Pages

Friday, July 25, 2014

Hidup adalah Kesempatan Membuat Pilihan

bismillahirrahmaanirrahim...
alhamdulillah,, akhirnya menyentuh blog ini lagi... :)

Tulisan kali ini ingin saya dedikasikan untuk semua orang yang sedang berjuang dengan takdirnya masing-masing..

Takdir, sesuai pelajaran yang saya dapat dari SD, terbagi menjadi dua, yaitu takdir mubram dan takdir mu’allaq. Takdir mubram adalah takdir yang nggak bisa diubah, sifatnya absolut, contohnya pergerakan matahari dan bulan, bernafasnya manusia dengan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida, dan sebagainya. Sedangkan takdir mu’allaq adalah takdir yang bisa diubah, sifatnya relatif, contohnya kekayaan, kecerdasan, dan lain-lain.

Sayangnya, terkadang nggak semua yang kita inginkan bisa kita peroleh, karna bisa jadi nggak semua ujung dari ikhtiar seperti yang kita rencanakan di awal.. Seperti misalnya ketika kita merangkai hidup 1+1 kemudian angka 2 yang diharapkan terjadi namun tidak selamannya seperti itu, karena pada akhirnya takdir Allah lah yang akan terjadi..

Saya masih sangat ingat bagaimana takdir-takdir Allah dulu membentuk saya..
Seperti ketika dulu saya menginginkan untuk melanjutkan sekolah di SMA 3 Padmandaba, qodarullah ternyata orangtua lebih menghendaki saya di SMA 1 Teladan. dan ketika kehendak Allah ternyata sejalan dengan keinginan orangtua, maka terjadilah...

Akhirnya saya bersekolah di tempat yang ketika awal-awal tahun pertama ada kakak kelas yang menegur saya karena kaos kakinya kelupaan, atau karena jilbabnya kurang panjang, dan lain sebagainya.

Meskipun pada akhirnya saya sadar, ternyata Allah menaruh saya di tempat itu dengan berbagai macam kebaikan yang Ia siapkan... karena di tempat itulah akhirnya saya menemukan "diri saya yang lain", yang kemudian bisa berhijrah dari saya yang dulu.

Lagi, sebuah takdir Allah ternyata juga telah menunggu saya ketika lulus...
Dulu, saya nggak pernah membayangkan bahwa akan terdampar di sebuah universitas swasta. sama sekali nggak pernah..

Saya sudah merasa melakukan yang terbaik menurut saya, tapi ternyata menurut Allah itu belum..

Rasanya tentu saja campur aduk.. ketika menyadari semua yang saya perjuangkan di SMA untuk mendapatkan perguruan tinggi keinginan saya ternyata tidak dikabulkan oleh Allah..

Sudah berkali-kali saya mencoba mengikhlaskan dan menjalani apa yang sudah ditakdirkan oleh Allah dengan lapang dada, tapi ternyata pelajaran ikhlas memang nggak semudah ketika hanya diucapkan.

Banyak sekali hal yang sangat berbeda ketika saya berpindah dari sekolah saya dulu ke tempat saya belajar sekarang. Mulai dari iklimnya, peraturan-peraturannya, teman-temannya, sampai adat budayanya. Dan salah satu yang paling membuat saya tersiksa adalah justru ketika saya sedang berkompetisi dengan membawa nama perguruan tinggi saya.

Dulu saya senang sekali ikut lomba. Dengan jas almamater kebanggaan, ditemani banyak teman-teman dari satu sekolah, rasanya seperti sudah siap menghadapi siapapun jurinya dan apapun kemungkinannya. Dulu saya semangat ikut lomba karena banyak teman-teman yang juga mengejar hal yang sama, bercita-cita yang sama. Bahkan dulu senang sekali kalau mendapat juara karena sekolah saya sangat mengapresiasi hal tersebut.

Berbeda sekali ketika saya di perkuliahan. Dimana sedikit sekali yang memang murni mencintai penelitian. Sedikit yang punya passion ke arah penelitian. Sedikit yang mau berjuang mengikuti lomba-lomba.

Saya masih ingat sekali ketika saya semester 2 dan saya berkesempatan menjadi finalis PIMNAS. Waktu itu terasa sekali bedanya. Yang biasanya bangga karena ada teman banyak dan membawa nama almamater kebanggaan, sekarang terganti dengan mirisnya perasaan karena hanya minoritas di antara sekian banyak. Ketika dulu bisa dengan bangga membuat yel-yel sendiri, sekarang harus menekan hati sendiri karena hanya bisa menjadi penonton para mayoritas, sedangkan saya sekarang di pihak minoritas.

Tempat dimana untuk berdakwah saja harus berhadapan dengan para petinggi kampus, harus sembunyi-sembunyi, hingga akhirnya harus merelakan satu dua mad'u yang lepas karena tidak bisa terpegang dengan baik di dakwah kampus ini..

Belum lagi ketika berada di antara saudara-saudara saya yang menganut paham universitas negeri, kadang saya benar-benar merasa ingin menghilang ketika sudah membicarakan tentang almamater universitas..

Apakah kemudian saya menjadi tidak ikhlas?
Dulu saya akan mengatakan iya, saya tidak ikhlas. Sangat tidak ikhlas.
Tapi itu dulu.
Sebelum akhirnya sebuah pendewasaan menyadarkan saya ketika sudah mencoba menata hati di tahun kedua. Iya, saya butuh 2 tahun untuk bisa menata hati...

Selama beberapa waktu akhirnya saya mencoba berbicara dengan diri saya sendiri, hati ke hati..
Apa yang sebenarnya saya inginkan? Apa yang orangtua harapkan? Apa yang Allah kehendaki? Apa yang ummat butuhkan?

Dan saya tersadar, ketidak ikhlasan saya tidak akan berbuah hal yang manis...

Saya bisa saja meneruskan ketidak ikhlasan saya tersebut, tapi lalu apa yang bisa berubah? Toh Allah tetap menghendaki saya di sana... Dan ketika saya terus menerus mereject kehendak Allah, apa kemudian saya bisa mewujudkan harapan orangtua saya dengan maksimal? Jika untuk diri sendiri saja saya masih belum bisa menata hati, apa yang bisa saya berikan untuk ummat?

Akhirnya saya sadar... hidup hanyalah kesempatan membuat pilihan... segalanya digulirkan dan digilirkan. Apapun yang kita pilih nantinya, ujungnya adalah tanggung jawab. Dan memikul tanggung jawab, apapun itu, pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.. 

Masih terngiang di telinga saya kalimat “Man purpose, ALLAH dispose”..
Bahwa hidup adalah rangkaian ikhtiar demi ikhtiar,, dan ujung dari ikhtiar ini bukan manusia yang menyelesaikan... Manusia berikhtiar, Allah yang akan menyelesaikan.

Ketika semua dinilai dari sebuah niat, niat yang mulia maupun tidak mulia, maka akan selalu ada dua kemungkinan yang terjadi diujung ikhtiar : apakah hasil yang akan terjadi itu sesuai dengan rencana kita atau sebaliknya, inilah ruang kuasa Allah.

Iya, ada ruang yang mesti saya sadari, ruang di mana setiap ikhitiar tak dapat saya ketahui ujungnya, ruang yang benar-benar sangat gelap bagi saya.

Ruang itu adalah kehendak Allah…

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki
dan menetapkan apa yang Dia kehendaki(QS. Ar–Rad : 39)

Dan betul bahwa saya hanya hamba. Apa yang terjadi pada seorang hamba tak luput dari kehendak Allah.

Yang perlu saya pahami di dalam setiap kehendak Allah yang bernama takdir adalah bukan hanya Allah sedang menunjukan betapa maha berkehendaknya Dia, tapi juga betapa Allah mengetahui segala galanya, bahkan yang menurut saya gelap dan misteri, Allah mengetahui itu, yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi semua dalam genggaman Allah..

Untuk itulah Allah memilihkan takdir terbaik karena Dia bukan hanya berkendak tapi Maha Tau,
sedang saya? :)

Saya adalah milik Allah.. dan saya percaya bahwa setiap pemilik akan memelihara apa yang dimilikinya dengan kasih sayang, apapun itu, jadi apapun yang terjadi saat ini karena Allah menyayangi saya..

Mungkin saat ini saya melihat takdir seperti luka yang perih menyayat hati, namun taukah saya bahwa esok ini akan menjadi sesuatu yang saya syukuri, sesuatu yang akan mendekatkan diri saya kepada Allah? Lalu masihkah saya marah atas takdir kali ini ketika saya tahu bahwa ini terjadi karena kasih sayangNya?

Dan alhamdullillah... setelah saya benar-benar mengikhlaskan hati, justru banyak sekali hal baik yang terjadi.. hal-hal yang dulu saya anggap sebagai kesulitan, sekarang bisa saya pandang sebagai peluang. Seperti peluang kebaikan untuk mengajak yang lain ikut lomba, peluang dakwah untuk kemudian bisa menaklukkan para petinggi, peluang memaksimalkan potensi diri agar ketika lomba tidak kalah dengan universitas lain, peluang menyemangati diri sendiri untuk cepat lulus, peluang mencari uang dengan mengajar untuk menutupi biaya-biaya kuliah yang belum tercover, dan peluang-peluang lain yang mungkin tidak akan saya dapatkan jika Allah tidak menakdirkan saya disini..

Hidup memang hitam putih,, berliku dan kadang harus memasuki lorong gelap sendiri, namun semua karena kasih sayang Allah..

Ketika kemudian takdir Allah tak dapat dipahami, maka kembalikanlah kepadaNya, sebab memang ada ruang gelap yang dengan ilmu kita akan sulit kita pahami, namun tak sulit untuk direnungi..

Ya, di ruang inilah sekarang saya menyandarkan segala pengharapan saya.. Di ruang inilah energi tawakal saya letakan, dan kepasrahan saya labuhkan.. Hingga akhirnya saya akan mengerti bahwa takdir Allah adalah sebentuk cintaNya kepada saya…

Yang perlu kita lakukan hanyalah memenuhi hidup dengan berbaik sangka kepada Allah, dan tidak membiarkan ruang sekecil apapun dalam diri ini untuk berburuk sangka padaNya..

Karna dengan berbaik sangka kepada Allah maka musibah akan terubah menjadi anugrah, kesedihan menjadi kegembiraan. Dan ujian, kehilangan, luka yang terjadi akan berubah dalam sesaat menjadi kekuatan hidup yang kian membuat kita lebih bijaksana dan tenang..

Semoga kita semua benar-benar bisa mengambil makna dari setiap kejadian, dan meletakkan ikhlas di ujung takdir Allah..
Allahumma aamiin..


*untuk ikhwah seperjuangan yang sedang menghadapi takdir Allah saat ini, semoga kita tetap dikuatkan untuk berdiri di jalanNya... karena menang dan kalah itu bukan hanya yang terlihat di manusia, tetapi apa yang dipandang oleh Allah...

ketika keinginan kita tidak sesuai dengan takdir Allah, percaya,
Allah sedang mempersiapkan skenario terindah untuk kita di masa depan... :')