga ia akan berkata
demikian. Benar-benar pertanyaan bodoh. Tapi sekali lagi, ia tak lebih baik
dariku. Kalau dirinci, seingatku sebagian besar hartaku kusedekahkan kepada
orang-orang tak mampu. Rasanya aku adalah orang terdermawan waktu itu.
Jadi apa istimewanya orang ini?
Hmmm,, aku berpikir lagi, “Apakah kau mempunyai wiridan khusus?”
“Wiridan khusus?” ia menautkan
kedua alisnya, “tidak ada. Aku rasa tidak ada, saudaraku.”
Oh, jawabannya masih sama. Itu
artinya ia tak lebih baik dariku. Telah lebih dari seratus macam wiridan yang
kuhafal dan tak pernah kutinggalkan dalam sehari. Huff,, rasanya sekarang aku kehabisan kata-kata. Tak ada lagi yang
bisa kutanyakan kepadanya.
Aku meringis lagi. Bekas pukulan
malaikat di wajahku belum juga kering. Darah segar masih merembes di antara
kulit-kulit wajahku yang melepuh, diikuti nanah yang menjijikkan.
Lelaki tua itu menatapku iba.
Mungkin pikirnya, sesadis inikah siksaan para malaikat kubur itu pada orang
sebaik aku?
“Kalau begitu, lalu apa yang
membuatmu menjadi orang seberuntung ini?” akhirnya pertanyaan ini yang
kupilihkan untuknya.
Lelaki itu tersenyum arif. Ia tak
segera menjawab pertanyaanku. Dipandanginya wajahku lagi, dan ia meringis iba
ketika pandangannya tertuju pada bibirku yang robek dan melepuh tiada bentuk.
“Aku selalu menjauhi ghibah,”
lelaki itu akhirnya menjawab.
“Ghibah?” kali ini giliran aku
yang menautkan kedua alisku. Sesederhana itukah?
“Mengapa? Mengapa harus ghibah?”
Lagi-lagi aku diburu oleh rasa penasaranku.
“Karena ghibah mempunya sepuluh
kerugian.”
“Pertama, orang yang berghibah
akan dijauhkan dari rahmat Allah. Kedua, malaikat akan memutuskan persahabatan
dengannya. Ketiga, pada waktu matinya, ia mengalami pencabutan roh yang sukar
dan payah. Keempat, ia menjadi dekat pada neraka, dan kelima, ia akan menjadi
jauh dari surga.” Lelaki itu berhenti sejenak.
“Lalu?” aku memburu.
“Keenam, ia mengalami azab kubur
yang berat. Ketujuh, amalnya akan sia-sia. Kedelapan, perbuatannya mengganggu
ruh Nabi Muhammad. Kesembilan, ia mendapat murka dari Allah, dan yang terakhir,
ia mengalami rugi sewaktu hisab di hari kiamat.”
Rabbana... Aku menangis sesenggukan walau kutahu ini terlambat. Aku
memang seorang ahli ibadah, ahli sedekah, juga ahli shaum, dan ahli dzikir.
Tapi bukanlah berarti aku bukan seorang ahli ghibah. Dosa kecil itu. Tak pernah sedikitpun kupikirkan kerugiannya,
perbuatan itu bahkan telah mendarah-daging dalam jasadku. Dosa kecil yang
mungkin tak pernah kutinggalkan dalam sehari, dua hari, bahkan berbulan-bulan,
dan bertahun-tahun. Hingga dosa kecil itu menjadi lebih besar dari dosa besar
sekalipun, dengan kadar kerugian yang bukan cuma sepuluh kali, tapi
berpuluh-puluh kali lipat.
Ugh, sungguh, aku tak lebih baik
dari lelaki tua ini!
Persembahan spesial untuk @Risma Dini dan @Rofiqoh Qoshirotul... <3 p="">3>
Terinspirasi dari obrolan kita senja kemarin tentang "kematian dan hari kiamat" setelah kelas Tasqif yang membahas Q.S An-Nazi'at :")