Pages

Saturday, October 12, 2013

Membaca program “mobil murah” secara politik : cara menjegal Jokowi

bismillaahirrahmaanirrahiim...

Hmmm, berhubung bulan ini adalah bulan paling geje sedunia versi saya, dikarenakan banyaknya proyek dosen dan juga riuwehnya skripsi saya, jadi bulan ini saya isi dengan sharing berbagai blog favorit saya saja yaa...hehe. Setuju ya setuju kan...? :D

Sebenernya pingin sharing banyaaak sekali blog yang akhir-akhir ini sering saya baca (apalagi yang mengupdate berita tentang carut-marutnya negeri ini sekarang). Tapi berhubung blogspot ini bukan facebook, yang kalo ngeshare tinggal pencet satu klik, jadi di sini saya ingin menuliskannya ulang di laman ini. Tentu saja dengan kelengkapan sumber dan data aselinya :)

Salah satu blog yang menurut saya sangat bagus dari segi topik dan juga ketajaman analisisnya adalah blog salah seorang kakak kelas saya di SMA, silahkan dinikmati :)

========================================
Membaca program “mobil murah” secara politik : cara menjegal Jokowi September 23, 2013
Posted by pratamasatria in Uncategorized. 

Seperti yang sama – sama kita tahu, Jokowi adalah pejabat politik dengan popularitas, likelibilitas dan elektabilitas terbaik hari ini. Berbagai hasil survey setidaknya sudah membantu kita untuk menegaskan kenyataan ini. Tetapi, politik adalah hutan belantara bagi para serigala pejuang singgasana. Politik tidak berbeda dengan arena kompetisi gaya bebas bagi para petarung penuh syahwat kekuasaan di dalamnya : gak peduli apapun yang menghalangi, yang penting menang !
20120921nissan-leaf
Ketika mindset itu diletakkan di dalam konteks : berarti, tidak mungkin Jokowi dibiarkan melaju sendirian. Popularitas Jokowi yang sedang selangit hari ini, harus kita lihat sebagai bahan bakar bagi ketidak senangan lawan – lawan politiknya yang tidak mungkin dibiarkan mengendap sekedar dalam hati tanpa terkonversi menjadi tindakan politik. Entah serendah – rendahnya atau malah setinggi – tingginya kadar ketidak senangan lawan politik terhadap subyek politik lainnya, tapi politik adalah action, kan ? One more, tindakan politik yang diambil pun harus benefit : harus mampu menjatuhkan lawan dan menguntungkan diri sendiri dalam waktu yang bersamaan, di hadapan publik.
Program low cost green car atau mobil murah yang diinisiasi oleh pemerintah, bisa dibaca secara multidimensional. Namun demikian, di awal tulisan saya ingin terlebih dulu menegaskan bahwa aspek yang penulis jadikan ruh di dalam tulisan ini adalah politiknya saja. Dengan demikian maka jika terjadi ketidak sepakatan secara substansial, semoga sudah dengan pemahaman terlebih dulu bahwa border dari tulisan ini sudah jelas : membahas sisi politiknya saja.
Ya, sulit untuk menjelaskan, bagaimana bisa pemerintah pusat dan pemerintah daerah justru jauh bertolak belakang dalam menyikapi kondisi aktual jalan raya di kota – kota besar Indonesia yang saya pikir semua sepakat bahwa kemacetan menuju ke kadar parah. Nah ini, lucu tenan, Pemerintah daerah yang sedang giat – giatnya mengatasi kemacetan, kok malah tidak didukung. Alih alih, pusat justru menggagalkan program daerah itu dengan kebijakan mobil murah.
Dengan harga jual 80 juta ke bawah per mobil, program mobil murah adalah jalan tol bagi para kelas menengah ke bawah untuk segera membeli. Predikat murah juga sekaligus sebagai katalisator supaya mobil ini segera berpindah tangan ke masyarakat dalam kuantitas yang bejibun. Nah masalahnya, kalo sudah dibeli, masa iya ga dipake ? Ya pasti dipake toh ? Kalo sudah dipake, sementara jalan juga tidak dibuat lebih luas, jadi tambah gimana macetnya ? Di titik ini lo saya merasa pemerintah pusat kok malah membangun inkongruensi dengan daerah, bukannya sinergi. Ini seperti seorang ibu yang mengatakan ingin anaknya segera pulih setelah babak belur dipukuli orang, tetapi membiarkan orang lain memukulinya lagi justru ketika sang anak sedang berusaha untuk recovery. lalu, kapan sembuhnya ? Aneh sekali.
Jokowi dan macet
Di sinilah sensitivitas politik kita diuji. Saya yakin, pusat juga sebenarnya paham, bahwa mobil murah akan semakin meningkatkan kemacetan jalan raya. Maka pertanyaannya sekarang, kenapa tetap dilakukan ?
Kembali ke kesepakatan : ini tulisan politik. Dari sisi politik, kontroversi mobil murah sebenarnya bisa dipisahkan secara polaris berdasarkan aktornya dan kepentingannya. Dan dari klasifikasi yang semacam itu, hanya muncul dua kubu : Jokowi yang anti, yang kemudian diikuti oleh beberapa kepala daerah, versus pemerintah pusat. Kepentingannya berbeda : Jokowi menganggap itu menambah kemacetan, sementara pusat menekankan pentingnya mengambil momentum menjadi pemimpin industri otomotif setidaknya di Asia Tenggara. MS Hidayat, Hatta Radjasa, dan Boediono termasuk kelompok kedua ini.
Sekarang, mari menjadi Jokowi. Betapa sulit posisinya untuk menolak, atau untuk menerima :
kalau sampai Jokowi menerima, duh, program nya mengatasi kemacetan bisa gagal tanpa bisa mengatakan bahwa ini adalah kesalahan pemerintah pusat. ERP, pembatasan ganjil-genap, tarif parkir tinggi, tetap tidak akan mampu secara total mencegah seorang individu untuk keluar menggunakan mobil. Akhirnya, Jokowi disetting oleh program ini untuk tidak bisa, atau paling tidak : lambat, dalam menuntaskan kemacetan Jakarta. Nah, kalo Jokowi tidak segera membereskan kemacetan Jakarta, ini makanan empuk untuk lawan politik nya berretorika : jangan pilih Jokowi lagiGagal beresin macet Jakarta !
Jokowi
Tetapi kalo sampai Jokowi menolak, ia akan dihukum oleh kelas menengah ke bawah (pembeli mobil murah potensial) untuk tidak dipilih lagi di periode selanjutnya. Kenapa ? karena middle class ini sedang merasa dimudahkan oleh pemerintah untuk membeli mobil. Ibaratnya, mereka merasa pemerintah pengertian banget deh. Jadi janganlah Jokowi larang larang yang udah ngebet pengen punya mobil. Kesempatan pula ini pas murah kan.. Nah, peningnya lagi, kelas menengah ke bawah adalah pangsa pemilih yang menjadi tulang punggung kemenangan Jokowi di pemilihan gubernur September tahun lalu. Jokowi tidak bisa menolak, dengan asumsi ia sadar bagaimana kelas menengah mengkonstruksi kemenangan elektoral nya.
Akhirnya, sudah mulai bisa dilihat jernih, sejauh ini, cara yang sistematis seperti inilah yang lumayan ampuh menjegal Jokowi : menjebaknya ke dalam dilema seperti itu terlebih dulu. Bagaimana hasilnya nanti, akan terlihat konkret terlebih ketika mobil – mobil itu sudah benar – benar ada di jalanan ibu kota.
Yap, saya termasuk yang tidak percaya, bahwa sisi politik adalah sisi yang diabaikan dalam arsitek program ini. Karena secara politik, mobil murah adalah instrumen kepentingan yang harus ‘mereka’ munculkan, karena takut Jokowi jadi Presiden.
================================
Gimana gimana...? menarik ya.... ^_^
Jujur, membaca blog kakak kelas saya ini tuh jadi membuka wawasan yang luas banget, apalagi kalau bukan karena saya jadi bisa tau sudut pandang lain dari masalah-masalah yang sedang terjadi. maklum saya kan cupu
Untuk yang tertarik, bisa langsung buka aja ke blog aslinya ya,,
di http://pratamasatria.wordpress.com/
Masih banyaak sekali tulisan-tulisan di sana yang menarik buat dibaca, dipahami, dan direnungi baik-baik. Pingin sih mengulas tulisan tentang politik tertentu yang dibahas di blog itu, tapi enggak usah deh, haha. nanti saya dimarahin sama si bos
Mungkin, setelah selesai ngeshare banyak blog di Bulan Geje ini besok, saya akan menulis postingan khusus yang juga membahas tentang politik-politik ini. mungkin.. Yang jelas saya mau menyiapkan mental saya dulu, hehehehe  :D
See you next time yaa, siapa tau blog kalian besok yang ternyata masuk ke laman sharing saya ini ;p

Saturday, October 5, 2013

Gangguan Jiwa ada dimana mana

bismillaahirrahmaanirrahiim...

Ingin sedikit berbagi cerita-yang-tertunda tentang kuliah saya di blok kejiwaan ini.. :)

Jadi ceritanya, beberapa hari lalu saya komuda (koas muda) di RSJ Magelang (tepatnya di RSJ Dr. Soerojo Magelang). Ritualnya seperti biasa lah ya,, kumpul pagi -yang ngaret-, lalu perjalanan panjang, sampai sana ngobservasi pasien (atau mengobrak-abrik rekam medik =.=), diskusi dengan dokter, dan sebagainya sebagainya.

Nahh,, ketika di RSJ itu lah, saya baru tau kalau rata-rata (sebagian banyak) penderita muda yang masuk ke sana (dengan gangguan jiwa) itu dengan latar belakang masalah yang ada hubungannya dengan putus cinta a.k.a patah hati. Dan penderita lain ya dari kebanyakan permasalahan : sosial ekonomi dan sebangsanya.

Angka yang amazing banget yaa menurut saya....
Dalam hati langsung berteriak, "kok bisaa...??"

Akhirnya berniat untuk mengobrak-abrik data rekam medik pasien..
Kebetulan saya kebagian jatah di bangsal pria, bareng sama keempat teman saya yang lain..

Beberapa lama obrak-abrik rekam medik, ternyata pasien di bangsal itu kebanyakan diagnosisnya skizofrenia semua.. Yasudahlah nggak apa-apa.
*Untuk yang nggak tau, skizofrenia itu adalah diagnosis psikiatri yang menggambarkan gangguan mental yang ditandai oleh kelainan dalam persepsi atau ungkapan realitas... atau dalam bahasa gampangnya adalah kewarasannya udah nggak bisa bekerja lagi. Pernah lihat orang-orang di jalanan yang disebut *wong edan* dengan tampilan baju kotor lusuh dan gembel kan? Nah itu bahasa medisnya adalah penderita Skizofrenia.....

Waktu itu saya mendapat pasien bapak-bapak usia pertengahan (30 tahunan) yang datang karena dia ngamuk-ngamuk di rumahnya, semua barang dibanting, dan juga ada tindakan kekerasan yang lain.. Si bapak ini juga berhalusinasi kalau dia didatengin sama ibuknya yang sudah meninggal, dan diajakin buat nyusul mbahnya itu ke dunia sana... (syereem banget deh pokoknya)

Di data rekam medik terbaru (beberapa hari sebelum saya komuda), si bapak ini didiagnosis skizofrenia paranoid (F 20.0) karena dominasi halusinasinya itu.. Akhirnya saya buka-buka rekam mediknya yang tersimpan di lemari khusus (untuk pasien-pasien yang udah lama). Nggak nyangka,, ternyata si bapak ini sudah jadi penderita skizofrenia sejak tahun 2007 (lama banget yaa...) Lebih nggak nyangka lagi, ternyata si bapak ini dulunya orang yang rajin banget beribadah, bahkan rajin untuk dzikir maupun wirid pagi dan siang..

Berhubung saat itu si bapak baru aja kolaps (kambuh) dan tidak memungkinkan untuk diperiksa oleh anak-bawang seperti saya, ya saya buka-buka lagi deh itu rekam mediknya..

Di awal-awal dia datang diperiksakan ke RSJ, diagnosis awalnya masih Skizofrenia Tak Terinci (F 20.3). Dia datang karena banyak muncul halusinasi-halusinasi nggak jelas gitu. Setelah dianamnesis waktu itu, terungkap kalau beliau itu habis kena tipu di Malaysia.. Jadi ceritanya beliau bekerja di sana, punya temen/partner gitu, dan beliau ditipu berapa belas juta... Temennya kabur dengan mbawa uangnya sebanyak itu.

Waktu itu, beliau bilangnya, ya masih rajin itu dzikir dan wiridnya,, tapi kok ritualnya mulai aneh-aneh... Ya yang ke kuburan lah, dan sebagainya.. Pokoknya banyak halusinasinya... makanya beliau dibawa ke RSJ..

Yang jelas, meskipun sudah beberapa kali dirawat inap di sana, gejalanya itu sering kambuh lagi. Sempat sedikit sembuh dan menjadi Skizofrenia Residual (F 20.5) di awal tahun 2008, tapi langsung kambuh lagi 6 bulan kemudian.. Begituu terus berulang (kambuh-pulih-kambuh-pulih) hingga beliau sempat dinyatakan sembuh di Juli 2012.. Sayangnya, satu tahun kemudian beliau kambuh lagi dan bahkan jadi lebih parah, diagnosisnya berubah menjadi Skizofrenia Katatonik (F 20.2) dan sampai sekarang masih dirawat di RSJ..

Subhanallahh,,, saya nggak kebayang kalau saya yang jadi beliau.. Betapa luarbiasanya perjuangan untuk menghadapi penyakit itu sendiri.. Apalagi menilik kenyataan bahwa beliau nggak punya istri, dan keluarganya yang juga nggak mendukung, dan juga dengan status sosial ekonomi yang dibawah rata-rata.

Kita lanjut dengan kasus lain ya...
Kebetulan, ketika diskusi dengan dokter di bangsal itu, beliau memanggilkan salah satu pasien di bangsal itu yang bisa diajak bicara..
Akhirnya kita tanya jawab dengan bapak itu, walaupun awalnya ya sedikit takut juga, hehe

Alhamdulillahnya si penderita sedang stabil, jadi beliau kooperatif banget selama sesi tanya-jawab itu.. Beliau bahkan bisa bercerita tentang cerainya beliau dengan istrinya ketika beliau masuk ke RSJ, cerita tentang bagaimana masyarakat memperlakukan beliau, bagaimana anak-anak kecil mengejek-ejek beliau, bagaimana pak kepala dukuh membawa beliau ke RSJ, dan sebagainya, dan beliau ketika itu menceritakan itu semua bisa dengan santai seolah beliau sudah fine dengan kenyataan bahwa beliau itu penderita Skizofrenia.

Ketika saya tanya, sudah berapa lama di tempat itu (RSJ) pun beliau menjawabnya, "hahaha saya sih sudah sering banget mbak masuk ke sini.. Bolak balik masuk malah... Soalnya sering membanting-banting barang, dan juga pernah mukulin kepala saya ke kepala ibu saya.. pernah juga menendang anak-anak kecil di desa saya.."

Sewaktu dokter nyambung dan tanya, "menyesal nggak melakukan itu?"
Jawabnya, "ya saya menyesal dong, pak dokter.. kadang jadi sedih sendiri kalau ingat sama hal itu.. tapi ya gimana lagi, habisnya di sana (di lingkungan rumahnya) banyak yang sering ngejek-ngejek saya sih, ya jadi saya balas deh mereka."

Ya Allah.... ngeri banget ya...
Selama kuliah yang saya ikuti, saya memang taunya ya penderita jiwa (baik itu Skizofren, Depresi, Manik, dan sebagainya) itu harus dikontrol dengan obat jenisnya masing-masing.. Saya rasa RSJ pasti nggak akan lupa ngasih haloperidol ke pasiennya untuk rawat jalan,, tapi kan faktor eksternal (seperti lingkungan sosial begitu) siapa yang tau?

Kalau menilik angka banyaknya pasien yang kambuh padahal udah dinyatakan sembuh di RSJ (udah dinyatakan bisa dilepas ke lingkungan sosial kembali) dan udah dikasih obat kontrol, sepertinya yang memegang kunci itu ya justru lingkungan sosialnya itu sendiri... Apalagi kalau lingkungan sosialnya justru terstigma kalau si penderita adalah "alumni rumah sakit jiwa" dan memperlakukan si penderita dengan berbeda, pasti kambuh lagi lah itu depresinya si penderita, atau bahkan justru tambah parah.. Padahal kalau terkontrol baik, pasien Skizofrenia itu kan sama aja kayak penderita penyakit DM ataupun Hipertensi, nggak akan membahayakan kok..... (seperti bapak yang sedang tanya-jawab dengan saya itu)

Lanjut lagi ya....
Ketika komuda kemarin (ketika saya kabur dari bapak-bapak gangguan jiwa yang manggil-manggil nama saya terus -__-), kebetulan saya ketemu sama rombongan bangsal wanita yang baru selesai rehabilitasi dan mau kembali ke bangsalnya... dan kebetulan saya diseret sama seorang pasien mbak-mbak dan diminta untuk menemani dia ke bangsalnya (sepertinya saya punya daya magnetik ke penderita-penderita jiwa yaa....)

Ya saya ikut aja kan ya, orang tangan saya udah digandeng kenceng banget sama si mbak itu tadi (untung ada satu perawat yang juga khusus menangani mbak-mbak itu)

Lalu saya iseng menggali riwayat si penderita dan segala macemnya....

Ternyata,, si penderita mbak-mbak yang nggandeng tangan saya itu, dulunya adalah aktivis mahasiswa.. Dia bahkan pernah kuliah di beberapa tempat, dan sempat menjadi reporter majalah apaa gitu. 

Saya langsung kepikirannya ini penderita Afektif Bipolar yang episode manik,, dilihat dari tingkah lakunya yang hiperaktif dan sebagainya. Tapi beberapa detik kemudian kepikiran, jangan-jangan si mbak ini depresif juga, soalnya dia cerita kalau belum punya pacar gitu, dan minta tolong dicarikan pacar seorang dokter. Beberapa menit kemudian, saya jadi mikir lagi, jangan-jangan mbaknya ini juga waham kebesaran, soalnya dia cerita kalau dia itu keturunan keraton manaa gitu.

Luar biasa masyaa Allah pokoknya,,, menyadarkan diri sendiri dengan ucapan seorang dosen, "namanya orang dengan gangguan jiwa itu, diagnosisnya nggak akan hanya ada satu jenis. Yang menonjol mungkin memang cuma satu jenis, tapi sekali gangguan jiwa ya pasti akan ngikut lah itu gangguan-gangguan jiwa tipe yang lain.."

Yang lebih luar biasa lagi, si mbak ini sebenernya insightnya sudah bagus..
Karena waktu itu dia bilang, "wah yang ngantar saya ke bangsal ada banyak orang, kalau yang lain kan cuma didampingi sama satu perawat."
saya bilang, "seneng dong mbak, temennnya banyak... :)"
si mbak langsung bilang, "ya nggak seneng dong, kan saya pasien gangguan jiwa"

Jederrr....... T.T

Apalagi ketika kita beneran sudah sampai di bangsalnya, ada temennya yang sudah sembuh dan pamitan mau keluar RSJ, si mbak ini mendekati temennya itu dan bilang, "doakan saya juga ya supaya bisa cepat keluar dari RSJ..."

Masyaa Allah..... terharu pake banget.... T__T
Saya nggak nyangka aja, di dalam RSJ ini begitu banyaaak orang-orang yang sebenarnya juga sama seperti kita-kita, hanya saja lingkungan yang memang nggak bisa selalu mengerti kondisi ini..

Dan menurut kuliah saya pagi ini (fresh from the oven), prevalensi orang dengan gangguan jiwa ini buanyaak banget lho.... Menurut penelitian WHO, dari sekitar 100 orang normal, 20-30% itu ternyata menderita gangguan jiwa.. Dan golongan gangguan jiwa menurut PPDGJ itu luas banget,,, bisa orang depresi, orang yang phobia dengan sesuatu, orang pasca trauma, orang dengan perubahan mood yang cepat, orang dengan kekhawatiran yang berlebih, dan lain lain. (jangan-jangan di antara saya atau teman-teman yang baca blog ini juga ada yang terindikasi gangguan jiwa nihh,, o_o hehehe)

Dan masih menurut kuliah luar biasa pagi ini, dokter Warih bilang kalau keluarga dan lingkungan sangat sangat berpengaruh serta turut andil dalam peran serta ke orang-orang di sekitarnya untuk menjadikan mereka ini berpotensi gangguan jiwa..

Contoh pasien beliau...
Ada seorang anak yang merupakan cucu pertama, lalu dimanja-manja sama orangtua dan nenek kakeknya, apa-apa selalu dinomorsatukan. Ketika si anak ini masuk dunia persekolahan, kok gurunya nggak menomorsatukan dia,, kok teman-temannya yang justru diminta untuk maju ke depan, bukan dia. Akhirnya dia jadi mengkambinghitamkan sang guru, dia bilang gurunya nggak suka sama dia. Lambat laun dia jadi mogok sekolah, alasannya sih sakit, padahal ya enggak. --> masuk ke diagnosis gangguan somatoform (F.45), yaitu adanya keluhan-keluhan mengenai fisik yang diutarakan, tapi sebenernya semua pemeriksaan fisik menyatakan hasil negatif.

Ada lagi seorang mahasiswa laki-laki (yang baru saja selesai skripsi) yang beberapa bulan ini nggak mau keluar rumah.. Setelah dikasih farmakoterapi, dan akhirnya mau dikonseling, berceritalah dia tentang kekecewaannya ke orangtua.. Tentang dia sebenernya mau masuk jurusan psikologi tapi sama orangtuanya dipaksa untuk masuk ke teknik.. Tentang kegemarannya olahraga taekwondo tapi dilarang orangtuanya karena jadwalnya yang selalu malam hari.. Juga tentang keinginannya untuk memelihara hewan tapi nggak pernah diijinkan sama orangtua.. Akhirnya si mas ini sekarang nggak punya inisiatif sama sekali, bahkan di rumah ya cuma duduk di kursi dan nggak melakukan apa-apa. Saat dokter Warih menawarkan berbagai macam kegiatan ke dia, dia bilangnya nggak mau. Dia nggak mau kecewa lagi karena keinginannya itu ditolak lagi untuk yang kesekian kalinya oleh orangtuanya.

Dan banyak sekali penderita-penderita lain, yang sebenarnya ada di sekitar kita, tapi sering sekali nggak terdiagnosis atau terdeteksi.. Karena ciri khas gangguan jiwa itu ya baru kelihatan kalau sudah kronis atau parah banget, kalau masih awal-awal ya nggak akan kelihatan.. Bahkan, 40% orang yang datang ke puskesmas dengan keluhan fisik, itu sebenernya gangguannya ada di jiwanya lho.. Sayangnya dokter umum banyak yang nggak punya keterampilan psikiatri, jadi ya baru ketahuan kalau penderita-penderita itu adalah penderita jiwa ya kalau mereka itu udah meninggal karena bunuh diri.....

Miris banget ya.....
Yang lebih saya tekankan di sini ke temen-temen (berhubung nggak semuanya di profesi kesehatan) ya lebih ke kewaspadaannya aja ke teman-teman kalian yang lain atau ke lingkungan di sekitar kalian.. Dari cerita di atas bisa ditarik kesimpulan ya, walaupun ada stressor utama yang memicu si penderita untuk menjadi depresi, tapi faktor lingkungan sangatt berpengaruh ke prognosis penyakit jiwanya..

Kalau ada teman yang sedang sedih, ya tolong diajak ngobrol, ditemani,, jangan sampai dia menjadi gangguan depresi nantinya... Kalau ada teman yang kelihatan mulai menjauh ya tolong didekatin, jangan sampai dia bermanifes menjadi skizofrenia di lain waktu..

Bahkan, ada teman dari dokter Inu (dosen saya sore tadi) yang terkena skizofrenia, padahal awalnya temannya itu cuma bermasalah karena ditolak sama wanita.... dan padahal lagi, temannya itu dulunya adalah mahasiswa terjenius di angkatan beliau (iya, si teman tadi itu juga kuliah di kedokteran..)

Subhanallaah..... kalau seperti itu lalu kita mau menyalahkan siapa? menyalahkan dia?
Yang namanya orang itu ya stressornya kan masing-masing,, dan ketika ada stressor yang nggak kuat untuk dia tangani, ya dia butuh orang lain untuk membantu dia, untuk menjaga jiwa dan pikirannya supaya nggak melenceng di luar garis..

Lha kalau orang-orang di sekitarnya (yang dia harapkan) aja nggak peduli dengan dia, lalu salah siapa?
Teman dokter Inu ini juga awalnya masalahnya cuma sepele banget kan : cintanya ditolak. Udah itu aja.

Mungkin untuk teman-temannya (yang mengetahui sejarah kepintaran beliau di dunia perkampusan) masalah itu mereka anggap sepele : Ah, orang yang ujian anatomi nggak usah belajar tapi dapat nilai tertinggi begitu pasti nggak ada masalah dong dengan masalah cinta remeh seperti itu.

Permasalahannya sekarang bukan cuma ke permasalahan cinta-remeh ini. Tapi guncangan jiwa yang sedang dihadapi beliau. Mungkin, bagi beliau yang biasanya mendapatkan apa yang beliau inginkan, permalahan ini jadi sebuah stressor baru yang belum pernah beliau jumpai. Makanya, beliau butuh banget orang lain yang sekiranya bersedia menjelaskan ke beliau tentang itu, dan menemani beliau melewati masa-masa itu.

Kedengarannya simpel yaa,,, tapi beliau ternyata nggak mendapatkan itu tuh,.....
Dan efeknya? Beliau nggak lanjut lagi pendidikan dokternya, dan sekarang menggelandang seperti orang gila (karena beliau positif Skizofrenia Paranoid), berpakaian lusuh dan jalan-jalan nggak jelas arahnya. Siapa yang menyangka kalau beliau itu dulunya orang yang sangat jenius serta selalu membuat iri teman-teman seangkatannya (yang teman-temannya itu sekarang justru sudah mengambil spesialis semua)?

Untuk yang mau cerita lengkapnya bisa baca di blog dokter Inu: 

Pantas aja ya,, kewajiban habluminannaas itu ditaruh setelah habluminallaah....
Apalah arti habluminallaah kalau habluminannasnya jelek,, kalau dia masi suka mendzolimi orang sekitarnya, dan lain lain..

Subhanallah....
Semoga kita terhindar dari ikut andil berbuat dzolim ke orang di sekitar kita ya...
Semoga nggak ada yang jadi tersakiti mental ataupun jiwanya karena sikap atau ucapan kita..
Dan semoga kita semua juga selalu dijaga kesehatan mental dan jiwanya oleh Allah......
aamiiin.......

jangan pernah biarkan orang di sekitar kita merasa bahwa mereka itu sendirian.......
Hmmm, jadi tertarik buat ambil spesialisasinya ke kejiwaan nih.... apalagi bisa jadi bekal buat menghadapi anak-anak saya besok, kalau jadi psikiatri insyaaLLoh kan pasti tau lah ya gimana tips dan trik mengasuh dan mendidik anak supaya sehat jiwa mentalnya...... (thinking) #Semoga Allah memilihkan jalan yang terbaik...... :")

Tuesday, October 1, 2013

Akan selalu "Satu Shaf di Belakangmu", Sayang..

Mengutip sebuah tulisan karya Namarappuccino,,
"Aku tahu, kadang-kadang hidup itu tidak adil--menurut kita, meski sebenarnya Tuhan selalu bersikap adil pada manusia yang diciptakan-Nya. Tetapi pada saat kamu merasa hal itu sedang terjadi, dimana kamu merasa sedang jatuh dan dunia memusuhimu, aku di sini, di satu shaf di belakangmu ketika kamu sudah pulang nanti.

Kamu bilang, aku 'rumah'mu. Bukan bangunan atau gedung, tetapi aku. Jadi, sejauh apa pun kamu pergi, kepadakulah kamu akan selalu kembali. Karena itulah, aku selalu di sini tidak pernah pergi apa pun yang menimpamu, dulu, sekarang, ataupun nanti. Karena akulah tempat kamu bisa selalu pulang. Jadi, setiap hari, aku bersedia menunggu, menyiapkan teh panas sementara kamu mengambil air wudlu. Lalu aku akan bersiap untuk berdiri satu shaf di belakangmu.

Dan ketika kamu lelah, aku juga selalu di sini. Menyediakan bahuku. Menemanimu bercerita untuk mengurai semua kisah satu demi satu, lalu mencari jalan untuk mengatasinya berdua. Karena untuk melihat senyummu, aku masih dengan senang hati berada satu shaf di belakangmu. 

Aku akan selalu satu shaf di belakangmu, dalam sholat berdua, atau dalam menjalani hidup berdua. Tidak hanya ketika berbahagia, tetapi juga ketika kamu sedang pada taraf jatuh sehingga tidak punya siapa-siapa. Karena aku tahu, kamu selalu melakukan hal terbaik yang kamu bisa untuk menjaga bahagiaku. Yang kamu minta hanyalah, aku tetap selalu berada di satu shaf di belakangmu. Bukan untuk selalu menjadi buntutmu, tapi untuk berdoa bersama dan berterima kasih bersama atas semua bahagia."

Berkali-kali membaca tulisan di atas, dan berusaha benar-benar meresapi makna perkalimatnya..

Ya, aku akan selalu satu shaf di belakangmu, Sayang...
dalam sholat berdua, atau dalam menjalani hidup berdua..

Rasanya seperti flashback kembali, membayangkan perjalanan pernikahan kita yang sudah berjalan lebih dari 9 bulan ini..

Bagaimana sabarnya engkau menghadapi semua proses pembelajaranku, sebagai istri maupun ibu rumah tangga, dimana masih sangat banyak kekurangannya di sana sini..
Di mana aku saja tak tau harus menyediakan kopi atau teh kepadamu, tak tau apa saja makanan kesukaanmu  maupun yang tak kau suka, dan banyak yang lain..
Tetapi kau dengan sabarnya membimbingku, memberitahukanku banyak hal tentang dirimu, memaafkan segala kekikukan yang kubuat di rumah...

Ah, kau tak pernah meninggalkanku sebagai imam, Sayang,,
lalu bagaimana aku akan dapat meninggalkanmu sebagai makmum...?

Aku juga akan selalu ada di sini, di sampingmu...
Menyediakan bahuku..
Menemanimu bercerita untuk mengurai semua kisah satu demi satu..

Rasanya air mata ini benar-benar tak bisa ditahan untuk menetes sekarang...

Teringat berbagai aktivitas kita yang masih menyandang status mahasiswa,,
aku dengan program sarjanaku, dan kau dengan program mastermu, dan juga dengan pekerjaanmu..

Berkali-kali kita pulang dengan membawa banyak kelelahan dari kampus,
dengan berbagai lika-liku dan permasalahannya,,,
di tengah keberusahaanku untuk menyembunyikan segala lelahku, aku melihatmu, Sayang,,
kenapa kau juga tidak menunjukkan lelahmu..?

Padahal aku tau sekali betapa melelahkannya aktivitasmu itu,
betapa penatnya kepalamu mengejar berbagai hal,,
tapi kau selalu pulang dengan wajah yang tersenyum, seolah yang kau lalui itu semuanya menyenangkan..

"Bagiku, ketika bertemu denganmu, semua kelelahan dan kepenatan itu hilang entah kemana..."

Katamu, ketika itu
Ah, ternyata kau memang sengaja menyembunyikan itu semua dariku, Sayang...

"Aku rumah mu, Sayang..."
lirihku, menahan hati yang kembali teriris

"Aku akan selalu di sini tidak pernah pergi apa pun yang menimpamu, dulu, sekarang, ataupun nanti.. Karena akulah tempat kamu bisa selalu pulang..
Ketika kamu lelah, aku juga selalu di sini.
Menyediakan bahuku. Menemanimu bercerita untuk mengurai semua kisah satu demi satu,
lalu mencari jalan untuk mengatasinya berdua..

Karena untuk melihat senyummu, aku masih dengan senang hati berada satu shaf di belakangmu.."

Seandainya saja,, kita dipertemukan ketika telah selesai semua dunia perkuliahan,, tentu aku akan bisa lebih banyak mengurusmu di rumah, Sayang... Bukan malah terkuras banyak aktivitas di luar sana...

"Justru dengan menikah di waktu kuliah seperti ini, kita bisa belajar bersama-sama tentang toleransi... Tentang bagaimana membagi peran di rumah, dan tetap bisa berprestasi serta berda'wah di luar sana.. Bukankah itu tujuan awal pernikahan kita?" katamu lagi, sambil tersenyum

Ah, kau memang selalu bisa membuat airmataku terjatuh, Sayang,,
bukan karena sedih, justru karena aku bahagia,, sangat bahagia,
mempunyai seorang lelaki yang sungguh selalu bisa mengingatkanku akan syurga...

Karena aku tahu, kamu selalu melakukan hal terbaik yang kamu bisa untuk menjaga bahagiaku..
Yang kamu minta hanyalah, aku tetap selalu berada di satu shaf di belakangmu.
Bukan untuk selalu menjadi buntutmu, tapi untuk berdoa bersama
dan berterima kasih bersama atas semua bahagia..


Dan aku juga akan selalu berusaha yang terbaik untuk menjaga bahagiamu, Sayang, bahagia kita... :')