Pages

Monday, October 27, 2014

How I met my passion---at Medical Faculty

Bismillahirrahmanirrahim..

Alhamdulillah sedang berada di blok elektif yang sedikit "selo" dan membuat saya bisa bermain-main lagi dengan blog ini. Seperti yang kita tahu, blok elektif di fakultas kedokteran setiap universitas pasti berbeda, dan di kampus saya kami mempunyai 4 pilihan topik untuk tiap blok elektif: professional/research exchange program, komplementer, PBKM, dan manajemen rumah sakit.  Dan alhamdulillahnya, saya lolos seleksi untuk ikut yang professional exchange (yang mana sudah saya lakukan ketika libur ba'da lebaran kemarin) sehingga hampir 2 bulan ini kerjaan saya luntang-luntung saja di kampus.

Kalau ada yang tanya, kenapa saya memilih program exchange....saya akan jawab, yah itu karna sesuai dengan passion saya, dimana saya orangnya sangat suka menjelajah negara lain dan berkenalan dengan banyak orang baru. Dan kalau ada yang bertanya kenapa saya memilih departemen Obsgyn untuk program exchange saya.......well, saya akan jawab, saya sedang mencoba menemukan passion saya dengan cara ini.

Saya pernah menemukan sebuah kutipan yang sangat menarik;

“Passion.
It lies in all of us. Sleeping... waiting... and though unwanted, unbidden, it will stir...
open its jaws and howl. It speaks to us... guides us.
Passion rules us all. And we obey.
What other choice do we have?
Passion is the source of our finest moments.
The joy of love... the clarity of hatred... the ecstasy of grief.
It hurts sometimes more than we can bear.
If we could live without passion, maybe we'd know some kind of peace. But we would be hollow. Empty rooms, shuttered and dank. Without passion, we'd be truly dead.” 
― Joss Whedon

Yap, hidup adalah tentang passion. Hidup tanpa passion tentu saja ibarat mobil tanpa bahan bakar, maka dia tidak akan bisa pergi jauh apalagi harus melalui tanjakan.

Berbicara mengenai passion membuat saya ingin sedikit flashback ke masa-masa dimana saya masih mencari apa itu arti kata "passion".
Dulu sewaktu saya masih kecil dan ditanya mau jadi apa, jawaban saya simpel : dokter. Bukan karna ingin menolong sesama atau serentetan alasan mulia yang lain, tetapi murni karna hari-hari saya akrab dengan seseorang yang berprofesi tersebut : ibunda saya.

Semakin besar, ketika duduk di bangku SMP, ternyata saya menyadari bahwa sepertinya saya tidak akan cocok dengan pekerjaan tersebut. Karena saya sangat tidak menyukai pelajaran hafalan. Bahkan untuk menutupi kekurangan tersebut saya berusaha menjadi yang paling menonjol di bidang pelajaran lain yaitu matematika, hingga akhirnya menjadikan saya langganan sekolah untuk diikutkan ke olimpiade matematika. Ya, dengan penuh ke-sok-tahuan saat itu saya berkata, "saya tidak akan menjadi dokter, saya tidak punya passion di pekerjaan tersebut."

Beranjak ke bangku SMA, pikiran saya tersebut semakin menjadi. Huff, ternyata saya memang tidak berbakat di bidang hafalan. Seriously, saya benar-benar heran bagaimana orang bisa dengan sukarelanya menghafal teks-teks penuh teori seperti itu. Menyadari kekrisisan saya di bidang biologi dan segala jenis temannya, dengan berbekal nekat saya mendatangi orangtua saya dan berkata, "saya ingin mengambil jurusan lain, saya tidak mempunya passion di bidang kedokteran." Dan yang yah- tentu saja permohonan saya tersebut ditolak.

Hasil akhir diskusi (?) adalah saya harus tetap mengambil jurusan kedokteran, tidak peduli dimanapun universitasnya. Dan seperti postingan saya sebelumnya, saya memang tidak pernah bisa menolak keinginan orangtua, apalagi jika hal tersebut merupakan "perintah tersembunyi" dari ibunda saya.

Akhirnya masuklah saya di fakultas kedokteran dengan segala carut marut di dalam hati dan pikiran.
Belum lagi ketika semua orang di luar sana bertanya saya ingin jadi apa, well -as you can see, I'm here, I'm a medical student so I will become a doctor. Dan ketika pertanyaan berkembang menjadi: ingin menjadi dokter spesialis apa, saya dengan mengangguk mantap akan berkata : obsgyn. Sayangnya ucapan-ucapan yang sering saya lontarkan tersebut bukan karna saya memang sudah mantap, tetapi semata karna saya ingin meyakinkan diri sendiri.

Betul kata bang Tere Liye yang pernah membuat quote, "semakin seseorang mengungkapkan cintanya, jangan-jangan dia sebenernya tidak secinta itu. Jangan-jangan dia hanya ingin meyakinkan diri sendiri, bahwa dia cinta, padahal sebenarnya tidak." Ya, saya membenarkan hal tersebut, karna secara nggak sadar saya sudah melakukannya.

Hingga akhirnya saya memaksa diri untuk secepatnya menyelesaikan skripsi karna saya nggak tahu apalagi yang harus saya lakukan di sini. Saya hanya ingin secepatnya selesai kuliah, menyelesaikan koas, mendapat gelar tersebut dan done, kewajiban saya terhadap orangtua lunas sudah. Setidaknya ketika saya benar-benar tidak suka dengan fakultas pilihan orangtua saya ini, saya tetap harus menyelesaikannya dengan bertanggungjawab.

Menyedihkan memang.

Sampai akhirnya pengumuman pendaftaran exchange itu dibuka. Maybe this is my last chance, pikir saya saat itu, sebelum saya benar-benar memulai hidup saya di koas setidaknya saya ingin tahu bagaimana sih rasanya kerja beneran di rumah sakit. Dan tentu saja saya mengambil departemen obsgyn, spesialisasi dimana saya harus menggantikan ibunda saya besok.

Oke, bermodal ijin dari suami, akhirnya saya ikuti juga itu rangkaian seleksi professional exchange. Yang qodarullah nya saya diterima, dan mendapat departemen sesuai yang saya apply-kan.

Singkat cerita, sampailah saya di Tunisia, bersama 20an mahasiswa kedokteran lain dari berbagai negara. Dari kesemua mahasiswa tersebut, ada 1 orang yang kebetulan mengambil departemen yang sama dengan saya, dan dia perempuan, dari Rumania. Di hari pertama kami (sebelum kami melihat seperti apa departemen obsgyn disana), teman saya itu mendadak bercerita bahwa dia memang ingin menjadi dokter obsgyn, tetapi ibunya yang seorang dokter mata tidak mengizinkan karena pekerjaan dokter obsgyn adalah pekerjaan yang "kotor". Dan teman saya disuruh memilih spesialisasi yang lebih "bersih" atau lebih "feminin".

Di akhir ceritanya dia menambahkan, "tetapi ibu saya mengizinkan saya ikut exchange dan mengambil departemen ini, dia bilang saya pasti akan ilfeel dan nggak akan mengambil spesialis ini lagi kalau sudah tahu bagaimana kehidupan dokter obsgyn itu."

Memang ya, doa ibu itu seperti kehendaknya Tuhan. Masih di minggu pertama kerja, ternyata teman saya itu benar-benar sudah ilfeel dengan departemen obsgyn. Capek, katanya, dan cuma ada kotor dimana-mana. "Saya beneran nggak akan mengambil obsgyn untuk spesialisasi, bahkan saya nggak akan mau melahirkan kalau harus mengalami semua proses menyakitkan itu," tambahnya sebagai penutup yang dramatis.

Jika teman saya menemukan ke-ilfeel-annya disana, yang terjadi pada saya justru sebaliknya.
Disanalah akhirnya Allah membukakan mata saya terhadap jalan ini -setelah untaian doa panjang ibunda saya yang mungkin tak berhenti setiap malamnya.

Ya, ternyata saya suka bekerja di rumah sakit. Ternyata saya betah berlama-lama di rumah sakit. Dan yang mengejutkan saya, ternyata saya benar-benar menjadi jatuh cinta dengan dunia obsgyn, dengan semua jeritan-jeritan pasien ketika melahirkan, dengan penuhnya jadwal operasi dan jadwal jaga, juga dengan semua pengorbanan jam tidur untuk harus standby di rumah sakit.

Saat itu saya seperti menemukan sebuah passion yang selama ini terpendam berjuta meter didalam hati saya, yang membuat saya sadar, bahwa ternyata passion itu bukan suatu "bawaan" yang memang sudah terlihat dari diri kita, tetapi sesuatu yang harus dicari dan diusahakan seperti jodoh. Dan setelah kegabutan saya bertahun-tahun kuliah di kedokteran, akhirnya saya bisa juga menemukan satu alasan untuk tetap bertahan di profesi ini. Saya akan bertahan disini untuk bisa mengambil spesialisasi obsgyn dan saya akan melanjutkan lagi semua proses ini hingga saya bisa meraih tujuan saya tersebut.

Well, menyedihkan memang karena saya baru menemukan passion tersebut ketika sudah menyelesaikan study bertahun-tahun, tetapi prinsip praktis saya, it's always better to late than never.

Karena kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sekali orang di luar sana yang nggak tahu passion-nya apa dalam hidup ini. Yang mereka tahu hanyalah melakukan pekerjaannya sehari-hari, membuat mereka menjadi orang yang sensitif dan mudah sekali stress, karna selalu terkepung kebosanan dan tenggelam dalam rutinitas aktivitas sehari-harinya tersebut.

Sejumlah pihak ngotot berkata bahwa, "saya sudah mengerjakan yang terbaik dan memaksimalkan potensi yang dimiliki." Dan ketika disinggung tentang passion justru berkata, "ah apa itu passion, tidak perlu."

Padahal, jika kita sudah tahu passion apa yang kita miliki, kita akan lebih mudah menjalani serangkaian aktivitas apapun dan dengan mudahnya bisa meraih kesuksesan di bidang yang kita geluti. 

Lalu bagaimana cara kita mengetahui kalau kita sudah menemukan passion kita? Saya mengutip sebuah artikel dari Kompasiana yang menyebutkan bahwa setidaknya ada 3 kriteria yang bisa menjadi patokan kita: (1). Selalu semangat mengerjakannya meskipun sulit, (2). Selalu mencari jalan keluar pemecahannya, (3). Dalam proses pencapaiannya keuntungan materi (uang) bukan menjadi tujuan utama tapi sekunder; kecuali passionnya adalah mencari uang.

Untuk yang sudah menemukan passionnya, saya ucapkan selamat. Anda benar-benar sudah berada di jalan yang benar. :")

Dan untuk yang belum menemukannya, saya nggak pernah memaksa teman-teman untuk segera mencari passionnya, tetapi paling tidak, cobalah untuk mengusahakannya. Memang, banyak orang yang mengatakan, "jika ingin berhasil dalam hidup, kita perlu untuk menjalani hidup sesuai passion kita, in other word, we have to do what we love." tapi bagi saya, kita masih bisa kok mengusahakan passion tersebut, dengan cara "we have to love what we do".

Don't do what we love,
But LOVE what we do
is the way to do a great work
but
DO what we love,
and LOVE what we do
is the perfect one.

Apa saja yang sudah ada di tangan kita, atau ada di depan mata kita, ya ayok dimaksimalkan. Dikerjakan semaksimal mungkin. Dicari-cari alasan untuk menjadikannya sebuah passion kita. Hingga kita bisa berkata pada diri sendiri, "Yeah, I know I did the right thing!!".

Akhir kata, yuk temukan passion kita dengan mulai melihat didalam diri sendiri apa yang sangat ingin kita wujudkan. Yang harus kita sadari, bahwa passion bukanlah suatu tujuan. Passion bisa jadi merupakan sebuah proses pencapaian. Oleh karena itu, alasan apapun yang membuat kita bertahan untuk terus berjuang bisa saja adalah passion kita, karena passion nggak mengenal kata lelah maupun menyerah.

Mari kita ciptakan prestasi terbaik dengan passion yang luar biasa. :)

foto semasa kuliah yang masih bisa dikumpulkan... yang lain entah sudah tercecer dimana saja :""